LOGINKesepakatan kerja sama antara Hansen dan Almara sudah terwujud. Cherry yang mencoba mencegah ternyata percuma karena popularitas ini yang dibutuhkan bagi Hansen meraih kesuksesan. Almara sudah terkenal dalam agensi dan mengorbitkan banyak penyanyi bahkan boyband baru.
Tanpa disadari, anak dari Hansen dan Cherry yang masih berusia sembilan belas tahun ikut audisi terbuka pemilihan boyband di bawah naungan Almara. Edo yang merupakan anak dari Hansen dan Cherry tidak mau ketahuan kalau mendaftar audisi dan memilih menggunakan nama panggung. "Namanya Edo, tapi minta ditulis dengan nama panggung Leo. Entah kenapa dia minta seperti itu padahal namanya juga sudah bagus. Gimana? Mau dilanjut apa nggak?" Salah satu asisten dari Almara yang bernama Pinky sedang menunjukkan sebuah berkas milik salah satu talent yang mendaftar setelah lulus seleksi awal dua tahap. "Kalau dia berhasil lolos dua tahap seleksi berarti kemampuannya tidak bisa diabaikan. Biar dia bertemu aku sekarang. Wajahnya tampan dan tubuhnya proporsional. Aku pikir, dia bisa menjadi anggota boyband baru ini." Almara tersenyum, menyeringai. Dia ingin memberikan sebuah ujian kepada Edo. "Baik, deh." Pinky bertugas melakukan apa yang diminta oleh Almara. Beberapa saat kemudian, pria bertubuh proporsional dengan mengenakan kaos biru langit masuk ke ruangan Almara. "Permisi, apakah benar ini ruangan Pimpinan Almara?" "Ya, betul. Tutup pintunya dan silakan duduk di sofa," ucap Almara yang memiliki akses pintu otomatis terkunci jika ditutup. "Baik. Maaf sebelumnya, syarat untuk ganti nama panggung apakah tidak boleh?" Edo to the point bertanya lebih dahulu karena khawatir bisa ketahuan orang tuanya jika ikut audisi. "Itu bukan hal penting. Ada satu hal yang penting untuk aku pastikan lebih dahulu. Apakah kamu siap melakukan apa saja demi bisa menjadi anggota boyband ini? Karena masih banyak orang yang mau melakukan apapun untuk berada di posisi ini," kata Almara sambil membungkukkan badannya menatap tajam ke arah Edo. Edo menelan ludah sendiri saat melihat belahan gunung kembar yang menyembul dari balik pakaian Almara yang berusia mungkin hampir sama dengan orang tuanya, tetapi masih terlihat muda dan menggoda. "Apa itu?" tanya Edo mencoba tidak terhipnotis dengan pikirannya yang mulai bergerilya karena gejolak kaum muda yang belum pernah tersalurkan. "Temani aku malam ini dan kamu akan mendapatkan jawaban. Ini alamatku," ucap Tante Almara yang menyodorkan kartu nama dengan alamat yang tentu berbeda dengan tempat Faizal menunggu. "Baik. Jam berapa? Aku tidak akan terlambat." Edo berusaha sebaik mungkin bisa menjadi anggota dari pemimpin tersebut tanpa bantuan koneksi kedua orang tuanya. Malam harinya, Edo datang ke tempat yang ditentukan oleh Tante Almara. Dia sudah bersiap untuk segala kemungkinan yang ada. "Sudah datang? Bagus kalau tidak terlambat. Aku tidak suka orang ingkar janji atau terlambat." Tante Almara mempersilakan Edo masuk ke tempatnya. Sedangkan para penjaga bersiaga di depan rumah Tante Almara. Tempat itu berbeda dengan tempat Faizal menunggu dengan setia kepulangan Tante Almara. "Iya, aku sudah mengatakan kalau aku serius ingin menjadi bagian dari anggota boyband itu. Apalagi syaratnya selain ke sini?" Edo to the point bertanya karena ingin mengetahui syarat apa lagi yang harus dia lakukan. "Bagus kalau kamu to the point dan peka. Puaskan aku, maka kamu boleh menjadi bagian dari boyband itu." Tante Almara menatap tajam ke arah Edo. "A-apa? Tidak mungkin. Aku masih perjaka, mengapa aku harus melakukan itu? Buat alasan ini lebih masuk akal. Aku tidak mau melepaskan sesuatu yang berharga dalam hidupku untuk hal seperti ini." Edo terlihat berpendirian, meski sebenarnya jiwa kelakiannya meronta-ronta menatap tubuh Tante Almara yang terpampang nyata dan sangat menggiurkan di balik balutan kain tipis yang dikenakan saat ini. "Siapa bilang aku mau keperjakaan kamu? Aku hanya butuh .... Mulutmu .... Lidahmu .... Itu saja." Tentu jawaban dari Tante Almara membuat Edo mengernyitkan dahi. Ini adalah kali pertama bagi Edo. Beda dengan para berondong sebelumnya yang sudah berpengalaman. Edo pun memikirkan kembali soal syarat itu. Malam dingin menjadi saksi pendirian Edo pun goyah. Dia mengikuti apa yang diinginkan Tante Almara, toh bukan melakukan hubungan yang membuat kehilangan keperjakaan. Edo tak tahu hal itu akan membawanya dalam pusaran masalah yang tak bertepi. Malam itu Tante Almara kembali mendapatkan kepuasan tak bertepi. Dia merasa Edo sangat hebat dan meski pria itu pemula, bisa membuatnya puas berkali-kali dengan sentuhan itu. "Edo, aku janji bukan hanya menjadikan kamu sebagai anggota dari yang akan boyband terkenal, tetapi juga memastikan kehidupanmu terjamin. Namamu ganti Leo mulai sekarang dan besok masuk rumah pelatihan dan dikarantina hingga launching single dan album. Oke?" Tante Almara mengenakan kembali pakaiannya. Dia sangat berminat membuat Edo jadi yang terbaik. "Baik. Aku akan berusaha sebaik mungkin." Edo pun mengenakan kembali atasannya yang sudah kusut. Dia tidak membuka bawahan karena tidak diinginkan. Lagi pula, Edo melakukan itu untuk mendapatkan dan memastikan bisa berada dalam posisi boyband tanpa bantuan orang tuanya. Mengganti nama panggungnya menjadi Leo adalah langkah utama agar Edo bisa berlatih semaksimal mungkin. "Maafkan aku, Pa, Ma. Ini adalah jalan terjal yang aku pilih. Aku ingin sukses dengan pencapaianku. Aku tahu dunia entertainment seperti ini banyak sisi gelap, tapi aku akan berjuang," gumam Edo yang sudah keluar dari rumah Tante Almara. Edo naik motor berlalu pergi dan berhenti di pertigaan jalan yang agak sepi. Dia turun dari motor dan muntah-muntah. Tidak semua pria itu menikmati hubungan menjijikkan dengan Tante Almara. Contohnya Edo yang terpaksa tersenyum di hadapan Tante Almara, padahal hatinya tersiksa dan rasanya ingin muntah pun ditahan. "Kalau bukan karena syarat khusus penerimaan, aku tak sudi! Cih!" Edo pun kembali naik motor dan melaju pergi untuk membereskan semua barang-barang di kost-kostan dan pergi ke rumah karantina idol boyband yang sudah disiapkan oleh manajemen. Edo setelah ini akan mengubah nama sebutannya sebagai Leo. Tante Almara sudah memilih tiga kandidat boyband yaitu Leo, Joe, dan Apoy. Sedangkan dari manajemen milik Hansen Cherry memilih Gan, Ralf, dan Zinc. Nama yang unik untuk memulai debut sebagai boyband. "Light adalah nama boyband ini. Aku akan membuat mereka bersinar terang dan meraih kesuksesan." Tante Almara sangat yakin dengan tindakan ini. Keesokan harinya, proyek boyband bernama LIGHT akan dimulai. Karantina para personil untuk branding dan persiapan single rilis debut dan pembuatan album akan dilakukan. Tante Almara memastikan Hansen dan Cherry tak perlu khawatir tentang semua itu dan mendapatkan laporan nama personil sekaligus rekaman suara. Foto-foto personil masih dalam proses pemotretan khusus, sehingga Hansen dan Cherry tak tahu kalau Leo adalah Edo. "Bersinar lah seperti bintang. Aku akan mendukung kamu secara penuh," bisik lembut Tante Almara ke telinga Leo. "Apakah semua pemain boyband ini mendapatkan keistimewaan yang sama? Atau hanya aku yang diberi kesempatan itu?" Leo menatap wanita yang kemarin dia puaskan dengan sentuhan. "Hanya kamu, just you. Sudah paham?" Tante Almara langsung berlalu pergi agar tidak membuat yang lain curiga. Entah mengapa ada getaran yang berbeda setiap menatap Leo. Apakah ini getaran rasa cinta? Tante Almara yang masih perawan apakah bisa memiliki Edo yang masih muda belia?Malam itu hujan sudah reda, menyisakan aroma tanah basah yang masuk melalui jendela balkon apartemen Tante Almara. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, menambah nuansa temaram yang menenangkan sekaligus menyimpan gairah tersembunyi. Leo berdiri di balkon, memandang keluar sambil memegang segelas teh hangat yang tadi dibuat oleh Tante Almara. “Hujan seperti ini… rasanya tenang, ya?” ucapnya pelan. Tante Almara menghampiri dengan langkah pelan. “Iya, seharusnya malam seperti ini digunakan untuk istirahat, bukan memikirkan masalah.” Leo menoleh, tersenyum tipis. “Kalau aku boleh jujur, aku cuma mau ada di sini. Sama Tante. Itu saja sudah cukup.” Tatapan mereka bertemu. Ada keheningan yang anehnya terasa nyaman. Leo mendekat, memegang tangan Tante Almara dengan hati-hati. Tangan itu dingin, tapi terasa hidup di genggamannya. “Tante, aku nggak mau kamu terus merasa sendiri,” kata Leo lembut. Tante Almara menatap wajahnya lama, menyadari ketulusan di mata lelaki yang jauh lebih muda
Keesokan paginya, Leo sudah bangun lebih dulu. Ia duduk di meja makan sambil memandang layar laptopnya yang penuh dengan catatan dan tautan berita tentang Faizal. Dari beberapa sumber, ia menemukan jejak lelaki itu dalam kasus-kasus serupa, meski semuanya selalu berakhir tanpa bukti kuat. Faizal tampaknya sudah berpengalaman memeras orang.Tante Almara keluar dari kamar, mengenakan gaun tidur sederhana. Wajahnya tampak letih, tetapi senyum kecil muncul saat melihat Leo begitu serius. “Kamu belum tidur lagi?”Leo menutup laptopnya. “Aku tidur sebentar. Tante, aku sudah cari info soal Faizal. Dia bukan orang biasa. Ada dua orang yang dulu juga pernah mengaku diancam. Tapi mereka diam dan menghilang begitu saja.”Tante Almara duduk di hadapannya. “Jadi… dia sudah lama melakukan ini?”Leo mengangguk. “Iya. Makanya aku pikir kita nggak bisa cuma menunggu. Aku kenal seseorang di bagian cyber crime. Kalau kita bisa dapat bukti kuat, dia bisa ditangkap.”Tante Almara menarik napas panjang. “L
Malam itu, Tante Almara tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu apartemennya sambil menatap kosong ke arah kota yang berkelip dari balik jendela. Foto-foto di dalam amplop masih terbayang jelas di kepalanya. Kata-kata Faizal terus terngiang, "Lima ratus juta, menikmati malam bersama, atau semua orang tahu." Ia menatap layar ponsel. Nomor Faizal masih tertera, tetapi ia belum punya keberanian untuk menelepon. Ia ingin marah, ingin melawan, tetapi ia tahu lelaki itu licik dan berbahaya. Jika ia salah langkah, bisa saja semuanya hancur dalam semalam. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Leo. [Tante sudah tidur? Kalau belum, jangan lupa minum obat sakit kepala ya. Besok jangan terlalu capek.] Pesan itu membuat hati Tante Almara terasa sesak. Di tengah ancaman yang menghantuinya, ada seseorang yang benar-benar peduli. Tapi justru itu yang membuatnya takut. Jika Leo tahu soal ancaman ini, hidupnya bisa ikut porak-poranda. Karier Leo sebagai calon anggota boyband bisa hancur s
Beberapa hari kemudian, Tante Almara menerima sebuah amplop hitam di atas mejanya saat tiba di kantor pagi itu. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan tangan yang kasar dan terburu-buru. "Lihatlah kebenaran yang kau sembunyikan.” Jantungnya langsung berdegup kencang. Dengan sedikit ragu, ia membuka amplop itu. Di dalamnya, ada beberapa lembar foto yang membuat darahnya terasa dingin. Foto-foto itu jelas menunjukkan dirinya dan Leo di malam hujan beberapa hari lalu, saat Leo membukakan pintu mobil dan menatapnya dengan penuh kasih. Bahkan ada foto ketika mereka duduk berdampingan di dalam mobil, terlihat begitu dekat. Pun juga beberapa foto syur saat dirinya sedang bersama Leo mengarungi surga dunia. Hal yang begitu panas, tetapi memalukan juga jika disebar. Tante Almara menatap foto-foto itu lama sekali. Tangannya bergetar. Siapa yang bisa melakukan ini? Mengapa ada yang menguntit mereka? Ia memeriksa amplop itu kembali, dan di bagian paling bawah ada selembar kertas kecil bertul
Leo sudah tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain karena dia hanya menginginkan Tante Almara. “Tante, tolong pertimbangan kembali apa yang aku katakan. Aku benar-benar menyimpan perasaan dengan Tante.”Tante Almara menghela nafas panjang. Dia pun menatap Leo dengan dalam, “Sayang, kamu tahu? Cinta kita beda usia. Beda jauh. Apa mungkin?”“Cinta kita? Berarti Tante juga cinta aku, kan?” Leo merasa senang mendengar ucapan Tante Almara yang salah bicara. Tante Almara merasa terkejut dengan hal itu dan tersipu malu. Dia mencoba memalingkan wajahnya agar tidak terlihat oleh Leo. Keduanya sedang memadu kasih di dalam ruangan kerja milik wanita cantik berusia matang itu. Leo pun menempel ke Tante Almara. “Tante, tolong jujur. Tante juga merasakan hal yang sama, kan? Aku ... Aku mencintaimu.”Tante Almara menggigit bibirnya, ragu-ragu untuk mengakui apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia tahu bahwa hubungan ini sulit, bahkan mungkin mustahil, tetapi hatinya tak bisa membohongi diriny
Seminggu setelah ancaman dari produser, semua anggota Light dipanggil ke ruang latihan utama. Tante Almara dan produser Arman sudah menunggu mereka di sana.“Hari ini, saya ingin mengumumkan keputusan penting,” ujar Arman dengan nada serius.Semua anggota menahan napas, menunggu dengan cemas. Mereka saling menatap satu dengan yang lainnya karena merasa was-was andai kata satu dari antara mereka benar-benar akan dikeluarkan dan diganti oleh orang baru. Arman melanjutkan, “Setelah mempertimbangkan kerja keras kalian selama seminggu terakhir, saya memutuskan bahwa tidak ada satu pun dari kalian yang akan diganti.”Ruangan itu langsung dipenuhi dengan suara lega dan sorak-sorai kecil. Semua anggota boyband Light merasa begitu bahagia karena tidak ada di antara mereka yang akan digantikan posisinya. “Tapi,” lanjut Arman, “saya ingin kalian ingat bahwa ancaman ini tidak akan selalu kosong. Kalau kalian lengah atau tidak menunjukkan perkembangan, saya tidak akan ragu untuk membuat perubaha







