BAGIAN 36
POV ZULAIKA
AIR MATA MAMI
“Sorry, Jo. Kurasa kamu mulai terlalu ikut campur. Kalau begitu, sebaiknya hubungan kita sampai di sini saja!” Aku bangkit dari rebahku. Merasa sangat kesal dengan penuturan Jo yang kunilai terlalu lebay. Sejujurnya, aku juga cemas dengan rasa ingin tahu cowok tersebut yang terlalu besar. Dia benar-benar ancaman bagiku.
“Lho, jangan begitu, dong. Aku kan, hanya bertanya.”
“Pertanyaanmu membuatku tidak suka! Kamu seperti orang yang sedang menginterogasi pencuri saja. Padahal, kamu aku juga tidak pernah bertanya detail tentang kehidupanmu. Kamu yang ingin dekat denganku! Kamu yang masuk ke dalam kehidupanku. Kalau kamu terlalu banyak berta
BAGIAN 37POV ZULAIKALUKA YANG MAMI DAN PAPI CIPTAKAN “Iya, Mi. Sabar, ya. Setidaknya, Tante Yeslin juga sudah menerima karmanya. Itu, orangtuanya malah meninggal dunia setelah dia merebut Papi dari kita.” Akhirnya, aku mampu juga untuk mengucapkan kalimat penghiburan kepada Mami. Walaupun terasa sulit untuk ikhlas dalam rangka mengayemkan hati mamiku, tapi namanya anak tetap saja tak bisa mengabaikan orangtuanya bila sudah menangis tersedu-sedu macam begini. “Bukan karma. Mungkin sudah umur orangtuanya segitu. Ah, sudahlah. Mami mungkin harus mengikhlaskan semuanya. Mami harus menyembuhkan luka ini sendirian. Kalian masih terlalu kecil juga untuk mengerti betapa hancurnya perasaan Mami.” Mami melepaskan pelukannya. Menghapus air mata di wajah lelahnya, kemudian
BAGIAN 38POV ZULAIKABERLIAN PEMBAWA PETAKA Aku bangun pagi-pagi sekali hari ini. Semalaman praktis mataku sulit sekali terpejam. Meskipun ngantuk, tidur seakan menjadi hal paling menakutkan dalam hidup. Seolah bila aku terlelap, dunia akan mengisapku ke dalam pusaran black hole yang menyeramkan. Astaga, kedua orangtuaku benar-benar telah merusak mental ini secara nyata. Hanya Tuhan yang tahu betapa berat perjuangan untuk tetap mengembuskan napas dalam keadaan waras. Pukul lima pagi aku sudah mandi dan berkemas. Sebelum keluar kamar, aku menyempatkan diri untuk makan roti sandwich isi selai cokelat yang kubeli kemarin. Sebagai minuman penutupnya, sekotak susu UHT rasa stroberi langsung kuseruput lewat sedotan hingga tandas. Perutku sudah lumayan terisi. Tak lupa aku menarik selembar ua
BAGIAN 39POV ZULAIKAMENGULITI PAPI DAN TANTE YESLIN Aku memandang ke arah Ario lagi. Anak itu kini tampak kesal campur cemas. Membatalkan perjumpaan ini tentu bukanlah hal yang oke. Nasi sudah jadi bubur. Apa mau dikata, kami harus menjalaninya, meskipun nenek lampir itu harus ikut-ikutan tampil. “Ayo, masuk ke mobil. It’s okay. Kita bisa hadapin sama-sama,” bisikku sambil meraih jemari Ario. Kutarik tangan anak itu, kemudian berjalan terus menuju mobil Papi. Gaya tubuh Ario menunjukan sebuah keterpaksaan. Namun, dia tak bisa berkutik sebab langkahku sudah kadung melesat ke depan pintu mobil. Kubuka pintu belakang, lalu kusuruh Ario masuk duluan untuk duduk di belakang kursi Papi. Sedang aku, kini duduk di belakang kursi milik Tante Yeslin.&
BAGIAN 40POV ZULAIKAMATI KAU! “Ika, sekarang kita makan dulu, ya?” Papi mendadak bermanis lidah. Tuturnya lembut. Senyumnya jadi menawan. Dia jelas ketakutan kalau semuanya kubongkar. Aku diam. Sebab perut sudah lapar, kuputuskan buat menyantap makanan yang sudah tersedia di depan. Kusikut pelan adikku. Memberinya kode agar segera tancap gas. Jangan buang-buang waktu di sini, pikirku. Usai makan, kalau bisa langsung pulang naik ojek saja. Ario manut. Cowok itu lekas mengambil sendok garpu dari tempat warna biru yang berada di tengah meja. Dia buru-buru makan dengan lahap dan mengambil semua lauk yang kami pesan. Aku setali tiga uang dengannya. Tak ingin membuang kesempatan dan terus makan
BAGIAN 41POV ZULAIKATAWAR MENAWAR NYAWA Aku mendadak bingung dengan sikap Ario yang tiba-tiba merajuk. Kusadari bahwa ucapanku tadi memang telah membuatnya syok. Wajar. Anak itu pasti berpikir kalau tindak kriminal yang dilakukan oleh Daddy memang sangat melampaui batas. Mulai dari pedofilia, pembunuhan, sampai transaksi narkoba. “Ario, jangan membuatku sedih. Jangan merajuk, dong,” bujukku sambil merangkul bahunya. Namun, adikku malah diam saja. Wajahnya datar. Sepanjang perjalanan menuju pulang, praktis tak ada lagi percakapan di antara kami. Siapa yang tak gundah diperlakukan begini? Tentu saja aku merasa resah plus tak enak hati. Sesampainya di depan pagar rumah, aku langsung membayar
BAGIAN 42POV ZULAIKAMENELAN PIL KECEWA “Aku hanya ingin, Papi lekas menikah dengan Tante Yeslin,” ucapku dengan sungging senyum culas. “Iya, Sayang. Papi akan segera menikahi Yeslin setelah surat cerai di tangan. Kamu jangan khawatir, Nak.” Suara Papi terdengar penuh semangat. Dia antusias sekali menjawab. Seperti tengah ketiban rejeki. “Namun, tolong jangan pernah punya anak dengannya! Jangan pernah! Kalau sampai kalian punya anak, siap-siap saja untuk mati. Papi atau Tante Yeslin, jelasnya kalian berdua akan kulenyapkan dengan apa pun caranya!” “Ika … itu syarat yan
BAGIAN 43POV ZULAIKAKECURIGAAN MAMI Hubunganku dengan Mami sejak malam itu kembali dingin. Aku seperti sudah mati rasa kepadanya. Semua seakan hambar, bahkan pengorbanannya pun kunilai tak ada yang spesial. Sikap Mami sendiri kini terasa semakin beku kepadaku. Terlebih ketika dia memulai usaha karang bunga papan. Dia menjadi sibuk dengan kesibukan barunya. Tiada hari tanpa bekerja keras bagi Mami, sampai-sampai dia lupa untuk sekadar menyapa kami. Selain sikap Mami yang kian berubah, rumah ini pun ikut nasib tuannya. Rumah yang semula memiliki halaman depan yang cukup lapang dengan rumput-rumput jepang yang tumbuh rapi serta pot-pot bunga yang menghiasi di sisi depan teras, kini berubah jadi markas k
BAGIAN 44POV ZULAIKAKEPERGOK DADDY “Kenapa aku harus bohong, Mi? Memangnya, apa untungku berbohong?” Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya aku memberanikan diri untuk menjawab tuduhan Mami. Kebohongan demi kebohongan kini telah menjadi makanan sehari-hariku. Tiada hari tanpa meludah dusta. Sebenarnya nuraniku menolak untuk terus-terusan begini. Akan tetapi, memangnya aku punya pilihan lain? Mami menatapku lekat-lekat. Seakan lagi menelisik apa yang ada di dasar hatiku. Sekuat tenaga aku berusaha terlihat tenang. Memberanikan diri untuk menatapnya balik. Setengah mati ketakutan ini kusembunyikan di balik wajah tenang bak air sungai yang mengalir mengikuti arus. Mami tak boleh sampai tahu rahasia demi rahasia yang susah payah kututupi darinya selama ini.&nbs