"Tan, aku lihat Devan jalan sama cewek!" kata Dinda setengah berteriak.Kintan sampai harus menjauhkan ponsel karena sahabatnya itu langsung menyerocos sampai lupa mengucap salam."Jangan bercanda, dong, Din. Jam segini tuh Mas Devan masih kerja." Kintan menyangkal. Arlojinya baru menujukkan pukul empat sore. Devan biasanya baru keluar kantor pukul lima."Tapi suer, Tan, cowok itu mirip banget sama Devan. Dia lagi makan sama cewek di kafe dekat salonku. bajunya juga santai banget, bukan setelan celana bahan sama kemeja kayak orang kantoran."Kintan menggigit bibir. Ragu mulai mendera. Satu sisi hatinya tidak percaya karena hubungannya dengan Devan sedang sangat baik. Namun, Dinda juga bukan sahabat yang suka membual."Apa perlu aku samperin, Tan?""Coba kamu perhatikan lagi, gimana ciri-ciri cewek itu?""Hmm, kayaknya dia blasteran. Hidungnya mancung, kulitnya putih, terus ....""Din, please!" sela Kintan.Dinda garuk-garuk kepala karena lupa bahwa Kintan tidak akan mengerti ciri-ciri
Sari—karyawan baru Key and Cake—mendekati Ratri, salah seorang karyawan senior toko. Gadis lulusan SMK itu tidak tahan untuk tidak bergosip saat melihat sang bos berdandan cantik."Kak, Bu Kintan mau diapelin Ayang, ya?" tanyanya sambil bisik-bisik."Hush! Sembarangan nyebut Pak Devan pakai ayang-ayangan. Mereka itu calon pengantin."Kelopak mata Sari melebar. Dia mendekap kain lap yang sebelumnya dipakai untuk membersihkan meja adonan."Tinggal di bumi berasa ngontrak. Kenapa, sih, semua orang lancar bener jalannya buat dapat ayang? Kayaknya cuma aku yang jomblo sejak embrio." Bibir Sari manyun seolah-olah dia yang paling tidak laku sedunia.Ratri menoyor kepala Sari. "Si paling menderita. Noh, jadian sama Bambang kalau mau!"Bambang yang dimaksud adalah seorang office boy toko roti yang usianya terpaut dua tahun dari Sari. Kalau ada yang harus mendapat predikat paling menderita di sana, Bambang lah yang lebih tepat mendapatkannya.Tidak ada yang salah dengan wajah Bambang. Meskipun
Suara serak muazin saat mengumandangkan azan Subuh membangunkan Kintan dari tidur lelap. Gadis itu mengucek matanya beberapa kali kemudian bangun dan mengikat rambut. Matanya memicing karena sorot cahaya dari ponsel terlalu terang. Jam di layar menunjukkan pukul setengah lima pagi."Bangun, Mas."Kintan mengirim pesan itu ke nomor Dejan kemudian menaruh ponsel di nakas. Dia duduk sebentar di tepian ranjang sambil melamun. Setelah kesadarannya benar-benar terkumpul, dia baru menjejakkan kaki ke lantai dan melangkah menuju kamar mandi.Segarnya air wudu membasuh wajah, menyapu sisa-sisa kantuk yang masih bergelayut di pucuk mata. Kintan melaksanakan salat dan membaca Al-Qur'an setelahnya. Itu adalah rutinitas pagi yang sedang dia disiplinkan sejak enam bulan belakangan.Sejak rutin salat Subuh di awal waktu, Kintan merasa hajat hidupnya dipermudah. Hatinya lebih tenang, emosinya tidak mudah tersulut, dan usaha kuenya juga berkembang pesat. Bangun lebih pagi juga secara tidak langsung me
Grup WhatsApp keluarga besar Kintan mendadak heboh. Salah seorang anggota grup mengirimkan sebuah foto yang diduga adalah Kintan bersama seorang laki-laki. Gambarnya tampak pecah, seperti diambil dari jarak yang cukup jauh atau dipotong dari foto lain yang skalanya lebih besar.Di gambar itu, Kintan mengenakan setelan olahraga yang dipakai saat CFD. Punggungnya merapat pada dinding taman sedangkan kepalanya bersandar di bahu laki-laki yang sedang bersamanya."Udah lama enggak lihat asupan bergizi," komentar salah seorang keponakan Kintan. Dia membubuhkan emoji kepala dengan mata berbentuk hati."Blur aja tetep cakep. Pusing!" balas keponakan Kintan yang lain."Masyaa Allah, cakep amat jodoh orang," timpal yang lain."Mamaa, orang-orang udah punya ayang. Aku kapan dibolehin pacaran?"Makin ramai lah grup itu hingga semua anggota keluarga Kintan disebut-sebut. Kata mereka, Kintan sangat beruntung mendapatkan calon suami seperti Devan.Mereka semua, terutama kaum hawa, adalah pengagum De
Harapan itu berbanding lurus dengan kesempatan. Makin sering ia datang, maka harapan-harapan akan kian membuncah. Orang yang tadinya hendak berputus asa bisa kembali bersemangat saat diberi kesempatan. Begitu pun dengan Kintan.Awalnya gadis itu sangat ketakutan saat Pak Surya meminta Devan untuk datang. Belum-belum, pikirannya sudah kalut karena diterpa kekhawatiran yang dia ciptakan sendiri."Bagaimana kalau Mas Devan menolak bertemu?""Bagaimana kalau Mas Devan datang, tetapi Ayah telanjur marah?""Bagaimana jika salah seorang atau keduanya ingin hubungan mereka berakhir?"Dan bagaimana-bagaimana lainnya. Kintan lelah karena pertanyaan itu terus menyerang meski dia sudah berusaha tenang. Tatapan tajam dari ayah dan ibunya terasa tidak bersahabat.Harapannya terbit saat Devan menyambut baik permintaan ayahnya. Seolah-olah hubungan mereka memang masih punya masa depan. Rencana lamaran yang sempat tertunda itu, Kintan perlahan yakin, suatu saat nanti akan benar-benar bisa terlaksana.
Dari nol sampai seratus, berapa persen kemungkinan kita mencintai pasangan saudara sendiri? Lalu dari sekian persen tersebut, kira-kira berapa persentase perasaannya berbalas? Hingga jika perasaan itu berbalas pun, seberapa jauh peluangnya melaju ke jenjang pernikahan?Dejan sedang menghitung kemungkinan-kemungkinan itu. Awalnya terdengar gila dan tidak realistis. Sejak mereka masih sekolah, tidak sekali pun mereka menyukai orang yang sama. Setidaknya menurut Dejan begitu. Bahkan tipe perempuan idaman mereka berdua amat jauh berbeda.Kintan istimewa. Dejan tahu itu. Namun, dia baru benar-benar menyadari keistimewaan Kintan saat semuanya sudah telanjur jauh. Kintan bisa membuat selera mereka yang berbeda itu bertemu. Dejan telanjur menghayati peran. Hanya menunggu waktu saja, kedok permainannya akan terbongkar.Kata orang, hanya butuh tiga detik untuk jatuh cinta. Dejan tidak tahu kapan tiga detik itu tepatnya terjadi. Yang dia tahu, dirinya sudah menjadi sosok kekasih bagi Kintan. Dev
Kintan bukan tidak merasa aneh dengan perubahan sikap kekasihnya. Dia pikir, waktu setahun itu sudah cukup untuk mengenal Devan. Namun, ternyata tidak sama sekali. Devan-nya selalu melakukan sesuatu yang membuatnya takjub setiap hari.Kadang dia menduga jika sosok Devan yang tengah bersamanya saat itu sebenarnya adalah orang lain. Namun, dia tidak punya bukti akurat. Selain itu, meski beberapa hal terlihat mencurigakan, sikap laki-laki itu masih baik dan penuh kasih sayang.Manusia berubah seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman. Itulah yang dipercayai Kintan. Jika Devan sempat bersikap emosional, barangkali memang dia sedang lelah bekerja saja. Selebihnya, watak asli Devan memang begitu adanya.Tak jarang, rindu Kintan menggebu-gebu meski mereka baru saja bertemu. Dia pernah bertanya kepada Dinda, apakah hal demikian memang wajar adanya. Dan jawaban Dinda, seperti biasa, selalu menenangkan."Tan, rindu kamu itu berbeda dengan rindu kebanyakan orang." Begitu katanya."Be
Dinda sudah belasan tahun bersahabat dengan Kintan. Baik buruknya, susah senangnya, hampir dia tahu semua.Kintan menganggap Dinda selayaknya saudara sendiri karena posisinya di rumah sebagai anak tunggal. Dinda pun tidak keberatan. Meski perjodohan Kintan dengan kakak kandungnya pernah gagal, sedikit pun tidak berpengaruh terhadap hubungan baik keduanya.Setiap kali Kintan didekati oleh laki-laki, Dinda akan maju sebagai penilai pertama. Jika Dinda bilang tidak, Kintan akan berpikir ulang untuk menjalin hubungan.Sejauh itu, perkiraan Dinda tidak pernah meleset. Laki-laki yang mendapat kartu merah dari Dinda pada akhirnya sering ketahuan belangnya.Dinda ingat betul hari itu. Kintan datang ke salonnya setelah mengantar pesanan kue dari sebuah perusahaan konstruksi di Jakarta Pusat.Wajah Kintan berseri-seri dan pipinya bersemu kemerahan. Dinda sudah hafal. Jika Kintan seperti itu, obrolan mereka tidak akan jauh-jauh dari soal cinta.Kintan dengan malu-malu menyebutkan nama Devan. Kon