LOGINTinggalin kritik dan saran kalian di ulasan🙂↔️
Revan mengecup lembut titik denyut nadi di sana, membuat Alya refleks mendongak dan mendesah pelan. Kecupan itu perlahan berubah menjadi hisapan kecil yang posesif, meninggalkan jejak hangat yang seketika mengaburkan akal sehat Alya. Rasa lapar di perutnya lenyap, digantikan oleh rasa lapar lain yang terbangun perlahan karena sentuhan Revan.Tangan Revan yang melingkar di pinggang Alya mengerat, menarik tubuh mungil itu hingga menempel rapat padanya tanpa menyisakan jarak. Ia menghirup aroma tubuh Alya dalam-dalam, seolah itu adalah satu-satunya oksigen yang ia butuhkan untuk bernapas.“Masih mau bilang enggak?” goda Revan, suaranya rendah, di sela ciumannya yang kini merambat naik ke arah rahang.Alya menyerah. Ia memejamkan mata, membiarkan sensasi menggelitik itu mengambil alih dirinya sepenuhnya.“Dasar curang…” gumamnya pasrah, suaranya nyaris tenggelam di antara napas mereka.Revan terkekeh pelan. Ia akhirnya mengangkat wajah, menatap Alya yang tampak berantakan dan sayu, pem
Perut Alya tiba-tiba berbunyi cukup keras di tengah keheningan.Grrrkk…Revan yang memejamkan matanya sontak membukanya. Tubuhnya bergetar pelan karena tawa yang ia tahan. Ia menunduk, menatap wajah Alya yang sudah memerah.“Kamu lapar?” tanyanya, tangannya mengusap perut rata Alya yang baru saja berbunyi.Alya mengerang pelan, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan karena malu setengah mati. “Iya, Van…” katanya jujur dari balik telapak tangan. “Gara-gara kamu, aku belum sempat makan siang.”Revan tertawa lepas. Suaranya renyah memenuhi ruangan. Ia mengecup puncak kepala Alya dengan gemas.“Ya sudah, kita pesan makan aja,” usulnya santai sambil meraih ponselnya yang tergeletak di meja dekat sofa. “Mau apa? Pizza? Sushi? Atau nasi padang?”Alya menurunkan tangannya, menatap sekeliling ruangan apartemen yang mewah tapi tampak sepi itu.“Di sini nggak ada bahan yang bisa dimasak, Van?” tanyanya penuh harap. “Mie instan atau telur gitu?”Revan menggeleng tanpa rasa bersal
Tanpa aba-aba, satu tangan Revan menyelip di bawah lutut Alya. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat tubuh gadis itu. “Ah!” Alya memekik kaget. Kedua kakinya refleks melingkar di pinggang Revan, sementara lengannya memeluk leher pria itu erat-erat agar tidak terjatuh. “Revan! Turunin!” protesnya, napasnya sudah tak beraturan, wajahnya memanas. “Nanti,” jawab Revan singkat. “Kalau kita sudah di sofa.” Ia melangkah menuju sofa panjang di ruang tengah yang temaram. Namun ia tak sekadar meletakkan Alya. Revan ikut menindih tubuhnya, mengurungnya di antara sandaran sofa yang empuk dan tubuhnya yang kokoh. Alya terengah. Dadanya naik turun cepat, bergesekan dengan dada Revan yang menempel rapat padanya. Jarak wajah mereka tinggal beberapa sentimeter. Mata Revan yang gelap menelusuri wajah Alya perlahan, seakan ingin menghafal setiap ekspresi pasrah yang kini terlihat begitu memikat. “Kamu kelihatan cantik banget kalau lagi berantakan begini,” bisiknya serak. Ibu jarinya mengusap
Alya menarik nafas dalam-dalam.“Van,” ucap Alya pelan, nadanya melembut. “Bisa nggak imbalannya nanti aja? Kalau udah sah. Cuma seminggu lagi kok.”Revan tetap menatap jalan. “Nggak bisa, Alya. Aku udah bilang. Aku nggak mau nunggu selama itu.”Alya menggigit bibirnya. “Nanti malam pertama kita jadi nggak berkesan, Van.”Revan meliriknya sebentar, lalu berkata tenang namun tegas, “Apapun, asal sama kamu, selalu berkesan.”Kalimat itu membuat Alya kehabisan kata.Ia terdiam. Tangannya saling menggenggam di pangkuan, dadanya terasa penuh oleh campuran takut, pasrah, dan perasaan yang tak sanggup ia uraikan.Tak lama kemudian, mobil memasuki area parkir basement apartemen mewah itu.Revan mematikan mesin, tapi ia tidak segera turun. Ia hanya duduk diam, membiarkan kegelapan di dalam mobil perlahan mengambil alih.Alya bisa merasakan jantungnya seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Ia tidak berani menoleh. Ia tahu, di balik wajah tenang Revan, ada badai yang sedang menunggu
Jam di ponsel Alya menunjukkan tepat pukul empat sore saat ia akhirnya melangkah keluar dari gedung fakultas. Langit masih terang, tapi panasnya sudah tidak seterik siang tadi. Bahunya terasa pegal karena kelas tambahan yang mendadak, dan kepalanya penuh oleh materi yang dipadatkan dalam waktu singkat. Ia menghela napas pelan sambil menuruni anak tangga, lalu merogoh tas mencari ponselnya. Baru saja layar ponsel menyala, langkah Alya terhenti. Mobil Revan sudah terparkir di depan kampus. Posisinya hampir sama seperti siang tadi, seolah Revan tidak benar-benar pergi ke mana pun. Alya menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil tanpa sadar. Ada rasa bersalah yang langsung menyelinap. Ia mematikan layar ponselnya, menyimpannya kembali ke dalam tas, lalu berjalan mendekat. Begitu pintu mobil dibuka dan ia masuk, hawa sejuk AC langsung menyelimuti tubuhnya. Pintu tertutup. Hening. Revan duduk di kursi pengemudi dengan ekspresi yang masih sama, rahang mengeras, tatapan
Rafi mengangkat kedua telapak tangannya setinggi dada, gesturnya tampak santai seolah ingin meredakan suasana. Namun sudut bibirnya tetap melengkung tipis, senyum yang terlalu tenang untuk situasi setegang ini.“Santai aja, Van,” katanya ringan. “Aku nanya Alya, bukan kamu.”Ia kembali menoleh ke Alya, sorot matanya lembut, nyaris penuh pengertian. “Alya apa benar kamu calon istri dia?”Alya menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak, tapi kali ini ia memaksa dirinya untuk tidak menghindar. Ia mengangguk pelan, lalu bersuara, meski nadanya sedikit bergetar.“Iya, Fi,” ucapnya jujur. “Dia calon suamiku. Aku mau nikah sama Revan.”Revan menyeringai. Senyum miring itu muncul begitu saja, seolah kalimat Alya adalah kemenangan kecil yang sejak tadi ia tunggu. Ia menoleh ke arah Rafi, dagunya terangkat sedikit.“Kamu dengar sendiri, kan?” katanya dingin. “Jadi tolong, jangan ajak istri orang jalan sembarangan.”Rafi tertawa kecil, singkat. Ia menggeleng, seolah kalimat itu terlalu







