Usai makan siang dan Salat Zuhur, Satya memutuskan untuk pergi ke kost Lintang demi meminta sepotong kata maaf padanya. Ia tidak akan bisa kembali ke Bandung dengan tenang sebelum bertemu Lintang.Hari Minggu yang padat menyebabkan laju Honda Jazz yang dikendarai Satya melambat. Beberapa kali ia terperangkap kemacetan cukup panjang. Di sela-sela membelah jalanan menuju Yogyakarta, Satya berusaha menghubungi Lintang meski tidak pernah membuahkan hasil, membuat hatinya semakin rusuh.Matahari telah bergerak ke barat ketika Satya tiba di depan kost Lintang. Gegas ia turun dari mobil dan setengah berlari melintasi halaman rumah berlantai dua di hadapannya. Seorang gadis berjilbab pink keluar setelah ia menekan bel.“Apa saya bisa bertemu dengan Mbak Lintang?” tanya Satya setelah mengucap salam.Gadis itu terdiam sesaat. Ia terlihat seperti tengah mengingat sesuatu. “Kalau nggak salah Kak Lintang belum pulang dari Solo. Pintu kamarnya masih terkunci.”“Apa mungkin dia sudah pulang tapi ngg
Di kedalaman matamu kuselami dirimu. Dan tak kutemukan apa pun selain luka. - Lintang Ayu Saraswati -***Lintang menghabiskan setengah hari untuk menumpahkan segenap luka. Sejak waktu Zuhur tiba hingga azan Magrib berkumandang, perempuan itu terpekur di atas sajadah. Suara bacaan Al Quran ditingkahi sedu-sedan Lintang mengisi kamar Dini.Kadang terbersit penyesalan di hati Lintang kenapa ia dulu menerima perjodohan ini. Toh kedua orang tuanya sudah meninggal dan bukti bahwa ia dijodohkan hanya sepotong kenangan yang dimiliki Bu Sekar sesaat sebelum mendiang ayahnya menutup mata. Ia seharusnya menolak. Namun, sejak awal kedatangan Bu Sekar, paklik dan buliknya sangat mempercayai ucapan sahabat lama mendiang ibu Lintang itu sehingga mereka pun meminta keponakannya untuk menuruti permintaan almarhum sang ayah untuk menikah dengan Satya. “Ah, andai waktu bisa diputar,” batinnya ngilu.“Din, ada kamar kosong nggak di sini?” tanya Lintang usai salat Magrib. Ia merasa keadaannya lebih baik
Awalnya, baik Paklik Heru maupun Bulik Marni tidak percaya begitu saja. Mereka memang mengenal Bu Sekar, tetapi tidak pernah tahu jika pernah perempuan itu terikat janji dengan ayah Lintang.Setelah melewati pembicaraan panjang, akhirnya Paklik Heru meminta Lintang menerima lamaran Bu Sekar. Bagaimanapun juga wasiat harus ditunaikan. Meski tidak ada bukti hitam di atas putih bahwa ia telah terikat perjodohan sejak kecil, Paklik Heru percaya jika Bu Sekar tidak berbohong. Sikap yang sama ditunjukkan Bulik Marni. Ia mendukung keputusan Paklik Heru untuk menikahkan Lintang dengan putra tunggal Hadipranoto.Doa-doa kembali dipanjatkan Lintang. Bimbang dan ragu yang sempat menyelimuti hati ditepisnya jauh-jauh. Meski ia belum punya gambaran sedikit pun tentang putra tunggal Bu Sekar, ia mengikuti nasihat Paklik Heru dan Bulik Marni untuk menerima lamaran pengusaha batik itu. Baginya, restu orang tua yang utama. Ia yakin bisa menjalani pernikahan dengan restu mereka.“Sa-saya minta maaf, Um
“Lin, tolong jangan siksa aku kayak gini,” gumamnya frustrasi. Sebelum melajukan mobil menuju Solo, Satya mengirim pesan kepada Lintang, memintanya untuk bertemu walau sesaat sekadar untuk berbicara dan meminta maaf.Centang satu. Satya pasrah. Menyerah. Ia buta aktivitas Lintang di Yogyakarta, begitu pula lingkaran pertemanannya. Ia hanya tahu selintas ketika mereka hadir pada pesta pernikahannya, tetapi taksatu pun yang ia kenal dan tahu namanya. Dengan hati rusuh, Satya melajukan mobil menuju Solo. Hari ini ia kena batunya akibat sikap abai yang selama ini ditunjukkan pada Lintang.Rasa bersalah sekaligus kehilangan menemani Satya menghabiskan malam. Separuh hatinya seolah tertinggal di Yogyakarta sehingga ia memacu mobil dengan kecepatan sedang dan sesekali melambat.“Jaga Lintang baik-baik, Sat.” Tiba-tiba suara sang bunda terngiang di telinga, meremas hati Satya hingga luruh. “Dia adalah cahaya mata Bunda dan Bunda nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.”“Ya, Tuhan!” se
“Ah, shit!” serunya kesal sembari membanti map. Jarum pendek jam di dinding hampir menunjuk angka dua belas, tetapi Pak Pardi belum juga menelepon. “Sudah nyampe Jogja belum sih, Kang?” sembur Satya ketika teleponnya tersambung ke Pak Pardi. Ia lelah menunggu sehingga memutuskan untuk menelepon sopirnya.“Sudah, Mas.” Getar ketakutan terdengar jelas dari seberang ditingkahi suara kendaraan bermotor. “Saya sudah di sini sejak dua jam lalu,” lanjut Pak Pardi.“Beneran Lintang belum balik kost? Masa sih, dia nggak pulang ke kostnya?” tanya Satya tak percaya.“Iya, Mas. Mbak Lintang memang belum keliatan di kost.”“Coba Kang Pardi tanyain temen kostnya. Kali aja Lintang datang pas Kang Pardi nggak liat.”“Ba-baik, Mas.”Satya memutus sambungan telepon lalu meletakkan gawai di atas meja dengan kasar. “Tolonglah, Lin, jangan siksa aku kayak gini. Aku mau bicara,” batinnya gusar.Matahari yang terus merangkak ke barat tanpa kabar baik dari Pak Pardi membuat rasa bersalah di hati Satya sep
Dalam selembar daun yang jatuh diterbangkan angin, engkau menjelmaDi bawah siraman cahaya matari, engkau mengadaBersama kesiur angin yang mencumbu tubuh, engkau hadirDalam bayang di bening air, engkau menatapku, mengulurkan sekeping tanda mata bernama rindu!***Pagi yang bingar di kost Dini. Usai membaca Al Quran dan wirid pagi, Dini melantai di dapur. Kostnya memang menyediakan dapur yang setiap saat bisa dipakai para penghuninya untuk memasak maupun sekadar memanaskan makanan. Sementara itu, Lintang sedang tidak bisa diganggu karena harus menyiapkan revisi skripsi dan pergi sebelum jam setengah tujuh.“Nasi gorengnya mantap, Din. Calon istri solehah, nih.” Lintang mengacungkan jempol. Sepiring penuh nasi goreng berhasil melewati rongga mulut.“Itu karena kamu lagi laper.” Dini terkekeh. “Lagian apa hubungannya nasi goreng dengan istri solehah?”Lintang mengibaskan tangan sembari berdecak. “Konon, laki-laki harus dipuaskan perutnya biar betah dan cinta.”“Nah, itu tahu teorinya.
Sinar matahari pagi yang menyirami bumi mengiringi laju motor Lintang. Ia tiba di depan ruang kerja Prof. Kathrina lima menit sebelum dosen yang selalu tampil modis itu datang.“Saya sudah oke, Lin. Data dan analisisnya sudah lengkap. Good job, dear.” Prof. Kathrina menyodorkan satu bendel kertas pada Lintang. Senyum puas terkembang sempurna di wajah cantiknya.“Alhamdulillah.” Lintang menarik napas lega lalu mempersembahkan senyum semanis cokelat hangat. “Makasih banyak, Prof.”“Kamu cek ke Pak Razi. Kalau beliau oke, kamu langsung saja minta waktu kosong beliau dan daftar ujian. Saya ngikut saja jadwal Pak Rozi. Yang penting, sebelum saya berangkat ke Jerman, kamu sudah ujian,” tambah Prof. Kathrina.“Tinggal dua minggu lagi, Prof,” ujar Lintang sedikit cemas ketika melihat buku catatan.“Makanya kamu segera janjian sama Pak Razi saja,” sahut Prof. Kathrina.Lintang mengangguk. Kebetulan hari ini ia sudah membuat janji dengan Dr. Razi.“Oke, sampai ketemu saat ujian. Siapkan present
“Kamu istrinya. Hakmu untuk meminta pengertian Satya dan kewajibanmu mempertahankan pernikahan kalian,” lanjut Dini.Dering ponsel Lintang kembali mengisi udara. Dini mengeratkan genggamannya. “Angkat dan bicara baik-baik. Buat dia ngerti perasaan dan keinginan kamu.” Dini tersenyum tulus lalu melepas genggaman tangannya. Ia bangkit lalu keluar kamar agar Lintang bisa bebas berbicara dengan Satya.Jika Lintang memilih kegiatan di biro konsultan lingkungan milik Prof. Kathrina, sejak semester dua Dini memilih untuk mengabdikan diri di LSM Sahabat Perempuan yang memiliki layanan konseling keluarga. Tidak heran, meski belum menikah, ia telah banyak berkutat dengan masalah rumah tangga. Perceraian yang dialami kedua orang tuanya mengantar Dini untuk membantu di sana. Menjadi anak dari orang tua yang bercerai itu tidak menyenangkan dan Dini tidak ingin anak-anak lain mengalaminya.“Lin …” Suara Satya terdengar dari seberang setelah tahu Lintang menerima teleponnya.Lintang bergeming, membi