Sudah tiga minggu Rendi tinggal di rumah Ahmad. Sampai hari ini Rendi belum menghubungi Yanti. Rasa kecewa dan marah membuatnya memilih menghindar da ri keluarga yang membesarkannya itu. Sebagai seorang suami ia wajib melindungi istri dan anak-anaknya meski dari keluarganya sendiri.Sengaja Rendi memilih menghindari Yanti dan Ambar. Dia ingin ibu dan kakaknya menyadari kesalahan yang mereka perbuat. Meski justru kebalikannya. Sikap Rendi yang cuek membuat Yanti kian marah dan benci kepada Naya dan keluarganya.“Mas,kamu tidak ke rumah ibu?” tanya Naya saat mereka berada di dalam kamar.Rendi membalikkan badan,ditatap lekat manik bening sang istri. Dia ingin menyelami apa maksud perkataan Naya. Tak ada sorot keterpaksaan dalam matanya. “Mas belum ingin bertemu ibu,” ucap Rendi seraya menatap genting yang terdapat sarang laba-laba.Rumah Ahmad tidak memiliki internit,setiap kali menatap atas akan terlihat jelas kayu dan genting. Bahkan warna genting mulai menghitam. Ya,semenjak ruma
"Semua gara-gara pecahan kaca itu! Kaki Alisa jadi seperti ini!" pekik Ambar setelah sampai di rumahnya. Yanti diam bingung harus mengatakan apa? Sejujurnya dia merasa bersalah kepada sang cucu. Karena emosi membuat cucunya menderita seperti itu. Namun Yanti enggan untuk mengakui kesalahan. Apa lagi di depan anak dan cucunya. Dia tidak mau harga dirinya turun karena sebuah kata maaf."Ibu sih main pecahin vas bunga sembarangan. Alisa jadi korbannya kan?" ucap Ambar lantang seraya menatap tajam manik bening sang ibu. Lagi dan lagi Yanti hanya bisa diam. Toh apa yang dikatakan Ambar memang benar. Semua karena kecerobohan yang ia lakukan. Kalau saja dia tak melempar vas, mungkin semua tak akan seperti ini. Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Peribahasa itu yang cocok disematkan kepada Yanti dan Ambar. "Semua salah Naya. Kalau Rendi mau memberi jatah bulanan, pasti semua tak akan seperti ini," kilah Yanti. Dia mengkambing hitamkan Naya atas kesalahan yang ia lakukan. Amb
Pov Rendi"Senyum muluk, Ren. Bahagia banget kayaknya. Habis dapat jatah ya?" ledek Jalu sambil tersenyum cekikikan."Libur dulu," jawabku lalu memasukkan nasi ke dalam mulut."Kasihan dianggurin, Ren!" ledek Jalu lagi."Gak apa-apa, yang terpenting istri dan janin di dalam perut sehat. Tak masalah jika suami harus puasa berbulan-bulan.""Hahaha...." Jalu semakin tertawa terbahak-bahak. Bahkan kini kami menjadi pusat perhatian satu kantin."Diem, Jal!" Ku tendang kakinya yang ada di bawah meja. Seketika Jalu meringis kesakitan. Sakit kan! Siapa suruh berisik terus!"Sakit, Ren!" protesnya seraya memegangi kaki yang terkena tendanganku.Aku diam, memilih melanjutkan makan siangku yang tinggal beberapa suap. Jalu menghembuskan nafas kasar melihat aku cuek dan tidak memperhatikan ucapannya."Tapi benar deh, Ren. Akhir-akhir ini kamu terlihat sangat bahagia. Tak seperti biasanya yang selalu masam." Jalu menatapku lekat.Tidak bisa dipungkiri semenjak tinggal bersama Emak dan Bapak hidupku
Aku diam, tak mampu menjawab pertanyaan Mbak Ambar. Aku tak habis pikir dengan ucapannya barusan. Untuk apa dia meminta maaf dan mengajakku kembali ke rumah ibu, bukankah aku sudah diusir karena hamil lagi? "Hallo... Hallo...." Suara Mbak Ambar kembali terdengar. Aku tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku tak ingin kembali ke rumah itu. Aku diam, mulut ini mendadak kelu. Bahkan kepalaku terasa berdenyut,pusing. "Naya, kamu masih di situ, sayang?" Kini suara Mas Rendi yang terdengar. "Masih, Mas," jawabku singkat dan padat. "Ibu sakit, Nay. Em... Kalau kita tinggal lagi di rumah ibu, apa kamu mau?"Sudah bisa ku tebak. Pertanyaan itu yang akan keluar dari mulut suamiku. Dia memang berbakti kepada ibunya tapi terkadang lupa jika sudah memiliki anak dan istri. Aku saja masih dalam masa pemulihan tapi Mas Rendi memintaku kembali ke sana. Apa dia tak memikirkan keadaanku? Selalu saja mementingkan ibu dibanding aku dan anak-anak. Kenapa harus Mas Rendi yang ke sana? Bukankah suda
Naya duduk di kursi kayu dengan pandangan lurus ke depan. Matanya awas memperhatikan Salma dan Salwa yang asyik bermain di depan televisi. Dua buah boneka dengan model dan warna sama berada di tangan masing-masing. Boneka dengan bentuk marsha pemberian Ahmad beberapa hari lalu. Salma dan Salwa tanpa bahagia, sesaat mereka bisa melupakan Rendi. Ya, semenjak Rendi pergi dari rumah Ahmad, belum pernah sekali pun dia menginjakkan kaki di rumah orang tua Naya.Yanti selalu mencari beribu cara agar Rendi tak datang ke sana. Entah pura-pura pusing, terpeleset dan lain sebagainya. Dia benar-benar bertekad memisahkan Naya dengan putranya. Sayang Rendi tak pernah bisa menolak permintaan Yanti.Bulir bening nan hangat tiba-tiba jatuh membasahi pipi. Naya terisak mengingat saat kedua putrinya merengek meminta bertemu Rendi. Berulang kali Naya meminta Rendi datang. Namun ada saja alasan yang Rendi berikan. Lama-lama Naya enggan meminta Rendi menemuinya. Dia ingin tahu seberapa besar rasa sayang Re
Naya sudah duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah. Netranya menatap lurus ke depan. Dia menunggu kedatangan Rendi untuk menjemputnya. Barang-baramg miliknya sudah tertata rapi di kursi ruang tamu.“Lho kok banyak sekali?” tanya Naya kala Salma dan Salwa membawa satu kantung plastik bening berisi makanan ringan. Dari biskuit,susu kotak, dan lain sebagainya. Semua jenis jajanan itu terbuat dari tepung. Naya memang melarang kedua putrinya makan ciki dan juga permen. “Tidak beli ciki kan?” Kedua anak perempuan berwajah mirip itu kompak menggelengkan kepala.“Makasih,ya,mak.” “Halah gitu aja makasih. Emak senang bisa membelikan jajanan untuk kedua cucuk emak.” Surti mengelus pucuk kepala Salma dan Salwa secara bergantian.“Rendi belum sampai?”“Sebentar lagi,Mak.”Surti mengajak kedua cucunya masuk ke dalam rumah. Mereka bertiga bercanda sambil menyaksikan acara kartun kesukaannya. Kartun dengan bocah kembar menjadi serial televisi kesukaan mereka. Mereka bisa tertawa kala melihat
Kriingg....Ponsel di saku celana Rendi menjerit-jerit tanpa henti. Dia lupa mengubah mode di ponselnya.Dia melihat nomor istrinya di layar ponsel. Perasaannya mendadak tak enak. "Kenapa Naya menghubungiku disaat jam kerja? Jangan-jangan ada hal buruk yang terjadi?" batin Rendi penuh tanda tanya. Belum sempat Rendi menggeser gambar telepon, panggilan itu seketika berhenti. Rendi segera berjalan cepat ke kamar mandi. Di dalam toilet dia memencet dua belas digit nomor Naya. "Kamu kenapa, Nay?" tanya Rendi ketika teleponnya diangkat. "Maaf, Pak. Pemilik ponsel ini sedang berada di rumah sakit. Tolong segera ke mari.""Apa!" Rendi terkejut mendengar ucapan wanita di seberang sana."Bagaimana mungkin Naya di rumah sakit sementara ibu atau Mbak Ambar tak memberi kabar sama sekali. Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku?" batin Rendi bertanya-tanya. "Hallo ... Bapak masih di sana?" tanya wanita yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. "I-iya Sus.""Tolong segera ke rumah sakit
"Maaf, ya, Rif," ucapku seraya berdiri."Gak apa-apa, Mbak. Mbak Naya jalannya hati-hati. Mau Arif bantu ke kamar mandi?" Aku menggeleng. Rasanya tak pantas jika harus diantar oleh adik ipar, aku malu.Aku segera melangkah meninggalkan Arif dan ibu, berjalan perlahan menyusul Mas Rendi. Entah kenapa, aku merasa Arif memperhatikan diri ini sejak tadi. Ah, mungkin hanya perasaanku saja."Kok lama, Nay?" tanya Mas Rendi saat aku masuk mushola."Tadi hampir jatuh, Mas." Aku mulai mengenakan mukena putih lalu duduk di samping Salma dan Salwa."Kamu tidak kenapa-napa, kan?""Aku baik-baik saja, Mas. Kita mulai salatnya, tapi Naya duduk, ya." Mas Rendi mengangguk lalu mulai mengimami kami.Aku menengadahkan tangan, meminta Illahi Robbi untuk memberi kesabaran dalam menerima cobaan hidup. Dan berharap semoga Allah melunakkan hati ibu dan Mbak Ambar. Seperti karang yang terkikis oleh ombak lautan.***"Mas berangkat, ya, Nay. Kamu tidak apa-apa, kan? Kalau butuh sesuatu minta bantuan ke ibu at