LOGINMinggu pagi di kota Haicheng terpantau cerah. Untuk pertama kalinya setelah seminggu penuh jadwal kantor dan rapat gila-gilaan, Mei Lin akhirnya bisa tidur tanpa alarm.
Namun ternyata ... Ting! Ting! Suara notifikasi. Tangannya meraba mencari keberadaan ponselnya. Matanya setengah terbuka saat melihat satu nama yang tertera. "Ibu? Ada apa, sih?" gerutunya. "Hari ini makan siang di rumah keluarga Zhang. Ingat ya, ditunggu!" Isi pesannya. Mei Lin menggeliat sambil menguap dengan kedua mata yang ia coba buka 100%. "Oh, tidak! Liburanku berubah jadi pertemuan politik." Mei Lin bergegas bangun dan memberitahu Zhang Yichen agar turut bersiap. --- Beberapa jam kemudian, mobil hitam Zhang Yichen berhenti di depan rumah utama keluarga Zhang. Nampak pula mobil milik ibu Mei Lin. Mei Lin yang mengenakan dress pastel sederhana tampak anggun, tetapi wajahnya jelas tegang. "Kenapa kau kelihatan seperti mau ikut ujian nasional?" tanya Zhang Yichen dengan dahi berkerut. "Karena orang tuaku dan orang tuamu duduk satu meja. Kau tahu artinya apa?" "Makanan enak?" "Salah! Itu artinya interogasi." Zhang Yichen hanya tersenyum samar. "Tenang! Mereka tidak akan menggigit." "Tapi mereka bisa menanyakan 'Kapan punya anak?' dan itu lebih menakutkan!" Lagi, Zhang Yichen hanya tersenyum, lalu bergegas turun diikuti oleh Mei Lin. Ruang makan besar keluarga Zhang tampak elegan seperti biasa. Zhang Haoren sudah menunggu di ujung meja, dekat dengan Madam Zhang, sementara ibu Mei Lin sedang menata buah. "Akhirnya kalian datang juga," sambut Madam Zhang hangat. "Duduk, duduk!" Sepasang suami istri itu duduk bersebelahan. "Jadi, bagaimana kehidupan kalian?" tanya ibu Mei Lin dengan senyum merekah dengan rasa ingin tahu tentunya. "Baik," jawab Zhang Yichen singkat. "Baik sekali," tambah Mei Lin cepat. "Kami … ehm, saling mendukung dan bekerja sama," lanjutnya. "Kerjasama di rumah atau di kantor?" tanya Madam Zhang pelan, tetapi tajam. Mei Lin meneguk air cepat-cepat. "Dua-duanya, dong, Ma." Madan Zhang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Menarik!" "Anak Ibu itu rajin, kan?" Ibu Mei Lin bertanya kepada menantunya. "Sangat rajin," jawab Zhang Yichen dengan wajah datar. "Nah, tuh!" seru ibu Mei Lin bangga. Perhatiannya kini beralih kepada putrinya. "Jangan terlalu cerewet di rumah, ya?!" "Eh, cerewet itu bentuk kasih sayang, Bu!" Suasana meja makan berubah jadi tawa pelan, bahkan Zhang Yichen pun nyaris tersenyum penuh. Makan siang pun mereka nikmati dengan khidmat. Sesekali mereka isi dengan canda dan obrolan seputar perusahaan. Setelah makan siang, mereka duduk santai di ruang keluarga. Zhang Haoren membuka percakapan. "Kalian terlihat romantis. Papa harap selamanya akan terus seperti ini." "Tentu!" jawab Zhang Yichen tegas. Mei Lin yang hendak minum teh tersenyum canggung. "Hehehe ... iya, tentu saja, Pa." "Kalau begitu," sambung Madam Zhang, "mungkin sudah waktunya kalian memikirkan masa depan." "Masa depan?" tanya Mei Lin was-was. "Anak!" jawab kedua ibu hampir bersamaan. Mei Lin hampir tersedak. Zhang Yichen buru-buru menepuk punggungnya. "Pelan-pelan minumnya." "Aku … aku baik-baik saja. Cuma teh yang salah arah." Mei Lin tersenyum canggung. "Kami belum memikirkan itu," kata Zhang Yichen akhirnya, tenang. "Lebih tepatnya kami masih dalam tahap saling mengenal lebih dalam," lanjutnya. Kalimat itu membuat seluruh ruangan hening beberapa detik. Madam Zhang tersenyum hangat. "Jawaban yang dewasa." Mei Lin menatap suaminya diam-diam. Nada suaranya terasa lembut, bukan sekadar jawaban formal. Obrolan hangat berlanjut dan tentu saja diakhiri dengan para mama dan ayah yang tetap menunggu kabar baik dari sepasang suami-istri muda itu. --- Malamnya, mereka sudah kembali ke rumah. Zhang Yichen membuka jasnya, sementara Mei Lin berdiri di dapur, masih memikirkan ucapan suaminya siang tadi. "Apa yang sedang kau awasi di sini?" tanya Zhang Yichen sambil membuka lemari es. "Kau hebat tadi. Biasanya aku yang banyak bicara." "Aku bisa bicara kalau perlu." "Tapi tadi ... aku suka caramu jawab." "Kenapa?" "Entah, rasanya tulus." Zhang Yichen menatap istrinya sebentar, lalu mengambil gelas dari rak. "Tadi siang mereka menanyakan anak." "Iya, aku hampir mimisan." "Jangan panik. Kita bisa pikirkan nanti." "Jadi ... nanti mungkin?" "Mungkin." Mei Lin tertegun. Ia tahu jawaban itu bukan janji besar, tetapi cukup untuk membuat pipinya panas. "Zhang Yichen," gumamnya sambil tersenyum kecil, "kau serius banget kalau bicara hal kayak gitu." "Aku serius pada semua hal yang melibatkanmu." "Wah, jangan bilang gitu! Nanti aku ...," "Baper?" "Ya! Begitulah kira-kira." Zhang Yichen tertawa kecil, lalu berjalan menuju kamar. 'Selamat malam, Nona Mei." "Selamat malam, Bos Dingin." Malam itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, keheningan rumah tidak terasa kaku, tetapi nyaman.Minggu pagi di kota Haicheng terpantau cerah. Untuk pertama kalinya setelah seminggu penuh jadwal kantor dan rapat gila-gilaan, Mei Lin akhirnya bisa tidur tanpa alarm.Namun ternyata ... Ting! Ting!Suara notifikasi.Tangannya meraba mencari keberadaan ponselnya. Matanya setengah terbuka saat melihat satu nama yang tertera. "Ibu? Ada apa, sih?" gerutunya. "Hari ini makan siang di rumah keluarga Zhang. Ingat ya, ditunggu!" Isi pesannya. Mei Lin menggeliat sambil menguap dengan kedua mata yang ia coba buka 100%."Oh, tidak! Liburanku berubah jadi pertemuan politik."Mei Lin bergegas bangun dan memberitahu Zhang Yichen agar turut bersiap. ---Beberapa jam kemudian, mobil hitam Zhang Yichen berhenti di depan rumah utama keluarga Zhang. Nampak pula mobil milik ibu Mei Lin. Mei Lin yang mengenakan dress pastel sederhana tampak anggun, tetapi wajahnya jelas tegang."Kenapa kau kelihatan seperti mau ikut ujian nasional?" tanya Zhang Yichen dengan dahi berkerut. "Karena orang tuaku dan
Pagi itu Mei Lin dan Zhang Yichen berangkat ke kantor bersama. Agar karyawan tidak curiga, Mei Lin memilih turun di tikungan jalan. "Kau yakin?" tanya Zhang Yichen. Mei Lin menatap suaminya. "Sejujurnya, sih, malas. Aku udah cantik, udah rapi, dan wangi harus kembali berkeringat karena jalan kaki!""Kalau begitu tidak usah turun. Kita lan--""Eh, tidak, tidak!" Mei Lin mengibaskan tangan cepat. "Aku turun saja! Aku tidak mau ada rumor aneh di kantor!"Mei Lin bersiap membuka pintu. Sebelum turun, ia memastikan jika tidak ada karyawan Zhang Grup di sekitar. "Oke, aman!" cicitnya yakin. Mei Lin turun, mobil Zhang Yichen pun melanjutkan perjalanan. Gadis itu hanya bisa menarik napas panjang, pasrah.Sepuluh menit. Mei Lin sudah tiba di lobi dan bergegas menuju lantai 31.Keluar dari lift, Mei Lin disuguhkan dengan aktivitas seperti biasanya. Ada yang baru datang, ada yang membersihkan meja kerja, dan suara printer yang seolah-olah memberi ketukan semangat. "Selamat pagi dunia! Pasti
Langit Haicheng mulai gelap. Lampu-lampu kota memantul di jendela besar rumah Zhang Yichen. Suara mesin mobil berhenti di garasi, dan beberapa detik kemudian ... "Aku pulang!"Teriakan ceria itu menggema sebelum pintu rumah benar-benar terbuka. Mei Lin muncul dengan rambut sedikit acak, membawa dua tas belanja di tangan, wajah penuh semangat yang sangat tidak cocok dengan ekspresi suaminya yang baru pulang kerja.Zhang Yichen berdiri di bibir pintu, jas masih rapi, dasi belum sempat dilepas. Pria itu sempat berpikir jika Mei Lin meminta izin pulang lebih awal dan minta diantar sopir untuk pulang ke asrama. Nyatanya ... "Kenapa kau tampak seperti baru menaklukkan dunia?""Karena aku beli bahan masakan untuk makan malam!"Mei Lin tersenyum lebar. Bahkan gigi putihnya yang berjejer rapi mampu menyilaukan mata. "Kau … masak?""Tentu saja!""Apakah aku harus memanggil ambulans dulu?""Zhang Yichen! Aku ini bukan ancaman nasional, tahu!"---Dapur rumah kini penuh aroma yang ... sulit d
Pagi di lantai 31 terasa lebih sibuk dari biasanya. Karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, semua fokus. Kecuali satu orang yang masih berjuang hidup dengan printer."Astaga, kenapa ini kertasnya nyangkut terus?! Aku cuma mau cetak jadwal meeting, bukan bikin drama!"Mei Lin berjongkok di depan mesin printer seperti sedang menghadapi monster kuno.Sementara di ruangan kaca besar tak jauh dari situ, Zhang Yichen memperhatikan diam-diam dari balik kaca bening kantornya.Ekspresinya tetap datar, tetapi dagunya sedikit bertumpu di tangan.Chen, berdiri di sampingnya dengan raut muka antara kasihan dan bingung."Tuan Zhang … apa saya perlu bantu Nona Mei?""Tidak perlu. Biarkan dia beradaptasi.""Tapi dia sudah … menatap printer itu selama sepuluh menit.""Artinya dia berusaha.""Atau hampir menyerah," gumam Chen pelan.Tak lama, printer berbunyi klik!Dan ... BLAM!Tumpukan kertas menyembur keluar, berserakan ke lantai seperti hujan salju putih."YA AMPUN! AKU MENANG! Tapi … kenapa
Hari Rabu pagi di Zhang Group. Kantor masih sibuk seperti biasa. Karyawan berlarian dengan berkas, printer meraung, dan Mei Lin ... masih kebingungan karena panggilan mendadak ke lantai 31. "Tuan Zhang ingin kau ke ruangannya sekarang," kata asisten Han Wei. "Hah? Aku'kan di marketing? Aku bahkan belum selesai input data!" "Perintah langsung." "Dia nggak bilang aku bikin kesalahan, kan?" "Tidak, tapi nada suaranya ... serius." "Oh Tuhan, aku mau dipecat tiga hari setelah magang." --- Sesampainya di lantai 31, lantai paling dingin dan mencekam di seluruh gedung. Mei Lin melangkah dengan hati-hati. Ruang kerja Zhang Yichen luas, bersih, dan terlalu sunyi. Pria itu duduk di balik meja besar dengan setelan hitam sempurna, wajah fokus pada layar laptop. "Tuan Zhang?" panggil Mei Lin pelan. "Masuk!" "Aku … dipanggil?" "Duduk!" Mei Lin duduk perlahan, menatap pria itu dengan gugup. Setiap detik terasa seperti wawancara masuk neraka. "Kau tahu kenapa aku memanggilmu?" tanya
Hari kedua magang.Divisi marketing, lantai 30.Mei Lin sudah duduk manis dan bersiap menunggu arahan. Ia bersumpah, tidak ada hal yang lebih menegangkan dari bekerja di perusahaan suaminya sendiri, kecuali harus berpura-pura tidak mengenalnya di depan 300 karyawan lain."Oke, Mei Lin. Kau cuma karyawan magang. Kau bukan istrinya. Jangan manggil dia 'Sayang'. Jangan manggil dia 'Suami'. Jangan tatap terlalu lama. Jangan ...,”"Nona Mei?""YA?! Eh, maksudku, ya, Pak!"Pria yang berdiri di hadapannya bukan Zhang Yichen, melainkan Han Wei --manajer muda divisi marketing, 27 tahun, berwajah ramah dan senyum menular."Kau tegang banget, ya. Santai aja, ini cuma kerja, bukan audisi Miss Universe," katanya sambil tertawa kecil.Mei Lin menatapnya, masih kikuk. "Maaf, aku cuma ... ehm ... grogi. Ini pertama kalinya aku magang di perusahaan besar.""Kalau begitu, anggap saja ini latihan. Aku pembimbing magangmu mulai hari ini.""Kau yang akan membimbingku?""Ya, kenapa?""Nggak, nggak apa-ap







