Masuk
“Sorry, Miss Areta. Your card cannot… maybe over limit.”
Areta membeku.
Ia menggenggam kuat kartu itu, wajahnya memanas. “Coba sekali lagi.”
Pelayan menggeleng sambil tersenyum kaku. “Still the same, Miss.”
Areta menelan ludah. Tas jinjingnya hanya berisi bedak, lipstik, dan permen karet. Tidak ada uang tunai. Tidak ada cadangan. Penjualan koleksi busananya habis untuk sewa model, gedung runway, dan biaya hidup dua bulan di Eropa.
Dan sekarang… ia resmi bangkrut.
Teman-temannya tergeletak mabuk di sofa, sama sekali tidak bisa diandalkan.
“Excuse me,” ucap Areta dengan senyum tipis. Ia mengangkat ponsel untuk memberi isyarat ingin menelpon dan bergegas ke sudut bar yang gelap, tempat lampu neon berubah menjadi bayangan samar.
Satu-satunya orang yang mungkin bisa menolongnya adalah orang yang tidak ingin ia hubungi.
Telepon tersambung.
“Ma ...,” sapa Areta dengan suara lembut, berusaha menghapus sisa nada bossy yang biasa digunakan di dunia kerja.
“Kau ... masih berani menghubungi mamamu!” seru Veronica dengan suara nyaring.
Areta menjauhkan ponselnya sedikit dari telinga, menarik napas panjang sebelum menjawab pelan, “Ma, kirimi aku uang.”
Hening sesaat.
“Kamu sedang ada di bar?” tebak Veronica dingin, samar menangkap dentuman musik di latar.
“Enggak, Ma. Aku … di depan toko,” jawab Areta cepat, suaranya bergetar halus, mencoba menambal kebohongan dengan sedikit harapan.
“Sudah berbohong. Sekarang malah berani minta uang. Nggak.” Veronica tegas menolak. Walau ia sedang dirundung cemas. Bagaimana tidak cemas. Anak gadisnya kelayapan dua bulan gak ada kabar.
“Please ma ... iya, aku memang ada di bar. Tapi aku gak minum, sumpah. Mama tahu sendiri, aku alergi alkohol. Aku cuma pesan jus.” Areta mencoba terdengar tenang. “Tapi aku traktir teman-temanku, Ma. Masa aku tiba-tiba bilang gak punya uang? Mau ditaruh di mana mukaku?”
“Ini kebiasaanmu yang gak pernah berubah. Terlalu royal sama orang lain, tapi kalau sudah kepepet, siapa yang kamu telepon? Teman-temanmu? Enggak, kan? Masih mama juga yang harus membereskan. Katamu cuman dua minggu kenapa jadi dua bulan. Kamu buat mama papamu malu. Pulang sekarang juga.”
“Kan aku gak punya uang. Mana bisa langsung pulang. Masa mama suruh aku menggelandang di Milan buat cari uang ongkos pulang. Itu tega namanya.”
“Lalu yang kemarin kamu lakukan apa namanya? Kamu juga tega. Membiarkan mama sama papamu harus berbohong ke calon besan dan calon mantu kami.”
“Aku tahu aku salah.”
“Bagus kalau sadar.”
“Jadi …?”
“Tidak akan.” Jawaban Veronica meluncur cepat, tanpa jeda.
Areta menutup mata, menahan helaan napas panjang. Kali ini ibunya benar-benar keras. Tapi Areta belum menyerah. Ia menegakkan tubuh, bersandar ke dinding dingin di sudut bar, dan menyiapkan kartu terakhirnya.
“Aku gak mau nikah.”
“Ya sudah jangan harap mama kirimi uang.”
“Mama mau pekan depan nama papa tampil di berita online. Areta Nindiya Kusuma, fashion desainer terkenal, putri dari pengusaha Rajes Kusuma ditemukan terbujur kaku di trotoar kota Milan karena menggelandang.” Areta berusaha memprovokasi mamanya.
“Areta!” bentak Veronica sampai membuat Rajes, yang baru hendak masuk ruang kerja, spontan mundur dan menutup pintu lagi.
“Ayolah, Ma. Yaudah. Aku janji kalau mama kirimi aku uang pulang. Aku mau temui calon mantu idaman papa itu. Tapi urusan nikah masih aku pikirkan. Aku mau lihat kayak apa pria idola papa itu.”
Veronica tidak langsung menjawab. Ia menimbang dan mengukur. Karena ia dikaruniai seorang putri yang banyak akal.
“Ya sudah.” akhirnya sang mama berhasil diluluhkan.
Yes! Areta mengepalkan tangan senang karena usahanya membuahkan hasil.
Orang yang paling gampang ia bujuk adalah mamanya sendiri. Gampang terenyuh.
“Sepuluh ribu euro deh, Ma. Sekalian buat ongkos pulang.”
“Berikan ponselmu ke pelayan bar,” potong Veronica tanpa menggubris nominal absurd itu.
“Ma, mereka pakai bahasa asing loh,” elak Areta.
“Berikan ....”
“Mama bisa?”
“Cepat Berikan. Atau kamu mau mama batalkan.”
“Jangan. Okay, sebentar, Ma.” Areta mendesah, lalu menghampiri pelayan pirang yang masih menunggu di meja.
“I am mommynya Areta. How much I buyer the bill?” ujar Veronica lantang dari seberang sana, dengan bahasa asing ala kadarnya.
Pelayan itu berkedip bingung. “Buyer München? Are you Bayern München fan, madam? Wow, me too! But—”
“Hah?” Veronica panik. “Areta! Areta!” serunya lantang.
Mendengar teriakan Veronica, pelayan buru-buru mengembalikan ponsel ke Areta.
Sudah kuduga, gumam Areta dalam hati.
“Gimana, Ma?” tanyanya pura-pura polos.
“Kamu foto billnya saja,” ucap Veronica ketika gagal berbincang dengan pelayan bar karena kendala bahasa.
“Tuh kan apa aku bilang.”
“Cepat.”
Dengan senyum penuh kelegaan, Areta memotret bill dan mengirimkannya. Foto Bill terkirim.
“Mama akan kirim lima ratus euro. Tiket pulang biar mama yang beli dari sini. Dan jangan coba-coba pesan penerbangan ke Tokyo, Areta. Mama sudah pantau semua akunmu.”
“Tapi buat bayar hotel juga."
"Itu jadi tanggunganmu sendiri. Siapa suruh pergi lama."
Negosiasi sepertinya buntu. Oke, Ma,” jawab Areta pelan.
Dalam hati ia mengumpat kecil. Rencananya memperpanjang masa tinggal sampai visanya habis resmi gagal total.
#
"Siapa, Ma?" tanya Rajes yang kembali masuk ke ruang kerja setelah memastikan istrinya tak lagi marah.
"Siapa lagi."
"Areta?"
"Hm."
“Ada apa? Dia bikin masalah lagi?”
Veronica menggeleng pelan. “Dia kehabisan uang. Hubungi pemuda itu. Areta setuju dengan perjodohannya. Dia akan pulang.”
Rajes terdiam sejenak lalu terkekeh. “Anak itu kabur dua bulan … sekarang malah menyerahkan diri?”
Veronica hanya tersenyum tipis.
Adam berdiri lama di depan wastafel, tangan masih bersabun. Ia menatap piring yang tadi dipakai Areta, piring yang kini kosong, benar-benar bersih tanpa sisa sambal apa pun.Sudut bibirnya terangkat sedikit. Tapi hanya sebentar.Jangan keburu senang, batinnya menegur dirinya sendiri.Ia membilas piring itu dan mengambil napas perlahan. Suara Areta masih terngiang jelas di kepalanya.“Sambalnya… lumayan. Sedikit. Jangan GR.Ikannya… gak bikin aku keracunan. Itu prestasi besar.”Adam menunduk, menahan tawa kecil tawa yang jarang sekali muncul saat ia sendirian. Bertahun-tahun ia hidup dalam lingkaran duka dan tuntutan yang membuatnya belajar mematikan ekspresi.Tapi dengan hadirnya Areta… rasanya berbeda.Masakan ikan sederhana yang ia goreng terburu-buru, sesuatu yang ia yakin akan dicibir habis-habisan, ternyata habis dimakan. Bahkan dipuji—dengan cara khas Areta yang lebih mirip makian daripada pujian.Adam mengeringkan kedua tangannya. Pandangannya menyapu dapur kecil itu, ruang sea
Adam baru saja menutup pintu ketika suara Areta menggelegar dari ruang tengah.“Dari mana saja kamu? Malam keluar gitu aja?” Areta berdiri dengan tangan terlipat, alis terangkat tinggi. Rambutnya masih dikuncir berantakan karena bekerja, tapi tatapannya menusuk seperti biasa.Adam mematung sejenak. “Tadi … ada urusan sebentar.”“Urusan apa?” Areta mendekat selangkah. “Jangan-jangan kamu punya rahasia ya?”Adam menelan ludah. “Aku cuma keluar sebentar, Are. Beneran.”“Apa kamu ke rumah orang tuaku? Kamu laporan sama papaku?” tanya Areta dengan tatapan curiga.Adam menaikkan bingkai kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot. Ia lega karena kecurigaan sang istri bukan mengarah ke jati diri aslinya. “Oh, tidak. Apa juga yang harus dilaporkan. Kita baru hitungan hari menjalani pernikahan. Aku hanya butuh udara segar saja. Itu sudah jadi kebiasaanku tiap malam. Jika jenuh, aku motoran tanpa tujuan.”Areta mendengus. “Aneh,” cicitnya. “Lain kali bilang kalau mau keluar. Aku panggil kamu ber
“Saya sampai sepuluh menit lagi,” ucap Adam lewat telepon. Nada bicaranya dingin. Jauh dari suara polos yang ia pakai saat berinteraksi dengan Areta.“Baik, Pak,” jawab Luna yang berada di seberang.Adam menyudahi panggilan telepon dari sekretarisnya. Ia meraih helm full–face, mengenakannya, lalu men-starter Honda Astrea bututnya. Motor tua itu melaju meninggalkan gang sempit tempat ia tinggal bersama Areta.Selama perjalanan lima belas menit itu, sesekali Adam menaikkan batang kacamatanya yang melorot sedikit. Kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang-nya terlihat kontras dengan lampu-lampu kota.Motor butut itu berhenti di depan gerbang baja yang menjulang tinggi, dengan ukiran logo yang sangat modern, Rajawali Jaya Group.Adam membunyikan klakson singkat. Gerbang raksasa itu membuka otomatis.Astrea tuanya masuk ke area basemen yang dipenuhi mobil-mobil Eropa mengilap. Ferrari merah, Mercedes hitam, BMW seri terbaru. Motor Adam terlihat seperti barang salah parkir.Ia berjalan cepat
“Episode baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta, kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal melangkah hati-hati di atas paving gang sempit itu.Ia berjalan di belakang Adam. Bau masakan rumahan dan suara-suara tetangga langsung menyergap Areta. Pemandangan ini sangat kontras dengan kediaman mewahnya."Rumahmu ... apakah jauh dari sini?" tanya Areta, mencoba menahan nada jijik.Adam menoleh ke belakang, kacamata tebalnya memantulkan jendela rumah tetangga. "Sudah sampai, Nona Areta."Areta menatap bangunan di depannya. Sebuah rumah kecil, bersahaja, dengan pintu kayu dicat hijau tua. Bekas kos-kosan yang pernah ditempati papanya Areta.Sebenarnya Areta pernah ke rumah itu, bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali. Setiap hari besar. Dan Adam masih mengingat momen itu.Gadis cilik gaya modis.“Namaku Areta Nindiya Kusuma. Saat dewasa nanti, aku akan jadi model terkenal. Areta Niku. Kalau kamu mau minta tanda tanganku, sekarang saja. Nanti susah loh,” ucap Aret
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dengarkan, Adam. Biar aku perjelas, aku gak mau ada rahasia di antara kita. Aku ini desainer yang selalu jujur dengan apa yang ada di hatiku," kata Areta, nadanya sedingin es batu di gelasnya.Areta duduk tegak, membiarkan suaranya yang tajam mendominasi kafe kecil di pinggir kota itu. "Aku menerima perjodohan ini karena aku mengincar Gedung Serbaguna milik Papa. Itu bisa kupakai untuk pagelaran busanaku tanpa harus bayar sewa. Papa bilang, gedung itu akan jadi milikku jika aku mau bersama denganmu."Ia menunggu reaksi Adam. Apakah marah, malu, atau tersinggung. Tapi Adam hanya menyimak dengan tenang, sesekali mengangguk."Kamu jangan tersinggung kalau papaku menukar semua ini dengan gedung serbagunanya," lanjut Areta, melempar nada sarkas. "Aku ini seorang desainer. Namaku adalah brand. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Kita hanya akan menikah selama setahun. Setelah itu, kita cerai."Belum sempat Areta menyampaikan rentetan persyaratan, Adam men
"Gak jadi menggelandang di Milan tapi sekarang menggelandang di negara kelahiran serta tempatku hidup!"Areta menendang kaleng kosong di depannya. Kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal itu terasa berat di atas trotoar Jakarta. Ia baru saja kabur, meninggalkan celana cingkrang Adam dan kemarahan Mama Veronica."Papa sama Mama tega banget jodohin aku sama pria culun itu," gerutunya. "Aku udah siapin diri kalau pria itu playboy atau pria yang suka dunia malam. Tapi ... kenapa malah penjahit!"Tanpa terduga, kaleng itu meluncur dan mengenai punggung seorang pemulung yang sedang membungkuk memungut botol plastik."Kurang ajar! Siapa yang—" Pemulung itu berbalik, siap mengomel, tapi pandangan matanya langsung berubah. Ia menatap kecantikan Areta dengan binar yang lain.Awalnya Areta hendak minta maaf, kedua tangannya sudah terangkat hendak menangkup. Tapi ketika melihat tatapan penuh arti dari pria matang dengan pakaian kumuh dan kumal itu, instingnya menjerit. Areta langsung pasang langk







