Ari bimbang, dia membayangkan bagaimana dia menjadi orang tua nona kecilnya. Tentu saat ini sedang kalangkabut mencari keberadaan anak-anak mereka. Ari mempir di konter untuk membeli nomor baru. Mengirimkan rekaman suara kegembiraan, keputusan dipikir nanti setelah sampai Jakarta.Fitri berbinar mendapati pesan rekaman dari anak-anaknya, beberapa saat setelah Indah meninggalkan rumah mereka."Sayang, ada apa senyum tidak jelas? Anak saja tidak jelas keberadaannya malah bisa-bisanya senyum sendiri," tanyaku melihat kelakuan Fitri."Bang! Kamu mengira aku senang, mereka menghilang?" Aku tersentak menyadari ucapanku menyinggung perasaan istriku, "Tidak, Sayang. Maaf aku salah," "Bang, menghilangnya mereka aku yang paling sedih. Selama ini akulah yang paling dekat dengan mereka. Kamulah penyebab semua kekacauan ini!"Aku hanya menunduk malu dengan sebuah kenyataan "Iya ... aku tau," "Satu hal yang aku tidak inginkan saat ini adalah bertemu denganmu. Aku kecewa sama kamu, biarkan aku se
Kakak mengatakan kalau posisi si pengirim Cirebon. Maka aku akan telusuri saudara dari Papa yang ada di Indramayu, setahuku ada satu saudara di Indramayu, ada yang di Purwokerto dan di Semarang. Dari Jakarta kita berangkat selepas Dzuhur, sampai di rumah Om Idris menjelang Maghrib. Aku di sambut hangat oleh Om Idris, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan anakku. "Akram, masyaAllah lama kita tidak bertemu," sambut Om Idris ketika aku memasuki rumahnya. "Iya, Om. Terakhir aku kesini saat Syifa masih kecil ya, Om," sahutku."Bagaimana kabar anak gadismu, sudah berapa tahun sekarang?""Syifa sudah besar, Om. Sudah sembilan tahun lebih. Hampir sepuluh tahun, Om apa kabarnya sekeluarga. Mana Adrian, Om?" tanyaku sejak tadi baru ketemu Om dan Tante Idris saja."Bocah nakal itu jam segini masih di kantor, paling tidak betah berada di rumah. Om sudah kepengin punya cucu, malah masih betah melajang," seloroh Om Idris."Masih ingin menikmati kesendiriannya, Om. Fokus sama karirnya," sahutku.
"Astagfirullah, hampir saja nabrak kucing!" ucap Ihsan spontan."Konsentrasi! Bicara terus dari tadi. Eh ... tadi kamu ngomong sengaja apa?" tanyaku penasaran mengingat Ihsan mau mengatakan sesuatu."Maaf, aku tidak sengaja mau nabrak kucing. Kata orang jika kita nabrak kucing harus mengurusnya agar kita tidak celaka. Sumpah ... aku takut banget, Akram," "Hee ... hati-hati nanti jatuhnya dosa syirik, bahaya loh. Memang kita dianjurkan memperlakukan semua makhluk hidup dengan baik tapi soal menimbulkan celaka itu tidak benar, itu syirik!" ucapku bersemangat meluruskan."Aku tau itu dari orang, katanya begitu,""Iya, aku juga pernah mendengar. Jangan sampai kita jatuh pada dosa tathayyur," ucapku."Akram, tathayyur itu seperti apa?" tanya Ihsan menggambarkan kebingungan. "Tathayyur artinya sangkaan dalam hati bahwa akan terjadi kesialan. Contohnya seperti tadi, kamu takut nabrak kucing. Jika nabrak kucing kamu akan celaka, terus ada lagi merasa sedang di gosipi karena telinga panas at
"Masuk saja, Akram. Sudah hafal tempatnya kan?" dengan hati berdebar kencang. Aku berjalan memasuki pintu ruang tengah, membuka horden pemisah antara ruang tengah dengan ruang tamu. "Permisi," mulut berbicara dan ekor mata mengamati di dalam ruangan. Ada tiga anak seusia Syifa dan Daffa sedang bermain."Ayahnya Syifa, kapan datang? Syifa ikut?" bocah bernama Syakilla menyalamiku dengan ramah. Ah ... iya, aku melupakan di rumah ini memang ada anak kecil seusia anaku. "Killa, kamu sudah besar sekarang. Syifa tidak ikut, Sayang," aku berjongkok mensejajarkan dengan tinggi badan Syakilla."Yah ... padahal sudah kangen banget sama Syifa," ucapnya sendu."Nanti Mas sampaikan sama Syifa, kalau Tante kecilnya lagi kangen," ucapku gemas.Syakilla adalah anak dari Tante Dini adik paling kecilnya Papa. Usianya hanya beda sedikt dengan Syifa."Mas, kenalkan ini teman-teman Killa, yang laki-laki ini namanya Farhan, dan yang perempuan ini namanya Yumna," aku menyalami keduanya."Halo, Farhan dan
"Ngaco kamu, Ihsan. Itu anakku, kita kerumah yang itu," aku terkekeh melihat kelucuan Ihsan."Haha ... Pak Kusir ngerjain Ayah," Syifa tertawa."Tuan Putri, kita sudah sampai tujuan. Apa perlu Pak Kusir bukakan pintu?""Ayah, perut kakak sudah nggak kuat ketawa terus," Syifa turun dari mobil masih terbahak.Bibi Sri tergopoh menyambut kedatangan kami, rupanya anak-anak sudah sampai duluan di rumah Eyang. Mereka menggunakan jalan pintas, Ihsan menjalankan mobilnya juga mirip delman, sangat lambat."Den Akram, akhirnya datang juga. Bibi sudah cemas sama dua bocah itu, bukannya harusnya mereka sekolah? Malah main kesini," cerocos Bibi Sri."Bi, panggil Akram saja tidak pakai den. Bapak ngasih namanya tidak pakai den," selorohku."Diajak masuk dulu, Bu. Bicaranya di dalam, Akram masuk dulu!" ujar Paman Samin, sambil menyalamiku dan Ihsan."Ayah!" seru Daffa baru menyadari kedatanganku. Dia sedang bersama anaknya Pak Samin."He ... anak Ayah. Kemarilah! Sudah pandai menjaga kakak rupanya,
"Selamat pagi, Pak Akram," sapa Pak Topan yang menjabat sebagai kepala HRD perusahaan Handoko."Selamat pagi, Pak Topa," jawabku."Mohon maaf jika mengganggu aktivitas keluarga Pak Akram. Saya hanya menyampaikan pesan Pak Handoko, mohon Pak Akram cek email surel sudah kami kiri di email. Di tunggu tanda tangannya hari ini, Pak," suara Pak Topan yang datar dan tegas namun di telingaku seperti sebuah bogem yang berat."Baik, Pak Topan. Siap cek email, terimakasih sudah menghubungi kami," sahutku."Sama-sama, Pak Akram. Selamat Beraktivitas," kalimat penutup Pak Topan.Aku segera mengecek email sesuai perintah dari Pak Topan, dan benar memang ada surat masuk yang harus di tanda tangani. Aku tercengang melihat isinya yaitu surat tugas mengurus proyek yang di Purwokerto selama satu minggu. Ternyata tidak sesuai dengan prasangka, alhamdulillah ketika kita sudah memperbaiki niat maka Allah memberi banyak kemudahan.Aku segera menandatangani surel tersebut dengan senyum mengembang."Ada apa,
"Tentu, Sayang. Abang ambil ponselnya dulu," ucapku tegas tidak ada keraguan sedikitpun. Apa yang aku harapkan lagi dengan mantan, bukankah tidak ada ikatan lagi. Sedangkan anak hasil pernikahan dengan Indah tidak ada, tidak ada alasan untuk menahannya bukan?"Terimakasih, Bang. Tapi, tidak perlu Abang ambil ponselnya. Disini saja, aku pengin di peluk dulu," ucap Fitri manja. Aku sendiri suka bingung dengan wanita, suka berubah dalam waktu sekejap."Sayang, kenapa berubah pikiran?""Abang sayang, meskipun nomor ponselnya kamu blokir, tidak menutup kemungkinan kalian masih bisa bertemu bukan? Jadi untuk apa, aku hanya ingin melihat kesungguhanmu. Yang aku butuhkan adalah kamu menjaga kepercayaanku, dan komitmenmu," ucap Fitri lagi dengan posisi dia sudah berbalik memeluk pinggangku."Sayang, dari kejadian beberapa bulan ini Abang banyak belajar. Abang janji tidak akan mengulangi lagi," kataku dengan mantap."Bang, tidak perlu berjanji. Masa lalu biar menjadi pelajaran, yang terpenting
Meski Fitri sudah menjelaskan kalau dia sedang bertukar pesan dengan teman namun dia masih penasaran, karena tidak biasanya Fitri larut dalam hal seperti itu."Sayang, anak-anak sudah siap. Masuklah, jangan mematung seperti itu," tegur Akram melihat Fitri masih dengan ponselnya, tidak berniat naik."Eh ... iya, Bang. Maaf ... ," Fitri merasa tidak enak di tatap seperti itu oleh suaminya.Fitri bergegas membuka kabin depan untuk duduk disamping kursi kemudi. Mobil perlahan meninggalkan rumah. "Bun, kita mau kemana?" tanya Daffa polos. Fitri mengalihkan pandangan dari ponselnya menengok ke arah Daffa yang duduk di belakang."Kalian lapar kan? Kita mau makan, restoran favorit Kak Syifa dan kamu, Sayang," ucap Fitri lembut.Akram menghangat mendengar perhatian Fitri kepada anak-anaknya. Tdinya Akram sudah sangat kesal dengan kelakuan istrinya. Ternyata rasanya seperti ini ketika di acuhkan."Hore ... alhamdulillah. Lama kita tidak kesana," sorak Daffa. Disambut tepuk tangan oleh Syifa da