Pukul sebelas malam, di sebuah club dengan nuansa retro pusat kota. Paman Tino masuk dengan gaya santai dan langsung duduk di kursi depan meja bartender yang kebetulan kosong. Suasana club elite itu tidak terlalu ramai. Paman Tino melihat sekitar lalu menyebutkan minuman yang bisa menaikkan mood-nya malam ini. "Buatkan aku satu tequila," ujarnya pada bartender yang lalu mengangguk dengan raut cenderung acuh. Sekali lagi, Tino mengamati sekitar seakan memastikan jika tidak ada satu orang pun yang mengikuti maupun mengatasinya. Sejenak kemudian, ia mendekatkan posisi. Sebelum membisikkan satu pertanyaan. "Apa dia sudah datang?"Si bartender dengan rambut cepak menatapnya selama dua detik dan balik bertanya. "Anda sudah membuat janji dengannya?""Itu rules untuk orang lain. Kami cukup dekat. Katakan saja jika Tino mencarinya." Pria itu berucap dengan santai. Tangannya memainkan tepian gelas bening berisi minuman dingin buatan si bartender. "Silahkan Tuan tunggu sebentar." Pria muda
Sore hari di suatu bistro kawasan perkantoran.Daniel menatap datar pada pria sebaya di depannya yang terus berbicara dengan wajah bersemangat. Ia tak mempunyai keinginan untuk menjawab ataupun menanggapi. Netranya justru menelusuri jalanan yang bisa dilihat melalui dinding kaca tebal. "Ini tawaran yang bagus, bukan? Bos kami bahkan bisa menggajimu lebih dari Tuan Alfredo," tambah pria berkacamata itu. Tampaknya ia bisa sabar menghadapi Daniel yang sedari tadi hanya diam. "Aku tidak tertarik," jawab Daniel akhirnya. "Kau yakin?" Daniel memandang pria itu lagi. Mereka baru pertama kali bertemu dan ia langsung mendapat tawaran dengan gaji yang fantastis. Namun tidak ada sedikit pun keinginannya untuk berpaling dari pekerjaannya saat ini. Bukan cuma karena Keluarga Alfredo selalu memperlakukannya dengan baik. Tapi karena dalam hati ia telah bersumpah untuk melindungi Vincent. Daniel merasa telah berhutang nyawa pada tuan mudanya tersebut. Berawal dari kejadian tiga tahun lalu, di pe
Kakek Richard mengeratkan pegangannya pada tongkat di tangan. Pria dengan tubuh ringkih itu duduk dengan tidak tenang sudah lebih dari satu jam. Di depannya, berjarak sekitar tiga meter terdapat lima pria paruh baya yang merupakan Lima Tetua generasi kedua."Cucu Anda sepertinya cukup sibuk hari ini, Tuan," ucap salah satu Tetua yang bernama Malldise. Pria dengan gurat wajah serius itu mendongak usai membaca lembar pengalihan Alfredo Group yang membutuhkan tanda tangan Vinn. "Kita tunggu hingga tiga puluh menit," balas Kakek Richard dengan suara seraknya. Pria itu menatap Tuan Bara yang berdiri di dekat pintu sambil menempelkan ponsel pada telinga. Sejenak kemudian ia menoleh, mencari keberadaan Aiden yang tampak berbicara dengan seseorang melalui airpods. Setelahnya, ia mendekati Kakek Richard guna menyampaikan informasi yang telah didapat. "Tuan, Tuan Vincent tidak ada di kantor. Daniel juga tidak bersamanya karena dinonaktifkan hingga esok hari," ucapnya setengah berbisik. Kake
Hening mendadak tercipta usai Paman Tino mengeluarkan kalimat tuduhan untuk Jeremy. Tuan Bara dan Kakek Richard saling pandang. Sementara Lima Tetua tampak saling berbisik, bertanya satu sama lain. "Itu benar, Bara. Paman, Jeremy bukan sekedar cucu dari Jaksa yang Paman kenal. Dia adalah pembunuh. Pembunuh bayaran! Aku punya buktinya." Paman Tino maju dengan tergesa-gesa menuju tempat Kakek Richard berada. Jeremy sudah ingin membuka mulut tapi lagi-lagi Paman Tino lebih cepat. Pria paruh baya berwatak licik itu terus mengemukakan apa yang menurutnya fakta. "Kalian ingat bagaimana Rosemary Blue meninggal secara misterius tiga tahun lalu? Aku mendapat informasi jika di seorang petugas hotel melihat pria dengan tatto 'No Life' pada tangan di kamar wanita itu."Tuan Bara memicingkan mata, menatap Jeremy yang tampak gelisah. Dengan cepat ia memberi kode pada dua penjaga yang selalu siap di di sekitar ruangan itu. Dua pria yang mendapat kode mengangguk singkat. "Tidak, jangan dengarkan
Vinn memijit keningnya. Kepalanya berdenyut sejak beberapa menit lalu seusai pertemuan. Kini ia duduk menyendiri di balkon lantai tiga. Menikmati angin malam yang perlahan menusuk kulit pucatnya. "Vin," panggil suara Tuan Bara seraya mendekat. Sejak tadi pria itu memperhatikan sang keponakan yang menjadi lebih pendiam. "Kukira Paman sedang menemani kakek," respon Vinn. Ia tersenyum dan bersikap biasa, berharap pamannya tidak menyadari ia sedang kesakitan. "Kenapa kau menolak menandatangani surat itu?" "Bukan menolak, Paman. Aku akan menandatanganinya nanti. Menurutku tidak perlu buru-buru juga. Bukankah aku belum berhak?" Vinn melempar pandangan pada pendar cahaya di kejauhan. Letak pusat kota yang berjarak belasan kilometer dari mansion. "Semua keputusan ada di tangan kakekmu. Aku juga tidak tahu apa alasannya. Mungkin dia sudah lelah memintamu menikah." Tuan Bara menahan tawa disusul Vinn yang melakukan hal yang sama. "Kakekku terlalu murah hati," komentar Vinn. "Sejak dulu m
Wanita dengan tampilan stylish mendekati Martin dan Clara setelah panggilannya tidak mendapat respon. Dua orang itu terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun. "Martin!" panggilnya sekali lagi ketika jaraknya sudah lebih dekat.Benar perkiraannya, Martin yang mendengar seketika menoleh. Disusul wanita cantik yang berada di samping. Kening Martin mengerut saat mereka bertemu pandang. "Stella?" sebut Martin pelan. Pria itu merangkul bahu Clara seakan menunjukkan jika ia tidak datang sendiri. "Ehm, bisa kita bicara?" Stella berbicara dengan ragu. Ia tidak melihat Clara sama sekali. Sedangkan Clara, tidak peduli. "Kita sudah selesai, Stella." Martin memperjelas status hubungan mereka yang telah usai sejak dua bulan lalu. Tapi itu tidak menyurutkan keinginan Stella untuk menyampaikan sesuatu. "Tapi kita perlu bicara. Ini penting, Martin. Kalau kamu menolak, aku akan menemui kakek atau Tante Amber," ancamnya.Perkataan Stella membuat Martin mencebik kesal. Ia tak suka diancam. Apalagi jik
Martin bangkit dengan dada bergemuruh. Kejadian ini sungguh tak terduga. Wanita bernama Stella terlihat sudah siap menembak dengan air mata berlinang. Tangannya gemetar. "Kenapa, Martin? Kenapa kamu diam? Aku lebih baik mati daripada menanggung malu!" Bulir bening menetes dari netra wanita dengan rambut bawah bahu itu. "Letakkan pistol itu, Stella. Semua masalah pasti punya solusi. Termasuk masalah kita," tutur Martin. Perlahan tapi pasti, ia mendekat. "Berhenti atau aku akan menembak!" teriak Stella mengancam. Bukannya menuruti, Martin justru memasang mode tak mendengar dan terus maju. Saat jarak mereka tinggal tiga langkah, pria itu bergerak cepat. Merebut pistol dan merengkuh Stella agar tidak bisa bergerak. "Lepaskan, Martin! Lebih baik aku mati! Ini yang kamu inginkan, bukan? Lepaskan aku!" Stella terus meracau. "Ssstt. Kita akan menemukan solusi. Jangan seperti ini," bisik Martin tepat di telinga Stella. Stella masih menangis tapi pergerakannya sudah banyak berkurang. Pik
Sore itu Clara duduk termangu di teras samping mansion, ditemani segelas tinggi jus pome yang berwarna semerah darah. Tangannya terus mengaduk jus, dengan tatapan kosong pada kolam ikan di taman yang ditata rapi. Tiga hari sudah sejak ia terakhir bertemu Martin. Pria itu menghilang bak ditelan bumi. Bahkan saat ia mengitari area mansion, Clara tetap tak menemukannya. Bosan hanya duduk selama setengah jam, Clara berpindah. Berjalan menuju pohon rindang yang pada salah satu cabangnya dipasang rumah burung. Namun langkahnya melambat saat mendengar percakapan dua pelayan di balik pohon. Clara tak suka menguping tetapi suara dua wanita yang tengah membersihkan rumput liar itu cukup bisa didengar dengan jelas. "Benar? Siapa yang mengatakan padamu? Ini bisa jadi bahan gosip saat berkumpul dengan yang lain nanti." Sebuah suara melengking berbicara. "Pelankan suaramu. Jika Tuan besar tahu, bisa habis kita. Aku ingin dipecat dalam waktu dekat," balas wanita satu lagi. "Tenang saja. Di tama