Sarah menggeleng tak mengerti. Beberapa kali ia berusaha mencoba menghubungi Marc, namun teleponnya selalu dialihkan. Satu bulan telah berlalu dan ia benar-benar putus hubungan dengan suami dan keluarganya.
Hal ini membuat Sarah bertekad bangkit dan kembali dengan pribadi yang lebih kokoh.
Ia harus pulang ke kota dan melihat dengan mata kepala sendiri tentang apa yang terjadi pasca operasi.
“Lelaki itu pantas hidup lebih lama.” Ibu Irma berceloteh di samping Sarah sambil melirik ponsel Sarah.
Layar kecil itu memang sedang menampilkan berita tentang Frank Carrington. Setelah dinyatakan sembuh, lelaki itu semakin melebarkan sayapnya ke berbagai yayasan sosial. Bersama Marc, putra satu-satunya, mereka kerap kali berdonasi besar-besaran untuk membantu orang-orang yang kekurangan.
“Eh, siapa, Bu?” Sarah menoleh dan menatap Ibu Irma dengan raut bingung.
“Itu.” Ibu Irma mengendikkan dagu pada layar ponsel Sarah. “Tuan Carrington sangat bermanfaat hidupnya untuk orang banyak, ia pantas mendapatkan kesempatan hidup lebih lama.”
Kini Sarah menatap ponselnya di mana foto Frank dan Marc terpampang di sana. Ia hanya bisa mengangguk pelan menyetujui pendapat Ibu Irma.
“Dia beruntung ada wanita yang sangat baik hati mendonorkan ginjalnya.” Ibu Irma melirik Sarah dengan penuh arti.
“Iya.” Sarah menjawab singkat.
“Tuan Marc – putra Tuan Frank kemarin datang ke rumah sakit.”
Spontan, Sarah menoleh cepat dengan mata membulat. “Marc ke rumah sakit, eh, maksudku Tuan Marc? Ada apa?”
Melihat reaksi Sarah, Ibu Irma tersenyum sedikit. “Ingin memberikan donasi khusus untuk penderita gagal ginjal.”
Sebagai seorang staff yang sering berkeliling di rumah sakit, tentu saja Ibu Irma mendengar berbagai macam informasi. Dengan santai Ibu Irma bercerita bahwa keluarga Carrington memang mendata berbagai rumah sakit yang memiliki pasien penderita sakit ginjal.
“Jujur saja pada Ibu, kamu ‘kan yang mendonasikan ginjal untuk Tuan Frank?” Ibu Irma menebak.
Selama tinggal bersama, Ibu Irma kerap mengamati Sarah. Wanita muda itu sering mencari informasi tentang keluarga Carrington. Bahkan Ibu Irma pernah memergoki Sarah tampak kesal saat menelepon Marc dan tidak berbalas.
Tidak ada yang bisa ditutupi. Mendengar alasan kecurigaan Ibu Irma yang memang tepat sasaran, Sarah mengangguk pelan. Wanita setengah baya itu langsung memeluk Sarah dengan terharu.
“Ibu sudah curiga saat dokter berkata luka sayatanmu merupakan sayatan dokter ahli terbaik. Dokter itu heran melihat ada pasien yang habis donor ginjal dipindahkan ke rumah sakit kecil.”
Sambil menahan air matanya, Sarah bercerita. Sesekali, kepalanya menggeleng dan menarik napas dalam-dalam. Ibu Irma malah terlihat lebih emosional.
“Kita ke kota sekarang!” Ibu Irma bangkit dan menarik tangan Sarah.
“Eh?” Sarah tampak bingung dengan sikap tiba-tiba Ibu Sarah.
“Ibu memiliki tabungan. Kita bisa sewa apartemen kecil di kota. Lagipula, penghasilanmu sudah cukup lumayan.”
Sarah mengedipkan mata berkali-kali. Ia memang berencana akan pulang sesuai janjinya pada Marc. Tetapi, ia sangat tidak menyangka akan reaksi Ibu Irma.
“Kamu pasti memiliki rencana, bukan? Ceritakan pada Ibu!” Sambil membereskan barang-barangnya, Ibu Irma memerintah Sarah.
Setelah akhirnya bisa menguasai diri, Sarah menceritakan apa yang akan ia lakukan ketika kembali ke kota. Ibu Irma mengangguk setuju. Sarah tersenyum bahagia karena mendapat perhatian yang begitu besar dari wanita yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya.
Tekad Sarah bulat. Ia akan mencari tau pengkhianatan dan kebohongan apa saja yang ia alami. Begitu tiba di kota, Sarah mengawali penyelidikannya dari rumah sakit. Sarah berpura-pura memeriksa kesehatan. Selama menunggu, Sarah mendapat informasi dari seorang suster ramah bahwa Frank Carrington juga masih memeriksakan kesehatannya secara rutin.
“Syukurlah kalau beliau baik-baik saja.” Sarah tersenyum senang.
“Apa pendonornya juga memeriksa kesehatan di sini?”
Suster tersebut berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Tidak. Menurut keluarga Carrington, gadis itu memilih rumah sakit di luar negeri untuk memulihkan diri. Keluarga Carrington yang membiayai semua.”
Tanpa bisa menahan diri, Sarah membelalakkan matanya pada sang suster. Kebohongan macam apa lagi itu?
Setelah berhasil menguasai diri, Sarah kembali mengobrol santai.
“Beruntung, ya, gadis itu. Pasti hidupnya jadi lebih terjamin.”
“Tidak ada yang tau pasti. Setelah dua hari dioperasi gadis itu telah pergi karena memang identitasnya disembunyikan.”
Sarah memutuskan menghubungi asisten Frank melalui email perusahaan. Asisten tersebut membalas melalui email pribadi dan memberikan nomer kontaknya. Sarah segera menelepon dan meminta waktu untuk bertemu dengan Frank, orang yang saat ini menurutnya paling tepat ia temui untuk memperoleh keterangan.
Tak lama kemudian, Sarah mendapat balasan. Frank bersedia bertemu dengannya. Sarah tersenyum penuh haru. Ia bergegas pergi untuk menemui mertuanya.
Tempat yang dipilih Frank sangat private. Sebuah restoran mahal dengan ruangan khusus.
“Sarah? Ya ampun, Nak. Ke mana saja kamu?” Frank terkesima melihat penampilan Sarah yang tampil elegan dengan make up natural.
“Maaf, Pa. Sarah harus memulihkan diri di tempat terpencil.”
“Akh, kamu pasti masih sedih karena kepergian Ayahmu, ya. Tetapi, kamu telah menikah dengan Marc. Tidak baik meninggalkan suamimu sendirian.”
Frank tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, sesungguhnya yang sering meninggalkan dirinya justru adalah Marc. Ia hanya dibuang keluarga tirinya.
“Sarah tidak bisa menghubungi Marc, Pa.”
“Lho? Kok bisa?”
Sarah menjelaskan telepon dan email Marc tidak pernah dibalas.
Marc juga tidak sekali pun mencarinya.
Kerutan dalam terlihat di dahi Frank. Lelaki itu memanggil asistennya dan menceritakan masalah yang dihadapi Sarah.
“Mungkin bisa kita tanyakan pada Marsha.” Asisten Frank membalas.
“Ke—Kenapa bertanya dengan Marsha?”
“Marsha sudah diangkat menjadi sekretaris pribadi Marc. Ia yang mengurus semua telepon dan email yang masuk.”
“Marsha menjadi sekretaris pribadi Marc?” ulang Sarah tak percaya. Pasalnya, ia tau, Marsha sama sekali tidak memiliki keahlian pada bidang tersebut.
“Yaah ... hitung-hitung balas budi kami pada Marsha karena telah mendonorkan ginjalnya pada Papa.”
Seketika Sarah membatin. Tatapan wanita itu menggelap, dengan tangan yang mengepal di bawah meja. Ia membatin, ‘Jadi, benar mereka mengubah identitasku sebagai pendonor?’
Tiga tahun berlalu dengan cepat. Keluarga Carrington sedang berlibur di sebuah perkemahan mewah. Mereka juga mengajak keluarga Ibu Irma.Irwan dan Vania telah menikah dan memiliki satu orang anak perempuan yang dinamai Nirvana."Kenapa Kak Arzan jagain Vana terus?" Vivi memberengut kesal saat ia minta Arzan menemaninya main tetapi anak lelaki itu sedang sibuk menjaga adiknya."Vana masih kecil, Vivi. Sini, kita main sama-sama." Arzan menepuk sisinya yang kosong. Namun, Vivi malah melengos dan memilih bergelayut manja di kaki Papanya."Aku panggil Irwan dulu biar ia menjaga Vana." Vania yang sedang memasak dapur merasa tak enak hati mendengar pembicaraan Arzan dan Vivi."Sudah, biarkan saja. Gak papa, kok." Sarah yang sedang hamil besar menenangkan Vania."Aku gak enak, Sarah. Sepertinya Vivi cemburu karena Arzan menjaga Vana terus.""Lihat itu." Sarah mengendik pada Vivi yang kini asyik bermain bersama Marc. "Dia kesal cuma sebentar, kok."Vania tersenyum simpul dan mengangguk. Apalagi
Ulang tahun pertama Vivi sangat meriah. Meski anak perempuan itu belum memiliki banyak teman, tetapi tamu-tamu undangan mulai dari balita hingga kakek nenek banyak yang hadir.Marc menyulap taman belakang menjadi taman bermain yang nyaman dengan tenda dan AC portable di mana-mana. Berbagai makanan sehat tersebar di penjuru taman.Sebagian tamu adalah teman-teman Arzan yang membawa adik-adik mereka. Vivi jadi memiliki teman sebaya."Sepertinya, prediksi Arzan tepat. Akhir-akhir ini mereka jadi dekat, bukan?" Sarah melirik pada Irwan dan Vania yang tampak asyik berbincang dengan ibu Irma.Tanpa melihat objek pembicaraan mereka, Marc mengangguk. Lelaki itu melingkari tangan di pinggang sang istri dan membawanya ke meja makan."Masih lapar?" Sarah mengamati suaminya yang mengambil makanan cukup banyak."Apa kamu tidak lihat? Aku tadi lari-larian mengikuti Vivi?" Marc memotong steak ayam lalu menyuapi dirinya. "Lagipula, steak ini lezat sekali."Bahkan Sarah akhirnya ikut makan karena Mrac
Sesuai rencana, berita tentang Marc dan Vania menghilang. Tentu saja itu tidak lepas dari tim yang dibuat Adrian untuk menghapus semua postingan tersebut.“Sayang.” Marc menyapa istrinya yang sedang menyusui Vivi.“Ya?”“Jam berapa Arzan datang?”“Vania bilang, mereka sudah dalam perjalanan.”“Hmm ... aku ada rapat. Sengaja kubuat online. Tapi kalau Arzan datang dan aku belum selesai, minta ia ke ruang kerjaku saja, ya.”“Oke. Selamat rapat.”Marc mengangguk. Lalu, membungkuk sedikit untuk mencium pipi istri dan putrinya. Setelah itu, ia keluar dari ruang bayi.Setelah Marc keluar, seorang pelayan masuk membawa paket untuk Sarah.“Tolong dibuka,” pinta Sarah pada pelayan yang langsung mengangguk.Sarah tau isi paket itu adalah buku-buku Vania yang ia pesan secara online. Pelayan memberikan buku -buku yang masih berplastik itu pada Sarah lalu keluar.Vivi melepas puncak dada Mamanya karena tertarik dengan buku yang dipegang Sarah. Ia merebut buku tersebut lalu ikut membolak-balik halam
“Maafkan aku. Aku mengaku salah.” Khanza menunduk dalam-dalam.Adrian dan pengacara mendatangi kantor penerbit buku Vania. Mereka memberikan data bahwa Khanza membuat berita kebohongan agar publik tertarik pada cerita Vania dan membeli buku terbarunya.Direktur penerbitan menggeleng samar melihat data-data tersebut. Ia tidak menyangka Khanza berbuat seperti itu.“Aku melakukannya untuk Vania.” Khanza berkilah, membela diri.“Aku yakin Vania pun tak setuju kamu membantu dengan cara ini.” Adrian mengecam.“Vania sedang tidak fokus. Banyak pikiran. Jadi, aku pikir, aku perlu membantunya sedikit.”Direktur menggeleng. Ia juga tampak tidak setuju. Apalagi sampai ada pengacara yang menuntut mereka.“Masalahnya, Nona.” Pengacara menatap wajah Khanza dengan pandangan tajam. “Yang anda cemarkan adalah keluarga Carrington, terutama Tuan Marc.”“Lelaki yang selama ini terkenal dingin dan tidak bersosialisasi dengan media.” Adrian menambahkan.Direktur menengahi. Mereka akan membuat pengumuman pe
Pagi di bumi perkemahan cukup cerah setelah semalaman hujan. Pengelola bahkan tidak mengizinkan peserta kemping untuk melakukan trekking.“Terus kita ngapain, Om?” Arzan mengguncang-guncang tangan Irwan.“Masih ada pilihan untuk memancing. Kamu mau?”“Om bisa memancing?”“Bisa, dong.”“Mauuu.” Arzan menjerit senang.Vania menatap kebersamaan Irwan dan Arzan. Seandainya Bryan masih hidup, mungkin yang berdiri di depannya sekarang ada sosok Bryan dan Arzan. Vania menggeleng membuyarkan lamunannya.Telah lima tahun berlalu, tetapi rasanya masih sama. Kehilangan dan kedukaan itu masih sangat jelas di mata Vania.“Ibu, ayo ikut memancing,” ajak Arzan.Vania tau, Arzan pasti disuruh Irwan. Ia sebenarnya tidak tau apa-apa tentang memancing, tetapi demi menemani Arzan, Vania mengangguk.Perahu disiapkan pengelola perkemahan. Vania melihat Irwan berbincang dengan penjaga Arzan. Seperti setiap kegiatan Arzan, harus dilaporkan pada keluarga Carrington.Akhirnya mereka bertiga di atas perahu. Mer
Irwan menunggu. Vania mungkin sedang mengumpulkan kekuatan untuk memceritakan kisah kelamnya pada seseorang. Apalagi ia adalah orang baru yang pertama kali ditemui."Aku dan Bryan, ayah Arzan menikah tanpa restu. Kami lari dari keluarga karena memilih mempertahankan cinta."Vania mengembuskan napas kasar. Ia menyandarkan punggung pada dinding. Jari-jari tangannya saling bertautan."Di perkemahan seperti ini lah kami berbulan madu. Tiga bulan kemudian, aku hamil. Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, beberapa bulan berikutnya, Bryan didiagnosis menderita kanker usus."Isakan Vania membuat Irwan memeluk erat Arzan. Ia tak ingin Arzan terbangun. Vania lalu sadar untuk segera menguasai diri.Sembari mengatur napas, Vania mengusap air matanya. Kini ia duduk sambil memeluk kaki-kakinya yang ditekuk.Dalam keadaan hamil, Vania merawat Bryan. Bryan cukup tegar dan berusaha menjalani pengobatan didampingi Vania.Pilihan itu datang saat Vania melahirkan. Kondisi Bryan bertambah lemah. Keuanga