Share

BAB 5: Pertemuan

Melalui jendela yang terbuka, Floryn dapat melihat keberadaan Emier yang tengah duduk di kursi belakang.

Deg!

Gadis itu sontak menelan salivanya dengan kesulitan.

Tangannya bahkan gemetar berkeringat dingin.

Kesedihan, amarah, kebencian, dan kecewa bercampur menjadi satu melihat pria yang dulu pernah memberinya begitu banyak kasih sayang, dan pria yang sudah mengeluarkan Floryn dari daftar keluarga hingga berhasil mengurungnya dalam jeruji besi selama lima tahun lamanya.

Rasanya seperti mimpi bisa kembali melihat sosok pria yang dulu sangat Floryn hormati dan dia banggakan, kini berubah menjadi orang yang sangat dibenci hingga tidak ada pintu maaf yang tersedia untuknya.

“Tuan Emier ingin berbicara dengan Anda.”

Tiba-tiba saja, seorang pria berpakaian sopir keluar dari mobil dan berlari menghampiri Floryn.

Tangan Floryn sontak terkepal kuat.

Untuk apa Emier ingin berbicara dengannya? Bukankah lima tahun yang lalu, saat Emier merobek kartu keluarga mereka, dia bilang dia tidak sudi berbicara dengan Floryn apalagi berhadapan dengannya?

Lagipula, tidak ada yang perlu mereka bicarakan?

“Katakan kepadanya, saya menolak,” jawab Floryn dengan penuh tekanan.

“Ini bukan permintaan, ini adalah perintah.”

“Dia bukan atasan saya, tidak ada alasan untuk saya mengikuti perintahnya,” jawab Floryn mempertegas ucapannya.

“Jika Anda menolak perintah, tuan Emier akan memasang wajah Anda diseluruh penjuru ibukota, memberitahu semua orang jika Anda pernah dipenjara atas kasus pembunuan adik Anda sendiri. Jika semua orang tahu siapa Anda, mereka akan mengucilkan Anda lebih parah dari penjara,” jawab satpam itu mengancam.

Pupil mata Floryn bergetar, matanya terasa panas didesak oleh air mata yang bisa tumpah kapan saja.

Hidupnya sudah sulit. Masihkah pria itu tega menambah penderitaannya?

“Sebaiknya Anda ikuti kami,” pinta sopir itu memutuskan.

Dengan langkah yang lemah akhirnya Floryn mengikuti sopir itu, pandangannya kembali bertemu dengan Emier memperhatikannya sejak tadi. Sorot mata Emier dipenuhi oleh kebencian, bahunya yang berada dalam ketegangan tampak seperti sedang menahan amarah.

Floryn menarik napasnya dalam-dalam. “Kita bicara disini saja.” ucapnya dengan susah payah, sangat sulit untuk Floryn untuk bisa kembali berbicara dengan Emier.

Terlalu banyak luka yang telah Emier ukir didalam hati dan ingatannya, luka itu tidak akan pernah bisa disembuhkan sampai kapanpun, dan selama luka itu masih ada, Floryn akan selamanya membenci Emier.

“Aku tidak mau satu orangpun melihat jika aku tengah berbicara dengan seorang pembunuh,” jawab Emier dengan tajam dan berhasil membuat Floryn tersenyum menahan kepedihan.

Sang sopir memasuki mobil dan mulai menyalakan mesin. “Anda duduk di depan,” titah sopir itu.

Belum sempat Floryn menyentuh mobil Emier, pria paruh baya itu mengangkat tangannya dan mengibas memberi isyarat jika Floryn tidak diizinkan masuk.

“Kau tidak diizinkan duduk didalam mobilku, berjalanlah dan ikuti kemana mobil ini pergi,” titah Emier terdengar begitu kejam dan menohok hati terdalam Floryn.

“Aku bukan seekor anjing,” jawab Floryn.

“Berhenti beromong kosong, ikuti saja mobil ini.” Emier menaikan kembali jendela mobilnya dan meminta sang sopir mulai berkendara dalam kecepatan pelan.

Tangan Floryn terkepal kuat, gadis itu menengadahkan kepalanya menahan air mata yang kian mendesak. Emier memperlakukannya seperti seekor anjing, bahkan mungkin anjing jauh lebih terhormat darinya.

Kapan Floryn bisa membalas penghinaan kejam ini? Dapatkah dia memiliki kesempatan itu?

Tin!

Suara klakson terdengar, memaksa Floryn harus berjalan mengikuti ke mana arah perginya mobil Emier.

Pria itu... benar-benar memperlakukannya lebih dari seorang budak.

Peluh keringat membasahi wajahnya.

Kaki Floryn yang hanya beralas sandal terasa sedikit sakit namun dia masih berjalan mengikuti mobil Emier meski sudah melewati beberapa belokan.

Ke mana sebenarnya Emier akan pergi?

Rasanya, Floryn ingin pergi dan berhenti mengikuti mobilnya. Namun di sisi lain, dia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya ingin Emier bicarakan dengannya.

Langkah Floryn terhenti sejenak.

Gadis itu pergi ke dekat keran umum yang ada dibawah pohon trotoar jalan--mengambil beberapa teguk air untuk melepas dahaganya.

Di dalam mobil, Emier yang tengah duduk santai beberapa kali melihat kearah spion, memperhatikan Floryn yang berjalan cukup jauh di belakang mobilnya.

Benci, seperti itulah gambaran perasaan Emier saat melihat mantan putrinya.

Jika bukan karena keselamatan Erika putri bungsunya, Emier tidak sudi untuk melihat dan berbicara lagi dengan Floryn.

Sejak kejadian di malam itu, Emier sudah tidak mengenal siapa Floryn lagi.

Emier merasa sudah salah menilainya.

Floryn sudah seperti monster, dia adalah gambaran mahluk pembawa sial yang sebenarnya.

Tidak hanya berhasil mempermalukan keluarga didepan seluruh negeri, Floryn juga sudah merenggut nyawa seseorang.

Sekali lagi, Emier melihat keberadaan Floryn yang kian jauh dari mobilnya karena kelelahan.

Emier hanya bisa melihat rambut pirangnya yang berkilau tersapu mentari pagi.

‘Dia sama persis seperti ibunya meski hatinya seperti iblis’ batin Emier.

Mobil yang membawa Emier terhenti di depan sebuah restorant mewah, pria paruh baya itu keluar dari mobilnya tidak mempedulikan Floryn yang bernapas ngos-ngosan karena lelah.

Melihat Emier yang sudah masuk lebih dulu, mau tidak mau Floryn menyusul masuk.

Penampilan Floryn yang lusuh seperti gelandangan dihadang oleh manajer restorant tepat di depan pintu.

“Nona, Anda sudah mereservasi meja?” tanya manajer itu dengan tatapan tidak bersahabat dan berbicara seolah hanya sebatas berbasa-basi sebelum mengusir.

Floryn menggeleng. “Saya tidak mereservasi apapun.”

“Kalau begitu silahkan pergi dari restorant ini,” hadangnya meremehkan.

Floryn menghela napasnya dengan berat. Dia sedang malas berdebat, energynya sudah cukup terkuras karena berjalan jauh. “Jika Anda tidak mengizinkan saya masuk, saya akan pergi.”

“Silahkan,” jawab manajer itu dengan senang hati.

Andy, sopir Emier segera berlari menghampiri. “Nona ini datang bersama tuan yang berada di sana,” jawabnya seraya menunjuk keberadaan Emier yang sudah duduk dan memesan sesuatu pada pelayan.

Manajer itu melihat Floryn dan Emier dengan seksama, ketidakpercayaan jelas terlihat dimatanya.

“Saya sopir pribadi tuan itu,” tambah Andy lagi meyakinkan.

Manajer restorant itu segera mundur memberi jalan Floryn untuk masuk ke dalam.

Floryn berdecih kesal, tampaknya Emier sengaja ingin mempermalukannya lagi setelah memperlakukan Floryn seperti seekor anjing yang harus berjalan mengejar mobil mewahnya.

Dia lantas menarik kursi dan segera duduk--menunggu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Emier.

Terlebih, pemandangan yang begitu kontras antara Eimer dan Floryn cukup mencuri perhatian.

Jadi, dia tak ingin berlama-lama.

“Katakan sekarang, jangan membuang waktuku,” desak Floryn angkat bicara.

“Pergilah dari kota ini, kembalilah ke North Emit tempat dimana ibumu dilahirkan dan dimakamkan.”

Napas Floryn tertahan di dada.

Hatinya ditelusupi rasa perih mendengarkan pengusiran Emier yang memintanya kembali ke tempat ibunya berada.

Andai saja, Floryn tidak memiliki urusan apapun di sini, dengan senang hati dia akan pergi.

Namun, di kota ini dia masih memiliki sesuatu yang harus dituntaskan, yaitu balas dendamnya.

“Aku tidak mau,” tolak Floryn tanpa keraguan.

Tatapannya begitu tajam pada Emier.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status