Share

Pria Sempurna

"Hmmphh!"

Nara tercekat, ketika tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya dan langsung menarik tubuhnya menjauh. Ia berusaha melawan, tetapi sayang tubuhnya malah seketika terangkat melayang ke atas.

"Ssstt! Jangan berisik!" bisik sesosok pria dengan hoodie hitam yang menutupi sebagian wajahnya. 

Pria itu membawa Nara bersembunyi di balik tumpukan drum kosong, dengan terus menutup mulutnya agar tak lagi mengeluarkan suara. Sampai akhirnya langkah Evan dan Bella terdengar semakin mendekat, dan kedua orang tersebut terlihat terus berlalu-lalang tak jelas di hadapannya.

"Sepertinya dia sudah kabur, Mas!"

"Akhh! Sial! Biar nanti kita beri pelajaran perempuan kampungan itu lagi! Biar bagaimanapun dia harus bertanggung jawab atas aksi nekatnya tadi!" ujar Evan kesal, sambil kembali menuruni anak tangga bersama Bella.

Melihat situasi yang sudah mulai aman, pria misterius itu pun akhirnya melepaskan dekapannya pada Nara. Tak lupa juga ia membuka penutup kepalanya, dan menampakkan wajahnya langsung di hadapan perempuan yang tadi sempat merasa sangat ketakutan tersebut.

"Huftt! Syukurlah! Akhirnya kamu datang juga, Mas!" ucap Nara dengan mengusap sekilas keringat di wajahnya. "Aku pikir—"

"Ssstt! Sudahlah, lebih baik kita segera ke mobil sekarang," potong Dimas yang seketika keluar dari tempat persembunyiannya.

"Tapi, Mas. Kakiku—"

"Biar aku gendong!" sela Dimas lagi, yang langsung tanpa basa-basi kembali membopong tubuh wanita itu.

Dengan penuh hati-hati Dimas menuruni anak tangga, membuat Nara refleks mengalungkan kedua lengannya di leher pria tersebut. Di setiap langkahnya, kedua netra Dimas selalu awas mengawasi sekitar. Hingga akhirnya ia berhasil turun, dan menemui seorang anak buah kepercayaannya yang telah menunggunya di bawah.

"Bagaimana?" tanyanya singkat, tanpa menurunkan Nara terlebih dahulu.

"Aman, Tuan. Mereka berdua telah pergi dari tempat ini, sekitar lima menit yang lalu."

"Bagus, kalau begitu kembalilah. Biar aku yang menyetir mobilku sendiri!" perintahnya yang langsung dipatuhi oleh anak buahnya.

Dimas membawa Nara masuk kembali ke dalam mobilnya, dan mulai mengendarai kendaraan roda empatnya dengan sesekali melihat ke arah Nara yang sedang meringis kesakitan. Ia berusaha mencari rute tercepat, dan memberhentikan kendaraannya tepat di depan sebuah gedung bertingkat yang cukup megah di kotanya.

"Mas, sepertinya aku bisa jalan sendiri. Aku malu dilihat oleh banyak orang," tutur Nara dengan sedikit berbisik, ketika ia menyadari berbagai tatapan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Namun sayang, Dimas tak mengindahkan hal tersebut. Ia terus membawa Nara melewati beberapa para karyawannya, dan menurunkan perempuan itu dengan penuh hati-hati di atas sebuah sofa besar yang ada di dalam ruangan kerjanya.

"Tolong bawakan handuk kecil dan juga satu baskom air dingin," perintah Dimas pada seseorang dari sambungan telepon kantor.

Untuk saat ini, Nara tak lagi bisa memprotes segala perlakuan pria itu. Perhatiannya kini telah teralihkan pada ruangan besar, dengan beberapa piala yang terlihat sangat berkilau dan juga berbagai fasilitas mewah yang ada di dalam ruang kerja pria tersebut. Hingga akhirnya, Nara cukup terkejut ketika melihat Dimas bertekuk lutut di hadapannya dan meraih salah satu kakinya.

"Apa ini sakit?"

"Tidak, Mas. Hanya sedikit saja," jawab Nara dengan sedikit menggeleng.

"Cih! Itu sama saja, namanya tetap sakit!" ujar Dimas melihat sekilas ke arah pintunya yang terbuka.

Seseorang perempuan muncul dengan membawakan sejumlah barang yang telah Dimas minta sebelumnya. Hingga akhirnya, Nara sedikit mengerenyitkan dahinya ketika mendapati pria itu kembali duduk bersimpuh di hadapannya dan mulai mengompres kakinya secara perlahan-lahan.

"Kenapa kamu tidak menyuruh anak buahmu saja, Mas?" tanya Nara yang seketika penasaran.

"Apa? Maksudmu untuk melakukan ini?" Dimas kembali mengompres pergelangan kaki Nara dengan sangat telaten, hingga membuat perempuan itu kembali mengangguk mengiyakan.

"Tidak apa-apa, ini hanya sebagai bentuk tanggung jawabku saja. Biar bagaimanapun ini juga kesalahanku, karena telah terlambat menghampirimu."

Untuk sesaat Nara terdiam, ketika mendengar jawaban itu keluar dari mulut Dimas. Lagi-lagi cara Dimas memperlakukannya, sangat berbeda jauh dengan Evan. Perhatian Dimas, terlihat sangat penuh dan tulus. Hingga pria itu semakin sempurna, dengan berbagai kecukupan yang memenuhi kehidupannya.

"Apa sekarang lebih baik?" tanya Dimas dengan sedikit mengusap pergelangan kaki Nara.

"Sudah, Mas. Terima kasih! Tentu ini sudah jauh lebih baik, dari pada hatiku yang sekarang."

Nara menundukkan pandangannya, hingga membuat Dimas perlahan-lahan mencoba mengangkat dagu perempuan itu ke atas. Gerakannya terhenti, ketika dua manik matanya saling bertemu. Sampai akhirnya, netra yang tadinya sudah terlihat berkaca-kaca kini mulai meneteskan air matanya.

Pecah sudah tangis Nara. Jika sedang berhadapan langsung dengan Evan dan Bella, mungkin Nara bisa berpura-pura untuk kuat. Akan tetapi, jika sudah berhadapan dengan Dimas? Tentu perempuan itu tak bisa terus bersandiwara menutupi segala kerapuhannya.

"Ternyata selama ini Mas Evan dan artis perempuan itu telah bekerja sama, Mas. Selama ini mereka berdua telah bekerja sama untuk menghancurkan hidupku!" lirihnya sesak, sambil memegangi dada.

Dimas langsung memberikan perempuan itu sebuah pelukan hangat, dan usapan pelan yang amat menenangkan. Sesaat setelah tangis Nara mereda, Dimas pun mulai meraih kedua tangan perempuan itu dan menggenggamnya dengan erat. Kedua netra cokelatnya menatap dalam ke arah Nara, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang amat serius.

Tokkk! Tokkk! Tokkk!

Ucapan Dimas terpaksa tak jadi terlontar, berkat sebuah ketukan yang terus-menerus berbunyi. Merasa ada sesuatu yang cukup janggal, pria itu pun beranjak dari tempatnya dan mengintip dari balik jendela. Ia cukup terkejut dengan kedatangan seorang wanita yang tak diduganya, hingga akhirnya Dimas kembali berjalan ke arah Nara dan membopong perempuan tersebut ke sebuah ruangan rahasia yang di tempat kerjanya.

"Sebaiknya kamu tunggu di sini dulu," ucapnya yang langsung meninggalkan Nara yang tengah terduduk heran.

Nara mencoba mengintip sesaat, tetapi sayangnya Dimas langsung dengan cepat menutup rapat pintu tersebut. 

"Huftt! Sebenarnya ada apa sih? Padahal sepertinya aku kenal dengan suara wanita tadi," batin Nara yang entah kenapa kembali teringat dengan Bella.

Sebenarnya Nara ingin berusaha mendengar percakapan apa yang sedang dibicarakan oleh Dimas dan wanita yang tak sempat dilihatnya itu, tetapi sayang ruangan tempat beradanya saat ini adalah ruangan yang kedap suara. Sehingga saat ini, Nara pun hanya bisa memperhatikan sekilas ruangan yang memiliki nuansa hitam putih itu dengan kedua netranya.

"Foto itu?" gumam Nara tak percaya, sambil mengusap kedua matanya. 

Perhatian Nara seketika teralih pada sebuah foto kecil yang ada di hadapannya, hingga akhirnya ia segera meraih foto tersebut dan mengamati sesosok perempuan yang ada di sana dengan perasaan yang penuh keterkejutan.

"Tidak! Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa foto ini ada di sini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status