LOGIN
“Aku tidak membutuhkan seorang istri.”
Suaranya tegas, bergema di ruangan yang lengang, hanya dihuni beberapa furnitur sederhana, dirinya dan Rhanora Lysa Valor —Putri Kekaisaran Valory, keponakan satu-satunya dari Kaisar Valory.
“Yang aku butuhkan adalah seorang Permaisuri yang dapat memberikanku keturunan.”
Kata-kata itu meluncur tanpa ragu dari bibir Shang Liwei, Kaisar muda Kekaisaran Thagon. Terpaksa mengemban mahkota tak lama setelah sang Kaisar terdahulu tewas dalam peristiwa kelam yang mengguncang seluruh negeri.
Rhanora mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah Arash yang duduk di kursi berukir hitam. Sorot mata pria itu tajam, dingin, seolah dapat menusuk hingga ke relung paling dalam dari diri Rhanora.
“Apa bedanya?” Suara Rhanora tenang, meski jantungnya bertalu-talu gugup tak karuan.
“Tentu berbeda.” Shang Liwei menjawab cepat. “Istri hanyalah pendamping, seseorang yang bisa digantikan. Tapi Permaisuri—” ia mencondongkan tubuh sedikit, jemarinya mengetuk lengan kursi dengan ritme teratur, “adalah tiang bagi sebuah Kekaisaran. Ia bukan hanya milikku, melainkan milik negeri ini, dan tugasnya bukan sekadar mendampingi, melainkan memastikan garis darah Kekaisaran tetap hidup, tetap berlanjut.”
Kata-kata itu berat, penuh makna dan Rhanora merasakannya menghantam dada. Ia tahu, di balik perjanjian darah yang mengikat mereka, ada alasan politik dan beban jauh lebih besar dari sekadar pernikahan antara dua insan.
“Aku tidak membutuhkan kelembutan. Tidak juga butuh cinta. Yang aku butuhkan hanyalah keturunan yang kuat. Itu yang akan menjamin masa depan Thagon.”
Rhanora menarik napas dalam, mencoba menguasai diri. “Bukankah kau sudah punya empat selir?” tanyanya, memilih kata itu dengan hati-hati.
Shang Liwei terdiam sejenak, sorot matanya menelusuri wajah Rhanora seakan mengukur setiap gerak-gerik Rhanora. “Mereka adalah selir dan kau adalah Permaisuri, apa kau tidak mengerti perbedaan ini, Rhanora?” walau ia mengatakannya tanpa emosi, Rhanora tahu bahwa ia sedang dicemooh oleh pria dihadapannya ini.
Rhanora mengepalkan tangannya erat-erat di balik lipatan gaun, menahan diri agar tidak terpancing oleh nada merendahkan itu. Ia menatap balik Shang Liwei, mencoba menjaga ketegaran meski dadanya serasa sesak.
“Aku mengerti, Baginda.” Ucapannya terhenti sejenak, lalu ia menambahkan dengan suara yang lebih rendah namun tegas, “Tapi apakah Baginda benar-benar mengerti artinya menjadikan seseorang sebagai Permaisuri? Itu bukan hanya soal darah yang diwariskan… tapi juga tentang bagaimana rakyat akan melihat siapa yang berdiri di sisi Baginda.”
Alis Shang Liwei sedikit terangkat, entah karena terkejut atau sekadar tertarik dengan keberanian Rhanora. Ia menyandarkan punggungnya kembali ke kursi, jemarinya berhenti mengetuk.
“Kau berani sekali mengajariku tentang makna Permaisuri,” katanya pelan, dingin, namun jelas penuh tekanan.
Rhanora tidak menunduk. “Aku hanya mengingatkan Baginda. Jika yang Baginda inginkan hanyalah rahim yang bisa melahirkan pewaris, maka selir-selir Baginda sudah cukup. Tapi jika yang Baginda cari adalah Permaisuri yang pantas—” ia menahan napas sejenak, lalu menyelesaikan dengan mantap, “—maka aku tidak akan membiarkan diriku diperlakukan seperti sekadar wadah.”
Hening panjang turun di antara mereka. Mata Shang Liwei berkilat, bagai pisau yang baru diasah. Di sudut bibirnya, senyum samar muncul—dingin, tapi juga mengandung sesuatu yang berbeda, seolah Rhanora baru saja lulus dari ujian pertama yang tidak terucapkan.
“Baiklah, Rhanora Lysa Valor,” ucap Shang Liwei, nadanya setengah mengejek namun juga ada humor disana seolah ia sedang menunggu pertunjukkan yang menarik. “Mari kita lihat.. apakah kau benar-benar bisa menjadi Permaisuri yang sebenarnya.”
Untuk sesaat, Rhanora bertanya-tanya apakah ia bisa bertahan di tempat ini —di sisi pria yang kini memandangnya bukan sebagai perempuan, bukan pula sebagai sepupu jauh dari Valory, melainkan sebagai calon Permaisuri yang harus memenuhi sumpah darah dua kekaisaran.
Semua ini bermula tiga minggu lalu…
Ketika pertunangan Rhanora yang ketiga kalinya gagal.
Namun, semua ini bermula bahkan jauh sebelum keduanya lahir. Karena sebuah janji darah yang tidak hanya mengikat Rhanora dan Liwei namun juga mengikat Kekaisaran Thagon dan Kekaisaran Valory.
****
"Lagi-lagi gagal menikah. Kalau begini terus, kau akan menjadi perawan tua!"
Di dalam ruangan megah yang dipenuhi pilar-pilar berukir dan permadani mahal, seorang wanita paruh baya berdiri dengan tangan bertolak pinggang, sorot matanya tajam mengarah pada sosok muda di hadapannya. Wanita itu adalah Winona Emanon Valor — Putri Pertama Kekaisaran Valory, kakak kembar dari Kaisar yang berkuasa saat ini, sekaligus ibu dari wanita muda yang telah gagal bertunangan untuk ketiga kalinya: Rhanora Lysa Valor.
"Kalau memang tidak berjodoh, ya mau dikata apa," sahut Rhanora enteng, bahunya terangkat sedikit dalam gerakan malas. "Lagipula, bukan aku yang membatalkan pertunangan kali ini—"
"Rhanora Lysa Valor!" potong Winona dengan nada meledak. Wajahnya memerah karena amarah yang mendidih, matanya membelalak tak percaya. "Jangan pikir Ibu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!"
Ia benar-benar ingin membelah kepala anak gadisnya itu, hanya untuk memastikan apakah isinya benar-benar otak seorang putri bangsawan.
Sebelum suasana makin panas, sebuah suara tenang terdengar dari arah samping. Lembut namun tegas, suara itu menembus ketegangan yang menggantung di udara.
"Winona.. mungkin memang lebih baik pertunangan kali ini gagal. Kau lihat sendiri seperti apa calon suami Rhanora."
Lelaki itu melangkah pelan ke tengah ruangan, berdiri di antara istri dan putrinya. Ia adalah Caleb Valor, suami Winona dan ayah Rhanora—seorang pengusaha sukses dari kalangan rakyat biasa, meski tanpa darah bangsawan, berhasil menikahi salah satu wanita paling terpandang di kekaisaran. Seorang Putri. Setelah pernikahan, ia pun memutuskan untuk memakai nama keluarga sang istri yaitu Valor.
Caleb meletakkan satu tangan di pundak istrinya dan menatap mata Winona dengan kelembutan yang hanya bisa muncul dari cinta yang telah menua bersama waktu.
Rhanora berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, menahan keinginan untuk menyeringai kemenangan. Ia memang tidak menyukai pria itu sejak pertemuan pertama. Maka, ketika kabar pertunangan dibatalkan karena sang pria kabur ke negeri seberang dengan seorang aktris teater, Rhanora bahkan sempat bersorak dalam hati.
"Tapi ini sudah kali ketiga, Caleb!" seru Winona, suaranya bergetar antara frustasi dan marah. "Apa yang akan orang-orang katakan tentang keluarga kita nanti? Tentang Rhanora? Mereka akan mengira putri kita tidak layak dinikahi, atau lebih buruk, dikutuk"
"Kalau itu yang orang-orang pikirkan, biarkan saja." Rhanora berkata dengan suara tenang seolah hal ini bukanlah masalahnya. "Aku tidak menikah untuk menyenangkan orang lain."
Winona membelalakkan mata, hampir tak percaya dengan keberanian atau kebodohan anak gadisnya ini. Sementara Caleb hanya tersenyum sambil menahan tawa, bangga pada putrinya meski tahu istrinya akan marah dan dapat memporakporanda seluruh kediaman.
"Rhanora," ucap Winona akhirnya, suaranya merendah namun masih mengandung tekanan. "Kau adalah seorang anggota keluarga Kekaisaran. Seorang Valor. Tanggung jawabmu jauh lebih besar daripada sekadar mengejar hidup semaumu sendiri."
Rhanora tersenyum tipis, bukan mengejek tapi penuh makna. "Ibu, bukankah Ibu juga memilih hidup semau sendiri saat menikahi Ayah?"
Ucapan itu seketika membuat keheningan menyelimuti, seolah waktu ikut menahan napas.
Pernikahan Winona dan Caleb sudah lama menjadi bahan gunjingan di seantero Kekaisaran Valory —bukan karena pertengkaran atau skandal, melainkan karena keberanian Winona menolak perjodohan dengan seorang Duke demi menikahi pria dari kalangan rakyat biasa.
Banyak yang meramalkan pernikahan itu akan gagal dan tidak akan bertahan lama. Namun setelah hampir tiga dekade, Winona dan Caleb masih saling menggenggam seperti sepasang kekasih baru jatuh cinta.
"Rhanora—" Winona membuka suara, tapi tak sempat menyelesaikannya.
"TUAN! NYONYA! GAWAT!"
Sebuah teriakan dari arah pintu membuat ketiganya menoleh. Kepala pelayan keluarga mereka berlari tergesa, wajahnya pucat dan napasnya terengah.
"Ada apa?" tanya Caleb dengan tenang, meski alisnya mulai bertaut menandakan kebingungannya. "Kenapa panik begitu?"
Kepala pelayan membungkuk cepat, suaranya nyaris tergelincir karena gugup. "Tuan, Nyonya... Yang Mulia Kaisar sedang berada di kediaman ini!"
Winona dan Caleb saling menatap—mata keduanya menyiratkan kebingungan yang sama. Bertanya-tanya ada apa gerangan sang Kaisar datang tanpa pemberitahuan begini.
"Dimana dia sekarang?" tanya Winona setelah sejenak terdiam.
"Saya sudah mengarahkan beliau ke ruang tamu," jawab sang kepala pelayan, semakin menunduk dalam.
"Baik, terima kasih. Kami akan segera menyusul," ujar Winona, lalu menghela napas panjang. Ia mengusap pelipisnya yang mulai terasa nyeri. Tentu saja sang Kaisar memilih datang tanpa pemberitahuan dan di saat situasi rumahnya sedang tidak ideal.
Ia menoleh ke arah Rhanora dan berkata singkat, "Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti."
Rhanora hanya mengangguk ringan, ekspresinya tetap tenang, bahkan terkesan tak peduli. Tapi di balik mata birunya, sesuatu tampak berkilat—entah perasaan lega atau justru firasat buruk.
****
“Yang mulia.”Suara Linlin membuat Rhanora yang melamun menatap ramainya ibukota Kekaisaran Thagon pun menoleh. Setelah pelajaran tata krama yang melelahkan itu, akhirnya Rhanora pun diizinkan untuk menapaki kaki ke Istana Dalam dan bersiap untuk pernikahannya yang hanya tinggal menghitung hari saja.Pernikahan yang tidak didasari cinta.Sungguh mahal sekali kata cinta itu di kehidupan Rhanora. “Sebentar lagi kita akan memasuki Istana.” Linlin mengingatkan dengan lembut meski wajahnya masih sedatar biasanya, ada kekhawatiran yang terpampang jelas di manik mata segelap tinta itu. Rhanora tersenyum kecil. Senyum yang lebih seperti pengakuan pahit daripada ketenangan, ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Ia mengangguk. “Aku tahu Linlin.”Rhanora mengerti dengan jelas begitu melewati gerbang utama itu, kebebasannya akan berakhir. Ia tidak akan bisa keluar lagi tanpa izin dari sang Kaisar—lelaki yang bahkan belum benar-benar ia kenal.Kekaisaran Thagon jauh berbeda dari Valory. Di
Pada malam hari ketika semua orang tidur terlelap, beberapa hari setelah pelatihan tata krama yang dilakukan Rhanora. Di istana dalam Kekaisaran Thagon. Seorang pria duduk di kursi dengan pakaian berwarna hitam bersulam naga emas, sementara itu dihadapan meja kerjanya seorang wanita paruh baya menunduk dalam memberi laporan.“Hamba sudah melatih Yang Mulia kekasih jiwa Kaisar Naga mengenai tata krama, namun hamba belum yakin beliau sudah bisa masuk ke istana atau belum.”“Dayang Chu, kau adalah dayang senior istana dan juga dayang yang telah mengikuti mendiang ibunda semasa ia masih hidup, tapi bahkan kau tidak bisa melatih seseorang yang merupakan Putri Kekaisaran Valory dalam satu minggu?” Dayang Chu segera berkowtow, tubuhnya gemetar hebat. “Hamba memohon maaf Paduka Kaisar. Bukan karena hamba tidak berusaha, tetapi Yang Mulia Rhanora memiliki kebiasaan yang berbeda. Beliau tidak terbiasa dengan cara membungkuk sedalam yang dilakukan di Thagon, dan terkadang ia terlalu berani men
Beberapa jam setelah pertemuan dengan pria bertopeng rubah itu, suasana kediaman Rhanora berubah hening. Udara sore terasa berat ketika pintu geser terbuka perlahan dan beberapa dayang melangkah masuk dengan langkah serempak. Mereka mengenakan jubah sutra warna pucat dengan sabuk biru langit. Di antara mereka, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun berjalan paling depan. Langkahnya tenang, penuh wibawa, namun gerakannya menunjukkan penghormatan yang sangat ketat terhadap tata krama. Begitu ia sampai di hadapan Rhanora, sang dayang segera berkowtow menyentuhkan dahinya ke lantai sebelum bersuara dengan lembut namun tegas.“Hamba Dayang Chu, diperintahkan untuk melatih Yang Mulia dalam tata krama dan perilaku keluarga kekaisaran sesuai aturan bangsa Thagon.”Rhanora yang semula duduk santai di kursi kayu berukir sederhana itu spontan menegakkan punggungnya. Ia sempat menatap dayang-dayang di belakang Chu, semuanya menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung.“Melatihku
“Apakah kau bisa mempertemukanku dengan orang yang telah menyelamatkanku?” Tanya Rhanora sehari setelah penyergapan yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk membunuh Rhanora.Sehari telah berlalu sejak penyergapan itu—serangan mendadak yang jelas ditujukan untuk menghabisinya. Kini, ia dan rombongannya sudah tiba di ibu kota Thagon. Dengan pertimbangan keamanan, Rhanora setuju untuk memasuki kota secara diam-diam tanpa arak-arakan, tanpa dentuman genderang penyambutan yang seharusnya menggema di jalan utama. Mereka kini beristirahat di kediaman sementara yang telah disiapkan sebelum ia resmi masuk ke istana.Namun, dalam hati Rhanora ada keraguan yang sulit diabaikan. Ia merasa penyergapan itu bukan sekadar upaya pembunuhan. Mungkin seseorang menginginkan agar ia tiba di ibu kota tanpa kemegahan, tanpa sorak rakyat yang menyambut calon permaisuri mereka agar kedatangannya terlihat seperti aib, bukan kehormatan.Bai Heng terdiam cukup lama, ia tampak berhati-hati memilih kata yang palin
Empat hari perjalanan terasa panjang dan melelahkan meski rombongan iring-iringan Rhanora sering berhenti untuk istirahat demi kenyamanan perjalanan Rhanora. Iring-iringan mereka bergerak melewati lembah berselimut kabut dan jembatan batu yang membelah sungai-sungai besar. Langit mulai gelap ketika iring-iringan kereta Rhanora melewati lembah terakhir sebelum gerbang utama ibu kota Thagon. Senja sudah padam, hanya nyala obor dan suara langkah kuda yang memecah keheningan. Di kejauhan, siluet tembok kota mulai tampak samar.Di dalam kereta, Rhanora membuka tirai jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit kelabu.Jenderal Bai yang menunggang kudanya di samping kereta kuda tempat menoleh. “Kita akan tiba sebelum malam, Yang Mulia. Kaisar telah men—”Ledakan keras mengguncang tanah. Kereta berguncang hebat hingga hampir terbalik. Teriakan para pengawal terdengar di luar, disusul suara logam beradu dan deru panah melesat.“Lindungi Yang Mulia!” teriak salah satu pengawal.“Yang
Keesokan paginya ketika Rhanora sedang sarapan pagi, ia jadi teringat akan suatu hal sehingga ia memanggil Linlin dan membuat Linlin memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraan mereka.“Beritahu aku tentang hubungan para wanita harem yang kau ketahui, aku yakin kau sudah mencari tahu sebelum kita pergi kesini kan?” Tanya Rhanora sambil mengangkat cangkir teh untuk meminumnya.Linlin terkejut Rhanora akan menanyakan hal ini. “Apa anda ingin mengetahuinya sekarang juga Nona?” Rhanora tersenyum lalu menaruh cangkir teh diatas piring kecil, ia pun menatap Linlin dengan wajah serius walaupun senyuman masih menghias wajah rupawan miliknya. “Tentu, tahu lebih banyak tidak akan melukaiku, malah.. akan sangat membantuku.”Di tempat asing yang memiliki aturan dan kebiasaan yang berbeda, informasi adalah hal yang akan sangat menguntungkan Rhanora yang pendatang baru.“Baik..” Linlin pada akhirnya mengangguk melihat keseriusan Rhanora, yang membuat Linlin jadi teringat dengan Winona. “S