Tatapan Aiden menatap dingin dokter yang memeriksa keadaan Amora. Pria tampan itu tenang di balik wajahnya yang tersirat cemas. Aiden sangat pandai menutupi kekhawatiran dan kecemasan dalam dirinya. Terbukti, jika orang melihat pastinya pria itu seolah tak memiliki rasa khawatir. “Bagaimana keadaannya?” tanya Aiden dingin, dengan raut wajah datar.Sang dokter menatap sopan Aiden. “Tuan, demam istri Anda sudah turun. Istri Anda pasti kelelahan. Saya sarankan untuk dua hari ke depan, istri Anda lebih banyak beristirahat. Dan jangan lupa minta istri Anda untuk menghabiskan obat yang sudah saya berikan.”Aiden mengangguk singkat. “Aku paham. Thanks.”“Dengan senang hati, Tuan. Saya permisi.” Dokter itu pamit undur diri dari hadapan Aiden.Aiden menatap dingin Amora yang masih belum membuka mata. Pria itu duduk di pinggir ranjang, menyentuh kening Amora. Benar apa yang dikatakan sang dokter, demam wanita itu sudah turun.“Kau selalu menyusahkan hidupku, Amora,” geram Aiden kesal.Aiden ba
“Amora, kau harus menggantikan Trice menikah dengan putra dari keluarga Reficco.”Mata Amora membulat sempurna akibat keterkejutannya, mendengar ucapan Nolan, sang ayah. Tubuhnya membeku tak berkutik sama sekali. Kalimat yang lolos di bibir ayahnya seperti hantaman keras ke kepalanya.Bibir Amora bergetar. “Dad, b-bagaimana bisa kau memintaku menggantikan Trice?”“Apa kau tidak lihat Trice melarikan diri?!” Nolan membentak keras seraya menunjukkan surat yang ditinggalkan oleh Trice. Surat itu berisikan tentang permintaan maaf Trice mundur di hari pernikahan. Bahkan Trice—adik tiri Amora—tidak memberikan alasan kenapa mundur di hari pernikahan.Amora menelan salivanya susah payah dengan mata berkaca-kaca. “Dad, kita bisa mencari Trice. Kita bisa berusaha untuk—”“Usaha macam apa yang kau maksud, Amora?! Upacara pernikahan sebentar lagi akan dimulai! Dan kau masih berpikir untuk mencari Trice?! Kau sengaja ingin mempermalukan keluarga kita, hah?!” bentak Nolan keras.Air mata jatuh memb
“Tidurlah di ranjang, aku akan tidur di sofa.”Suara berat Aiden begitu menusuk ke indra pendengaran Amora. Pasangan yang baru saja menikah itu, masuk ke dalam kamar pengantin mereka. Tampak jelas kegugupan dan ketakutan di wajah Amora, sedangkan Aiden menunjukkan aura arogan dan amarah tertahan.Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kita tidur terpisah?” “Kau pikir aku mau tidur denganmu?” seru Aiden dengan nada dingin dan sorot mata tajam.Amora menggigit bibir bawahnya. “T-tapi b-bukankah kita sudah menjadi suami istri?”Rangkaian resepsi mewah telah selesai. Amora dan Aiden berada di kamar pengantin mereka. Tentu malam pertama adalah hal yang ditakutkan oleh Amora. Namun, Aiden tiba-tiba mengatakan mereka tidur secara terpisah. Hal tersebut membuat Amora senang bercampur dengan kebingungan. Aiden melangkah mendekat ke arah Amora. Refleks, wanita itu melangkah mundur hingga punggungnya terbentur ke dinding. Aiden mengungkung tubuh Amora, membuat wanita itu gelagapan dan ta
Langkah kaki Amora begitu pelan, melangkah masuk ke dalam mansion milik Aiden. Desain elegan dan tertata sangat rapi dan sempurna. Bahkan debu pun tak terlihat. Bisa dikatakan Aiden adalah sosok pria yang perfectionist.“Kamarmu ada di ujung kanan,” ucap Aiden di kala sudah tiba di lantai tiga.Amora menatap Aiden dengan tatapan bingung. “Kamarku? Maksudmu, kita tidur terpisah?” tanyanya memastikan sambil mengerjapkan mata.Aiden membalas tatapan Amora dengan tatapan tajam. “Kau berharap kita tidur bersama?!”Amora tersentak karena nada bicara Aiden satu oktaf lebih tinggi. “A-aku hanya memastikan saja, Aiden.”Aiden melangkah mendekat. Refleks, Amora mundur dengan wajah panik.Amora menelan salivanya susah payah, dan mengangguk di balik wajah ketakutan. Detik selanjutnya Aiden melangkah pergi meninggalkan Amora yang bergeming di tempatnya, dengan raut wajah ketakutan.“Nyonya,” sapa sang pelayan sontak membuat Amora terkejut.“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud membuat Anda terkeju
“S-sakit …” Amora mengerang kesakitan ketika Aiden mencoba mengobati pergelangan kakinya yang terluka.“Ini tidak akan selesai jika kau tidak bisa diam.” Aiden menghela napas berat, karena kaki Amora yang tidak bisa diam ketika ia sedang mengoleskan salep.“A-aku bisa sendiri,” Amora menatap mata Aiden dengan takut, kemudian ia mengulurkan tangannya untuk mengambil obat oles yang berada di tangan Aiden.Tetapi Aiden tidak mengindahkan perkataan Amora, dan justru tetap mengobati lukanya. Ketika Aiden sudah selesai mengobati pergelangan kaki Amora, Aiden beranjak untuk pergi dari kamar Amora.“A-aiden … terima kasih—” ucap Amora tergugu, seraya menurunkan kakinya ke lantai.“Jangan berterima kasih kepadaku.” Aiden menanggapi dengan tenang, lalu melenggang pergi meninggalkan Amora.***Aiden menggosok rambutnya dengan handuk, guna mengeringkan rambutnya yang basah akibat menyelamatkan Amora. Tampak pria tampan itu masih dilingkupi perasaan yang masih kesal.Suara ketukan pintu berbunyi.
Menemani Aiden ke pesta ulang tahun Richard adalah hal yang Amora tak sangka. Wanita cantik itu berpikir, Aiden akan pergi sendiri, tapi ternyata malah mengajaknya. Jujur, Amora sangat malu untuk menghadiri pesta ulang tahun sepupu Aiden, tapi wanita itu tidak mungkin menolak apa yang sudah diinginkan Aiden.Amora menatap cermin, melihat tubuhnya terbalut sempurna oleh gaun sederhana, tapi tetap terlihat sangat cantik di tubuh Amora. Beberapa kali Amora menghela napas dalam, berusaha untuk menenangkan dirinya. Hadir di pesta pasti membuatnya sangat canggung.“Amora, apa kau sudah siap?” tanya Aiden seraya melangkah masuk ke dalam kamar Amora. Beberapa detik, pria itu terdiam melihat penampilan Amora. Gaun yang dipakai wanita itu memang sederhana, tapi sangat cantik dan anggun di tubuh Amora.Amora mengalihkan pandangannya, menatap Aiden yang kini berdiri di hadapannya. “Sudah, Aiden. Aku sudah siap.”Aiden berdehem seraya melirik sekilas sebuah kotak yang ada di samping Amora. “Itu ap
“Kita duduk di sana!” Aiden menarik tangan Amora, mengajak secara paksa wanita itu duduk di kursi yang tersisa. Richard yang melihat Aiden menarik tangan Amora—membuatnya menyapa para tamu undangan.Amora terkejut di kala tangannya ditarik paksa Aiden. Wanita cantik itu bingung Aiden mengajaknya duduk. Pun dia tidak enak karena meninggalkan Richard begitu saja. Sungguh! Amora bingung dengan tindakan Aiden.“Oh, hai, Aiden. Long time no see.” Seorang wanita cantik berambut pirang, duduk di kursi kosong—yang mana kebetulan ada di samping Aiden.Aiden menatap wanita cantik berambut pirang. “Nalani Carter?”Wanita cantik bernama Nalani itu tersenyum. “Senang sekali kau masih mengingatku. Apa kabar, Aiden? Sudah lama tidak bertemu denganmu, kau terlihat semakin gagah dan tampan.”Aiden tak merespon mendapatkan pujian dari Nalani. “Seperti yang kau lihat, aku baik.”“Aku senang mendengar kabar kau baik. Aiden, bagaimana perusahaanmu? Aku dengar kau semakin hebat dalam memimpin perusahaan ke
Amora berlari meninggalkan kerumunan pesta dengan air mata yang tak henti bercucuran. Dia menangis, mengingat kata-kata pedas yang terlontar dari bibir Nalani. Sungguh, dia tak menyangka Nalani akan mengeluarkan kata-kata seperti itu padanya. Jika dirinya dihina, maka dia akan diam saja. Hal yang membuat Amora sakit hati adalah ibunya dihina.Amora menjadi pusat perhatian para tamu undangan, berlari meninggalkan pesta dalam keadaan menangis. Wanita cantik itu mengabaikan tatapan yang tertuju padanya. Dia terus berlari, sampai tak sengaja kakinya tersangkut di karpet merah.BrakkkAmora tersungkur jatuh ke bawah, dan tangisnya kini semakin keras. Semua orang tak sama sekali membantu Amora. Para tamu undangan terus menatap Amora dengan tatapan bingung.Aiden melangkahkan kakinya tegas, menerobos kerumunan dan menatap Amora yang tersungkur di bawah sambil menangis. Detik itu juga yang dilakukan Aiden adalah menggendong tubuh Amora dengan gaya bridal—dan melangkah pergi meninggalkan kerum