Share

Adam Prasaja

Penulis: Chili Cemcem
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-20 09:42:45

Angkasa bandara selalu riuh. Suara roda koper, pengumuman terminal, dan keluhan penumpang menabrak satu sama lain. Meski memakai headphone Louis Vuitton, Areta tetap bisa mendengar dengusan orang-orang yang baru turun dari pesawat bersamanya.

“Please, shut up just for five seconds,” gumamnya dalam bahasa asing walau sudah tiba di tanah air.

Areta mengatur ulang posisi kacamatanya yang oversize sembari melangkah keluar dari gerbang kedatangan internasional Terminal 3. Mantel wol maroon membingkai tubuhnya, celana kulitnya tampak mencolok, dan sepatu botnya memantulkan cahaya neon biru. Orang-orang melihatnya dua kali, mungkin karena keglamoran selera fashionnya, padahal seluruh outfit itu dibeli saat ia sedang kabur dari tagihan yang siap mengejarnya kapan saja.

“Seminggu di Bali. Pantai, kopi, tidur. Habis itu baru pulang,” ia berbisik pada dirinya sendiri sambil mengambil koper dari conveyor belt.

Namun, tepat ketika ia menurunkan koper ke lantai, sesuatu membuatnya terhenti.

Di balik pintu kaca otomatis, tiga pria berjas hitam berdiri tegap. Postur mereka seperti bayangan yang sedang menunggu aba-aba. Tidak ada papan nama. Tidak ada senyuman. Yang terlihat hanyalah … kewaspadaan.

“Mereka orang kiriman mama!” pekik Areta dalam hati setelah mengenali salah satu orang yang sering mamanya sewa untuk pengawalan.

Areta memutar badan, pura-pura sibuk mengatur charger ponselnya. “Oke, kabur lewat jalur taksi. Bunuh diri kalau lewat pintu utama,” gumamnya.

Tapi saat ia melangkah melewati pintu kaca, sebuah suara memanggil namanya. “Nona Areta?”

Suaranya berat. Datar. Tidak memberi opsi.

Areta langsung berhenti. “Maaf, Anda salah orang.” Ia menyeringai kecil, lalu berbelok cepat.

Pria itu menghalangi langkahnya dalam satu gerakan. “Ibu nona menyuruh kami memastikan anda pulang dalam keadaan lengkap.”

“Lengkap?” Areta memicingkan mata. “Apa maksud anda, saya biasanya pulang tanpa kepala?”

Dua pria lain bergeser, mempersempit ruang geraknya.

Di luar, tiga SUV hitam berhenti bersamaan. Pintu otomatis terbuka, menciptakan sorotan yang membuat orang-orang mulai memperhatikan. Beberapa penumpang bahkan berhenti sambil berbisik.

Areta menutup wajah dengan tangan. “Ya Tuhan … mama Vero … aku dibikin seperti kriminal kelas kakap.”

Pria di tengah tetap tanpa ekspresi. “Silakan ikut kami, Nona.”

“Ini. Penculikan,” desis Areta, suaranya tajam seperti pisau.

“Ini penjemputan wajib,” sanggah pria berjas hitam itu dengan menekankan tiap kata. “Koper Anda akan kami bawa,” sambungnya.

“Kalau aku teriak?” ancam Areta pelan.

“Kami akan tetap membawa anda.”

Areta mendengus. “Hebat. Mama pasti bangga punya tim drama seperti kalian.”

Namun akhirnya ia melangkah walau terpaksa dan langkah kesal menuju SUV tengah.

Di dalam mobil, ia menjatuhkan tubuh ke kursi kulit, menatap jendela yang tembus pandang.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat dari mamanya.

[Selamat datang, Sayang. Jangan coba kabur lagi. Dua jam lagi, kau akan bertemu calon suamimu. Papa sudah sewa polisi buat kawal kamu sampai rumah.]

Perjalanan dari bandara menuju rumah orang tua Areta terasa lebih lama. Selama satu setengah jam, Areta hanya diam, mendengarkan musik dengan volume penuh untuk meredam kekesalan.

Tiga SUV hitam mewah itu berhenti mulus di depan gerbang megah kediaman Rajes Kusuma. Areta tidak menunggu para pengawal membukakan pintu. Ia langsung melompat keluar, membiarkan mantel maroon-nya berkibar dramatis.

"Laporkan pada mama Vero, aku tidak kabur," katanya dingin pada pria berseragam jas di belakangnya. "Aku hanya menunda," bisiknya pada diri sendiri.

Begitu pintu utama terbuka, aroma mawar dan lilin Jasmine langsung menyambutnya. Nyonya Veronica sudah menunggu di ruang tamu, duduk tegak di sofa beludru, wajahnya kaku. Rajes, sang Papa, berdiri di sampingnya dengan ekspresi lelah.

"Anak tidak tahu diuntung!" seru Veronica, tanpa basa-basi menyambar.

"Kenapa harus sewa preman untuk menjemputku, Ma?" Areta membalas dengan keluhan. "Mama berhasil mempermalukanku di depan umum!"

"Berdirilah di depan cermin. Kamu juga telah mempermalukan nama keluarga, Areta!" Rajes menyela dengan suara berat. "Dua jam lagi, Adam akan tiba. Segera ganti bajumu dan bersikaplah sopan."

Areta mendengus. "Aku sudah rapi. Lagipula, ini kan blind date. Biarkan 'pangeran bisnis' Papa melihat calon istrinya yang apa adanya." Areta menekan kata 'pangeran bisnis' dengan nada sarkas yang dibuat-buat.

Rajes menghela napas. "Dengar, Areta. Pria ini bukan pangeran bisnismu. Dia Adam Prasaja. Dia cucu dari pemilik kos yang dulu Papa tempati saat merintis usaha. Papa punya hutang moral yang besar pada keluarganya."

"Cucu pemilik kos?" Areta mematung.

Pangeran bisnis? Playboy kolega Papa? Hilang sirna musnah.

Harapannya langsung jatuh ke lantai marmer.

"Dia pria baik-baik, Nak," lanjut Rajes, matanya memancarkan ketulusan. "Dia tidak pernah keluar dan menginjak dunia glamor. Dia pria yang membuat Papa tenang kalau kamu bersamanya."

Areta menatap orang tuanya dengan tatapan tak percaya. "Jadi, Papa menjodohkanku dengan pemuda culun dari gang sempit, hanya karena hutang budi masa lalu?!"

Veronica berdiri. "Dia pria mapan, Areta. Dia punya pekerjaan tetap."

"Pekerjaan apa? Penjaga ruko? Karyawan laundry?" Areta mencibir.

Tiba-tiba, bel berbunyi. Seorang pelayan bergegas membuka pintu.

Sosok yang masuk membuat udara di ruang tamu yang mewah seolah membeku. Adam Prasaja berdiri di sana.

Dia bukan pangeran bisnis. Dia juga bukan playboy. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak yang sudah disetrika mati-matian, kacamata tebal berbingkai plastik hitam, rambutnya belah tengah yang terlalu rapi. Paling mencolok, dia memakai suspender hijau tua yang kontras dengan kemejanya, celana cingkrang hanya semata kaki, dan sepatu pantofel tua yang mengkilap berlebihan.

Ya Tuhan.

Areta merasakan mual yang sama seperti saat di mobil tadi. "Ini lelucon, kan?" bisiknya, tetapi tidak ada yang menjawab.

Adam mendekat dengan langkah kaku. Wajahnya yang polos terlihat gugup, tetapi ia berusaha menampilkan kesopanan.

"Selamat sore, Om Rajes, Tante Veronica," katanya dengan suara yang terlalu formal, sambil membungkuk sedikit. "Maaf, saya Adam Prasaja. Saya datang sendiri, karena kebetulan paman saya sedang sakit dan nenek saya sedang kurang enak badan."

"Nggak apa-apa, Nak. Maaf ya, harusnya dua bulan lalu kamu datang ke sini. Ini salah om.” Rajes berbicara dengan nada lembut.

Hal itu membuat Areta bergidik. Berbeda sekali cara bicaranya dengan dirinya. Memang siapa di sini yang anak kandung? bisiknya dalam hati.

Dia calon suamimu, Areta," ucap Rajes memperkenalkan secara resmi. "Adam, ini Areta."

Areta menarik napas dalam-dalam. Ia harus menahan diri agar tidak muntah.

Pria ini?! Penjahit di gang sempit yang memakai suspender?!

"Aku tidak bisa," gumamnya, menggeleng. "Aku tidak bisa menikah dengan suspender."

"Areta!" seru Veronica memperingatkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pria Culun Itu Suamiku   Senyuman Adam

    Adam berdiri lama di depan wastafel, tangan masih bersabun. Ia menatap piring yang tadi dipakai Areta, piring yang kini kosong, benar-benar bersih tanpa sisa sambal apa pun.Sudut bibirnya terangkat sedikit. Tapi hanya sebentar.Jangan keburu senang, batinnya menegur dirinya sendiri.Ia membilas piring itu dan mengambil napas perlahan. Suara Areta masih terngiang jelas di kepalanya.“Sambalnya… lumayan. Sedikit. Jangan GR.Ikannya… gak bikin aku keracunan. Itu prestasi besar.”Adam menunduk, menahan tawa kecil tawa yang jarang sekali muncul saat ia sendirian. Bertahun-tahun ia hidup dalam lingkaran duka dan tuntutan yang membuatnya belajar mematikan ekspresi.Tapi dengan hadirnya Areta… rasanya berbeda.Masakan ikan sederhana yang ia goreng terburu-buru, sesuatu yang ia yakin akan dicibir habis-habisan, ternyata habis dimakan. Bahkan dipuji—dengan cara khas Areta yang lebih mirip makian daripada pujian.Adam mengeringkan kedua tangannya. Pandangannya menyapu dapur kecil itu, ruang sea

  • Pria Culun Itu Suamiku   Pujian Rasa Sambal

    Adam baru saja menutup pintu ketika suara Areta menggelegar dari ruang tengah.“Dari mana saja kamu? Malam keluar gitu aja?” Areta berdiri dengan tangan terlipat, alis terangkat tinggi. Rambutnya masih dikuncir berantakan karena bekerja, tapi tatapannya menusuk seperti biasa.Adam mematung sejenak. “Tadi … ada urusan sebentar.”“Urusan apa?” Areta mendekat selangkah. “Jangan-jangan kamu punya rahasia ya?”Adam menelan ludah. “Aku cuma keluar sebentar, Are. Beneran.”“Apa kamu ke rumah orang tuaku? Kamu laporan sama papaku?” tanya Areta dengan tatapan curiga.Adam menaikkan bingkai kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot. Ia lega karena kecurigaan sang istri bukan mengarah ke jati diri aslinya. “Oh, tidak. Apa juga yang harus dilaporkan. Kita baru hitungan hari menjalani pernikahan. Aku hanya butuh udara segar saja. Itu sudah jadi kebiasaanku tiap malam. Jika jenuh, aku motoran tanpa tujuan.”Areta mendengus. “Aneh,” cicitnya. “Lain kali bilang kalau mau keluar. Aku panggil kamu ber

  • Pria Culun Itu Suamiku   CEO Rajawali Jaya Group

    “Saya sampai sepuluh menit lagi,” ucap Adam lewat telepon. Nada bicaranya dingin. Jauh dari suara polos yang ia pakai saat berinteraksi dengan Areta.“Baik, Pak,” jawab Luna yang berada di seberang.Adam menyudahi panggilan telepon dari sekretarisnya. Ia meraih helm full–face, mengenakannya, lalu men-starter Honda Astrea bututnya. Motor tua itu melaju meninggalkan gang sempit tempat ia tinggal bersama Areta.Selama perjalanan lima belas menit itu, sesekali Adam menaikkan batang kacamatanya yang melorot sedikit. Kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang-nya terlihat kontras dengan lampu-lampu kota.Motor butut itu berhenti di depan gerbang baja yang menjulang tinggi, dengan ukiran logo yang sangat modern, Rajawali Jaya Group.Adam membunyikan klakson singkat. Gerbang raksasa itu membuka otomatis.Astrea tuanya masuk ke area basemen yang dipenuhi mobil-mobil Eropa mengilap. Ferrari merah, Mercedes hitam, BMW seri terbaru. Motor Adam terlihat seperti barang salah parkir.Ia berjalan cepat

  • Pria Culun Itu Suamiku   SMS Rahasia

    “Episode baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta, kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal melangkah hati-hati di atas paving gang sempit itu.Ia berjalan di belakang Adam. Bau masakan rumahan dan suara-suara tetangga langsung menyergap Areta. Pemandangan ini sangat kontras dengan kediaman mewahnya."Rumahmu ... apakah jauh dari sini?" tanya Areta, mencoba menahan nada jijik.Adam menoleh ke belakang, kacamata tebalnya memantulkan jendela rumah tetangga. "Sudah sampai, Nona Areta."Areta menatap bangunan di depannya. Sebuah rumah kecil, bersahaja, dengan pintu kayu dicat hijau tua. Bekas kos-kosan yang pernah ditempati papanya Areta.Sebenarnya Areta pernah ke rumah itu, bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali. Setiap hari besar. Dan Adam masih mengingat momen itu.Gadis cilik gaya modis.“Namaku Areta Nindiya Kusuma. Saat dewasa nanti, aku akan jadi model terkenal. Areta Niku. Kalau kamu mau minta tanda tanganku, sekarang saja. Nanti susah loh,” ucap Aret

  • Pria Culun Itu Suamiku   Pernikahan Sederhana

    "Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dengarkan, Adam. Biar aku perjelas, aku gak mau ada rahasia di antara kita. Aku ini desainer yang selalu jujur dengan apa yang ada di hatiku," kata Areta, nadanya sedingin es batu di gelasnya.Areta duduk tegak, membiarkan suaranya yang tajam mendominasi kafe kecil di pinggir kota itu. "Aku menerima perjodohan ini karena aku mengincar Gedung Serbaguna milik Papa. Itu bisa kupakai untuk pagelaran busanaku tanpa harus bayar sewa. Papa bilang, gedung itu akan jadi milikku jika aku mau bersama denganmu."Ia menunggu reaksi Adam. Apakah marah, malu, atau tersinggung. Tapi Adam hanya menyimak dengan tenang, sesekali mengangguk."Kamu jangan tersinggung kalau papaku menukar semua ini dengan gedung serbagunanya," lanjut Areta, melempar nada sarkas. "Aku ini seorang desainer. Namaku adalah brand. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Kita hanya akan menikah selama setahun. Setelah itu, kita cerai."Belum sempat Areta menyampaikan rentetan persyaratan, Adam men

  • Pria Culun Itu Suamiku   Demi Gedung Serbaguna

    "Gak jadi menggelandang di Milan tapi sekarang menggelandang di negara kelahiran serta tempatku hidup!"Areta menendang kaleng kosong di depannya. Kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal itu terasa berat di atas trotoar Jakarta. Ia baru saja kabur, meninggalkan celana cingkrang Adam dan kemarahan Mama Veronica."Papa sama Mama tega banget jodohin aku sama pria culun itu," gerutunya. "Aku udah siapin diri kalau pria itu playboy atau pria yang suka dunia malam. Tapi ... kenapa malah penjahit!"Tanpa terduga, kaleng itu meluncur dan mengenai punggung seorang pemulung yang sedang membungkuk memungut botol plastik."Kurang ajar! Siapa yang—" Pemulung itu berbalik, siap mengomel, tapi pandangan matanya langsung berubah. Ia menatap kecantikan Areta dengan binar yang lain.Awalnya Areta hendak minta maaf, kedua tangannya sudah terangkat hendak menangkup. Tapi ketika melihat tatapan penuh arti dari pria matang dengan pakaian kumuh dan kumal itu, instingnya menjerit. Areta langsung pasang langk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status