Part 19"Jangan pernah berpikir mas akan meninggalkanmu, Dek. Itu tidak akan pernah terjadi. Mas sangat menyayangimu dan juga anak-anak."Mendengar kata-katanya ... Separuh nafasku seakan telah pergi. Aku hancur, sehancur-hancurnya. Meski sudah menyiapkan hati sejak pertama tahu pengkhianatan ini, tapi tetap saja sangat sakit saat dia mengatakan sejujurnya dari mulut manisnya itu. Sesak terasa menghimpit di dada, untuk menghirup secuil udara saja rasanya begitu sulit. Ada rasa panas membakar hati ini. Pertahananku runtuh sudah. Butiran bening seolah tak dapat dikompromi, terus saja jatuh berderai tanpa permisi.Berkali-kali kuhela nafas dalam-dalam. Setidaknya fisikku harus kuat meski ragaku kini sedang rapuh. Beban mental kini terus menghantui, aku sendirian, tak ada kekuatan lagi selain tawa dan tangis anak-anak. Ya, aku memang hanya wanita biasa yang tak bisa terima bila ada masalah poligami, meski suami masih bisa menafkahi dengan baik. Tapi, tentu tidak dengan hati. Hati yang s
Part 20"Mas sudah berbuat keterlaluan padamu, tak memikirkan perasaanmu. Semalam mas juga sudah berpikir masak-masak mengenai masalah ini. Dan ... Mas akan memilihmu, Mas akan sudahi hubungan dengan Melinda. Tolong maafin mas ya, Dek. Ayo kita perbaiki hubungan ini lagi."Sudah terlanjur basah, Wulan mengetahui hubunganku dengan Melinda. Ternyata benar kata pepatah, serapat-rapatnya menyimpan bangkai pasti akan tercium juga.Pikiranku dilanda kalut luar biasa, sungguh sebenarnya aku dilema. Pilihan yang teramat sulit dalam hidupku. Aku tak ingin kehilangan keduanya. Wulan, wanita yang sudah melahirkan anak-anakku dan juga Melinda, cinta masa laluku.Hatiku menciut kala melihat Wulan marah, wanita yang penuh kelembutan itu tak pernah bersikap penuh emosi seperti semalam. Perasaan getir meliputi sudut hati. Apalagi dia menangis karena ulahku. Aku tahu, dia pasti patah hati, orang yang ia percaya justru mengkhianati. Tapi ... akupun tak bisa membohongi diri, bahwa cintaku masih tersang
Part 21"Tidak Dek ... mas sungguh menyayangi kalian. Mas tak ingin kehilangan kamu, Raffa dan juga Amanda. Lihatlah mereka sayang, mereka masih butuh kita, aku dan juga kamu. Kamu tak bisa berdiri sendiri tanpa aku. Akupun sama, tak bisa berdiri tanpa kamu dan anak-anak."Biasanya bila mendengar kata-katanya hatiku langsung berbunga-bunga. Tapi tidak dengan sekarang. Semua masih menyisakan luka. Apalagi saat kuminta dia menceraikan Melinda di hadapanku. Jawabannya berbelit-belit dan terkesan banyak alasan. "Ti-tidak, Wulan, aku tidak keberatan. Tapi aku butuh waktu," sahutnya ragu. Ia menatapku dengan sendu. Sunhguh menyebalkan memang!Aku menghela nafas berat. Bukankah itu artinya dia tak 100% dengan kesungguhannya? Baiklah, kita ikuti saja apa yang akan dia lakukan. Bagiku kini lebih baik bergerak sendiri. Diam-diam menjadi wanita yang mandiri daronpada lagi-lagi mengharap dia yang sudah jelas-jelas menyakiti.Masih seperti biasa, setelah Mas Damar pergi bekerja, aku mengantar Raf
Part 22Duh Wulan, kamu pergi kemana? Kenapa justru membuatku khawatir begini?Dadaku bergemuruh kencang, antara cemas, takut juga marah. Bisa-bisanya Wulan pergi tanpa izin dariku. Kembali kucoba telepon nomornya, tetap sama, tidak aktif juga tak ada balasan pesan apapun darinya.Terpaksa aku beranjak, menuju rumah Nino. Ya, istriku dan istri Niko memang berteman karena anak-anak kami sekolah bersama, juga karena kami bertetangga."Assalamu'alaikum, Mbak Rasti." Aku mengucapkan salam meski ragu Wulan ada di sini karena rumah tampak sepi."Waalaikum salam. Oh Mas Damar, ada apa ya, Mas?" tanya wanita bertubuh sedikit gendut itu. Entah lah memandang Mbak Rasti kayaknya jadi ilfil karena banyak lemak, apalagi di bagian perut. Entah kenapa Niko bisa nyaman mempunyai istri seperti dia."Mbak Rasti tahu gak Wulan pergi kemana?" tanyaku."Gak tahu, Mas. Memangnya Mbak Wulan gak ada di rumah?" Wanita itu justru balik bertanya."Gak ada, Mbak, makanya saya tanya, kali aja mereka main kesini.
Part 23Akhirnya perdebatan kami berakhir dengan saling diam. Tanpa ada kata untuk saling bicara. Dia ada tapi seolah tak ada keberadaannya. Sial, malam ini aku jadi tidur di luar lagi. Duduk di sofa ruang tamu, meratapi nasib pernikahan ini yang entah mau dibawa kemana. Kepalaku terasa begitu penat luar biasa. Wulan atau Melinda lagi-lagi menjadi dilema. Kuhubungi Farah, aku butuh masukan dari ibu. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa mengerti keluh kesahku. Sengaja aku keluar dari rumah agar Wulan tak mendengar percakapanku."Hallo, Mas, ada apa malam-malam telpon?" tanya Farah dari seberang telepon. "Ibu udah tidur belum, Dek?" Aku balik bertanya."Belum, Mas, lagi nonton tv. Mau bicara sama ibu?""Iya, Dek.""Bentar ya, Mas."Tak berapa lama, aku sudah terhubung dengan ibu."Hallo, Damar, ada apa, Nak? Katanya kamu mau ngobrol sama ibu?""Bu ..." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Wulan sudah tahu semuanya. Dia sudah tahu tentang Melinda," sahutku dengan nafas tak beraturan."Y
Part 24Pov MelindaSudah kutunggu sejak tadi sore, nyatanya Mas Damar dan Wulan tak datang kemari. Padahal kami akan sama-sama menjalani peran, Mas Damar akan pura-pura menalakku. Tapi ternyata ... ia justru kebingungan mencari istrinya dimana.Wulan, Wulan, Wulan terus yang ada dipikirannya. Apa dia tak mengerti tentang perasaanku juga? Menyebalkan sekali bukan? Bahkan saat dia ada di sini pun nama Wulan yang disebut berkali-kali. Aku mengacak rambutku. Kenapa sih, biar saja perempuan itu pergi, aku kan bisa menggantikannya. Ah, lama-lama hubungan seperti ini membuatku muak. Aku juga ingin dimiliki seutuhnya. Aku tak mungkin pergi dari hidup Mas Damar, aku masih butuh uangnya.Keesokan harinya, seperti biasa minggu ini pun ada cicilan pinjol yang harus kubayarkan. Uang dari Mas Damar memang masih tersisa, tapi masih kurang nominalnya apalagi sebagian sudah terpakai untuk membeli skincare dan minyak wangi.Pagi ini juga aku harus bisa mendapatkannya dari Mas Damar. Terserah dia mau
Part 25Sudah kupersiapkan semua uang untuk pelunasan ruko, biar sekaligus diurus untuk balik nama. Tadi, saat Raffa sekolah aku langsung ke Bank untuk mengambil uang tunai. Syukurlah keinginanku satu persatu mulai tertunaikan. "Sudah ke bank-nya, Mbak?" tanya Mbak Rasti."Iya mbak, sudah. Terima kasih ya sudah bantu jagain Raffa," sahutku."Iya, sama-sama. Kemarin habis kemana, Mbak? Mas Damar nyariin kamu lho kayak orang stress.""Cuma ke rumah temanku, Mbak. Ada urusan. Hari ini juga mau ke sana lagi.""Mas Damarnya udah diberi tahu?""Sudah kok."Mbak Rasti mengangguk, sepertinya ia punya banyak pertanyaan tapi mungkin segan.Pulang sekolah Raffa, seperti biasa aku ke ruko yang kemarin sudah kuberikan DP. Kami sudah berjanji akan bertemu langsung di sana. Sampai di sana aku bertemu Naima, sedangkan Mas Ranu tengah di rumah sakit."Nai, apa kau tahu bagaimana tatacara mengajukan cerai ke pengadilan?" tanyaku lirih. Pandanganku menerawang jauh sembari menatap langit-langit."Hah? K
Aku membelalakkan mata mendengar ucapannya. Seketika jantungku berdebar kencang menahan emosi. Seenaknya saja dengan entengnya ia meminta jatah padaku setelah berhubungan dengan wanita lain. Membayangkannya saja sudah membuatku sesak. Sakit sekali. Aku berusaha mengurai pelukannya, tapi ia justru menarikku makin dalam.“Mas, tolong lepaskan aku. Nafasku sesak banget kalau kamu terus begini.” Di saat seperti ini aku berharap Amanda menangis dengan kencang biar ada alasan menghindar darinya. Ya Allah, dosakah aku begini?“Mas kangen, Dek ...” ujarnya lembut.Aku menghela nafas dalam. “Aku belum 40 hari Mas, kamu sibuk sama perempuan itu sampai lupa umur anakmu sendiri?” Aku sengaja mengucapkan hal itu biar dia mikir.Ia mengurai pelukannya, terduduk bersimpuh. “Dek, maaf, aku bersalah padamu. Izinkan aku memperbaiki semuanya. Tolong berikan Mas kesempatan kedua.” Tiba-tiba ia menangis, entah menangis untuk apa. Apakah ia benar-benar menyesal atau karena ada masalah lainnya, aku tidak ta