Entah kekuatan darimana, Indra berdiri dan menawarkan bantuan. Bu Caca memberikan beban di tangan kanannya. “Silahkan duduk.” kata Bu Caca singkat. Indra menuruti perkataan Bu Caca. Dengan perlahan, Indra mendekati kursi yang ditunjuk oleh Bu Caca. Duak… Suara keras terdengar dari bawah, berasal dari kakinya. Indra melompat kaget. Sesaat kemudian dia sadar. Kakinya mengkhianatinya terlebih dahulu. Saat dia berjalan mendekati kursi untuk duduk, kakinya beradu dengan kaki kursi dengan keras. Suara beradu yang keras antara sepatunya dan kaki kursi membuatnya melompat dan berhasil membuatnya tampak konyol. Sepersekian detik, Indra melirik pada Bu Caca. Bu Caca juga tak kalah kaget. “Kamu kenapa?” tanya Bu Caca dengan wajah kaget. “Bodoh.” kutuk Indra dalam hati. “Tidak apa-apa Bu. Sepertinya saya terlalu bersemangat hari ini. Jadi kaki kursi yang sudah ada di sini terlebih dahulu dan tidak bersalah saya tending.” kata Indra berkelakar. Indra mencoba mengusir ciutnya nyali dengan b
Caca tersenyum lebar. Giginya yang putih dan tertata rapi seperti biji mentimun nampak dengan jelas. Kepalanya sedikit mendongak memperlihatkan lehernya yang jenjang dan mulus. Dadanya terasa ringan. Nafasnya terasa enteng dan mudah.“Kamu, apa yang kamu tawarkan pada Pak Warek agar proposal itu disetujui?” tanya Jasmine yamng berada di depan Caca keheranan.“Ck… Gampang. Merayu Bapak Warek yang ganteng bukan suatu masalah besar bagi Mak Lampir penguasa Biro Urusan Luar Negeri.”“Apa kok? Kamu membuatku penasaran.” Jasmine semakin tidak sabar.“Aku bilang bahwa kalau proposal ini tidak disetujui, aku akan mengajukan proposal ini pada pihak swasta.”“Kamu?” mata Jasmine terbelalak. “Ndak mungkin. Kamu gila.” Jasmine setengah berteriak, dan langsung menutup mulutnya.Caca mengangguk bangga, “Ya. Aku setengah mengancam pada Pak Warek. Aku bisa saja mengajukan proposal ini pada pihak swasta tetapi dengan resiko kalau semua hasil dari pertukaran doktor ini akan menjadi milik pihak swasta.”
Kelas yang Caca ajar selesai pukul sembilan lewat tiga puluh tujuh. Dengan berbagai pertimbangan, dia tidak jadi makan dan langsung menuju kantornya. Caca tidak mau terlambat bertemu dengan Indra. Selain tidak mencerminkan dirinya terlambat, dia ingin segera bertemu dengan Indra.Saat Caca melihat wajah Indra yang pucat dan serius, Caca bertanya-tanya apakah Indra sedang sakit. Namun, pikirannya salah ketika dia mendengar saat Indra bertanya.“Apakah Bu Caca bersedia makan malam dengan saya?”Bagaikan petir menyambarnya di siang hari terik. Caca mendengar jelas perkataan Indra tersebut. Tetapi karena kaget dan tidak tahu respon seperti apa yang akan Caca berikan, dengan bodohnya dia berkilah bahwa dia tidak mendengar kata-kata Indra.Indra mengajaknya makan malam. Caca tahu pasti makan malam itu adalah cara Indra untuk mendekatinya. Dengan kata lain, Indra juga menaruh hati padanya.Maka terjawab sudah bagi Caca, Indra yang tampak pucat bukan karena sakit. Indra grogi untuk menyatakan
Mata Caca memandang kosong ke arah pintu kepada sosok yang baru saja keluar dari pintu tersebut. Mulut Caca masih menganga. Dengan lutut yang lemas dan goyah, dia sekuat tenaga berdiri dan berjalan menuju pintu. Ditutupnya pintu tersebut dari dalam. Dirinya berbalik arah menyender pada pintu. Lututnya yang lemas tidak mau diajak berjalan. Tubuhnya merosot duduk bersila bersandar pada pintunya.Badannya membungkuk meringkuk. Tangannya menutupi wajahnya. Tenggorokannya tercekat, seolah-olah menyempit, dan kering. Bahunya naik turun bersamaan dengan tangisannya yang tak bersuara. Air matanya menetes membasahi kedua telapak tangannya.“Bodoh… Bodoh… Bodoh…”Tangan kirinya memegangi dahinya. Tangan kanannya sibuk memukuli pahanya. Nafasnya tersengal-sengal tidak beraturan. Dia mengusap air mata dari pipinya. Hidungnya mulai berair. Dia ingin berdiri dan mengambil tisu, namun lututnya masih lemas tidak mau diajak berdiri.“Kenapa aku tolak ajakan Indra?”Tangan Caca mengelus-elus dadanya. D
Disaat itu, mata Caca melotot hampir lepas dari tempatnya. Matanya tepat melihat ke pintu ruangannya. Disana berdiri Indra yang tertegun mematung. Tangan Indra membeku berhenti beberapa sentimeter dari pintu yang hendak diketuknya.Caca juga mematung. Kedua telapak tangan Caca reflek menutupi seluruh wajahnya.Caca merasakan seolah-olah bumi berhenyi berputar dan waktu tidak berjalan. Inginnya, Caca sembunyi saja di bawah kolong meja atau kalau bisa langsung lari keluar dari ruangannya.“Eh, Pak Indra. Silahkan masuk Pak.” kata Jasmine yang memecah keheningan.“Kok disuruh masuk sih Mbak,” Protes Caca dalam hati atas keputusan Jasmine yang menyuruh Indra masuk.Setelah berusaha keras menyetel wajahnya agar terlihat normal, dengan perlahan Caca menurunkan telapak tangannya. Saat telapak tangan itu turun, matanya langsung tertuju pada Indra. Saat itu, Indra terlihat malu-malu dan wajahnya memerah.Caca sendiri tidak bisa membayangkan betapa merah wajahnya. Caca yakin Indra mendengar apa
Hari selasa adalah hari yang ditunggu-tunggu Caca. Hari ini adalah hari yang istimewa dimana dia mengajar kelasnya Indra. Hari ini akan menjadi lebih istimewa karena dia akan menjalankan rencananya mendekati Indra.Setelah menghabiskan sekitar lima belas menit untuk memilih pakaian. Bahkan Caca juga mengaplikasikan riasan wajah yang lebih daripada biasanya. Setelah merasa puas dengan riasan wajahnya dan bajunya, Caca segera turun.Tidak ada siapapun di meja makan. Akhirnya, Caca memutuskan untuk tidak sarapan meskipun perutnya perih minta ampun. Ditambah lagi, jantungnya yang berdebar-debar menunggu kelas nanti siang. Rasanya Caca mempunyai energi lebih meskipun tidak ada sarapan.Sesaat sebelum mengajar kelas Indra, keraguan menyisip pelan-pelan. Hati kecilnya menanyakan berbagai pertanyaan seperti, bagaimana kalau ternyata Indra sakit hati atas penolakan kemarin? Bagaimana kalau ternyata karena sakit hati itu, Indra tidak mau membantunya? Apa lebih baik tidak meminta bantuan dari In
“Se.. Sebenarnya, saya mau mengajak kamu bekerja sama.” ujar Caca dengan suara yang masih gelagapan.Dalam hati Caca mengumpat. Caca benci dirinya sendiri yang tidak bisa menguasai dirinya sendiri.Indra menatapnya. Tatapan mata Indra seolah-olah menelanjanginya. Lutut Caca sudah menyerah tidak mampu menahan berat badannya sendiri.“Bekerja sama?” mata Indra menyipit, dahinya berkerut.“Ya. Sebelumnya, apakah kamu sudah menjalani seminar akademik atau proceeding sebagai salah satu syarat kelulusan?”“Belum Bu. Saya berencana untuk menerbitkan jurnal saya di jurnal internasional. Saya tidak berniat untuk ikut seminar atau proceeding karena butuh persiapan yang lama dan kemungkinan juga dilaksanakan di luar kota atau bahkan luar negeri. Lagipula waktu pelaksanaannya proceeding sudah ditentukan, tidak sepanjang tahun seperti publikasi jurnal. Jadi saya berpikir publikasi di jurnal saja lebih cepat daripada ikut proceding.”“Kebetulan sekali kalau begitu, saya mau menawarkan bagaimana jik
Senin dini hari, dua hari yang lalu.Satrio sedang makan roti bakar dan menyeruput cappuccino di ruang tunggu eksekutif maskapai Emirates di Bandara Internasional Dulles, Washington D.C. yang tenang dan nyaman. Makanan dan minuman tersedia gratis bagi penumpang kelas bisnis dan kelas satu di ruang tunggu itu. Satrio menunggu pesawatnya akan berangkat jam lima pagi menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta.Selama itu pula, pikiran Satrio mengarah pada Caca.Selama hampir seminggu Satrio berada di negeri adidaya itu. Satrio diundang sebagai pembicara ahli di sebuah konferensi medis internasional yang diadakan di kampusnya, Johns Hopkins University. Kampusnya yang membiayai semua akomodasi Satrio.Seminggu itu pula, intensitas komunikasinya dengan Caca berlangsung baik. Caca sering membalas pesan pendeknya.Jam lima tepat, pesawatnya berangkat. Untunglah Satrio ada di kelas bisnis, perjalanan selama dua belas jam ke Dubai, menjadi tidak masalah karena dia bisa meluruskan kaki