Masuk"Gak jadi menggelandang di Milan tapi sekarang menggelandang di negara kelahiran serta tempatku hidup!"
Areta menendang kaleng kosong di depannya. Kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal itu terasa berat di atas trotoar Jakarta. Ia baru saja kabur, meninggalkan celana cingkrang Adam dan kemarahan Mama Veronica.
"Papa sama Mama tega banget jodohin aku sama pria culun itu," gerutunya. "Aku udah siapin diri kalau pria itu playboy atau pria yang suka dunia malam. Tapi ... kenapa malah penjahit!"
Tanpa terduga, kaleng itu meluncur dan mengenai punggung seorang pemulung yang sedang membungkuk memungut botol plastik.
"Kurang ajar! Siapa yang—" Pemulung itu berbalik, siap mengomel, tapi pandangan matanya langsung berubah. Ia menatap kecantikan Areta dengan binar yang lain.
Awalnya Areta hendak minta maaf, kedua tangannya sudah terangkat hendak menangkup. Tapi ketika melihat tatapan penuh arti dari pria matang dengan pakaian kumuh dan kumal itu, instingnya menjerit. Areta langsung pasang langkah seribu.
"Hei! Tunggu!" teriak pemulung itu dari belakang. Areta mendengar langkah si pemulung cepat mengikutinya.
Dengan napas tersengal-sengal, Areta berhasil menyelinap di balik pagar tumbuhan yang rimbun, tubuhnya yang ramping lolos di antara celah. Ia berhenti, mengatur napas yang memburu. Rasa haus mencekiknya, tetapi ia tidak punya selembar uang pun untuk beli minum.
Tragis! Fashion desainer terkenal menggelandang!
"Apa pesonaku ini hanya nyangkut pada pria modelan culun dan pemulung?!" Wajah Areta kusut. "Astaga, desainer yang pernah ditaksir aktor berbakat sekelas Adipati Dolken ini kenapa sekarang nasibnya sial banget!"
Satu tetes air bening menggenang di pelupuk mata. Ia cepat-cepat mengusapnya, sebelum air mata itu sempat meluncur.
Aku harus hubungi teman-temanku.
Ia menghubungi nomer di kontak hpanya satu per satu.
"Maaf, ya, Areta sayang. Aku lagi sibuk nih. Aku gak bisa dengar suara kamu. Areta ...." Sambungan terputus.
"Emang dia hidup di hutan, gak bisa denger suara!" gerutu Areta ke ponselnya.
Ia menghubungi teman lainnya. "Maaf, Are, aku lagi gak ada duit. Kamu pinjam ke yang lainnya aja."
"Kenapa tiba-tiba jadi kere nih anak!" sembur Areta ke layar ponselnya.
"Are … oh pembayaran gaun itu … emm … kapan ya? Aku lagi hopeless nih. Tunda dulu ya."
"Kalau gak niat pesan eksklusif dan gak mampu bayar, bilang dong dari awal, kebanyakan gaya nih anak!" Areta mengumpat lagi.
Penolakan demi penolakan terus ia dengar hingga ponselnya hampir lowbat. "Dasar benalu! Apa definisi teman sekarang bergeser menjadi mereka boleh minta tolong sementara kita yang sudah menolong … dilepeh begitu aja. Kurang ajar banget mereka!" Areta mencengkeram kuat ponselnya, kakinya menghentak ke tanah.
Malam semakin larut. Ia tak punya tujuan. Tidur di butik? Tidak mungkin. Ia tidak mau mengotori gaun-gaunnya dengan bau badannya yang belum ganti baju walau bau Milan.
“Bisa jadi sarang kuman nanti."
Di tengah kebimbangannya, ponselnya berdering. Ia kira salah satu temannya tadi berubah pikiran. Dari mak lampir menjadi ibu peri. Ternyata layar ponsel yang menyala itu menampilkan 'Papaku'.
"Pulang sekarang," perintah Rajes begitu tahu sambungan teleponnya direspon, walau begitu, Rajes berucap dengan suara dingin.
"Gak mau," tolak Areta mentah.
"Gedung Serbaguna yang kamu biasa sewa itu bisa jadi milikmu kalau kamu mau menikah dengan Adam."
Areta hendak menolak, mulut yang mau terbuka terkatup lagi. ia menegang. Gedung Serbaguna. Tempat ia harus memamerkan karyanya musim depan. Ia tidak punya budget sewa. Apa gunanya baju bagus kalau gak bisa dipamerin di panggung catwalk.
“Okay. Tapi aku hanya mau menikah selama satu tahun.”
"Memangnya kamu pikir pernikahan itu uji coba? Enak saja. Harus langgeng. Kalau gak mau, ya sudah. Papa juga gak rugi. Cuman malu saja sama Adam. Kalau begitu kamu tetap bayar sewa secara profesional seperti biasanya." Rajes menekan.
Tidak ada lagi pertimbangan lebih jauh. Karena bagi Areta, pagelaran musim depan harus terjadi. Bagaimana pun caranya.
"Okay. Aku mau menikah," putus Areta, suaranya serak.
"Kalau begitu, bujuk Adam. Bilang kamu mau menikah dengannya."
“Pa … aku ini cewek.”
“Salah sendiri. kenapa tadi menolak. Papa akan kirim nomer hp adam. Hubungi dia sendiri.”
Sambungan berakhir tanpa aba-aba. Beberapa detik kemudian sebuah notifikasi hadir, Nomor ponsel Adam. Lalu pesan masuk lagi: [Selesai telepon Adam. Pulang. Jangan berkeliaran di luar rumah tanpa arah.]
Areta meragu. Tapi … egonya runtuh demi karyanya.
Sambil menahan napas, Areta menghubungi nomor berakhiran angka tujuh itu.
“Halo.”
“Ini siapa?” tanya Adam usai menguap. Pria itu sudah tertidur, tapi terjaga karena bunyi telepon masuk.
"Aku … aku Areta. Perempuan yang dijodohkan denganmu." Areta berujar cepat, begitu melihat baterai ponselnya menunjukkan warna merah. "Aku ingin kita bertemu. Besok. Aku ingin membahas pernikahan kita. Cepat jawab, baterai ponselku mau habis. Iya atau enggak?"
Karena tidak memakai kacamata, Adam memicingkan mata. "Iya."
"Bagus. Aku kirim ala—" Tut tut tut tut… Telepon Areta benar-benar mati.
Areta pulang secara mengendap-endap, masuk ke rumah Rajes yang sudah sunyi. Lampu ruang tamu meredup. Ia berjalan mengendap menaiki anak tangga ke kamarnya.
Di balik pilar, kedua orang tuanya mengintip. Veronica dan Rajes saling pandang, lalu tersenyum. Karena artinya … pernikahan akan terjadi.
*
Adam dan Areta bertemu keesokan harinya di sebuah kafe kecil, Kafe Angin Senja, yang terletak di pinggir kota. Areta sengaja memilih tempat itu agar jauh dari radar teman-teman sosialitanya.
Adam tiba. Ia mengenakan baju yang berbeda, kaos polo polos berwarna krem, tetapi tetap dengan celana cingkrang dan sepatu pantofel tuanya.
Areta duduk tegak. "Aku gak mau berlama-lama, Adam. Aku setuju kita menikah, tapi aku punya syarat. Dan kamu juga boleh kasih syarat."
Adam sembari membetulkan letak kacamatanya, dengan tatapan tenang, menanti.
"Aku gak ada syarat," jawab Adam.
"Yakin?"
Adam mengangguk dalam. Jika kacamata lensa minus tebal itu dibuka, Areta akan melihat binar ketulusan kasih sayang yang terpancar, tetapi Areta tidak melihatnya, dan Adam pun menyembunyikannya diam-diam.
Adam berdiri lama di depan wastafel, tangan masih bersabun. Ia menatap piring yang tadi dipakai Areta, piring yang kini kosong, benar-benar bersih tanpa sisa sambal apa pun.Sudut bibirnya terangkat sedikit. Tapi hanya sebentar.Jangan keburu senang, batinnya menegur dirinya sendiri.Ia membilas piring itu dan mengambil napas perlahan. Suara Areta masih terngiang jelas di kepalanya.“Sambalnya… lumayan. Sedikit. Jangan GR.Ikannya… gak bikin aku keracunan. Itu prestasi besar.”Adam menunduk, menahan tawa kecil tawa yang jarang sekali muncul saat ia sendirian. Bertahun-tahun ia hidup dalam lingkaran duka dan tuntutan yang membuatnya belajar mematikan ekspresi.Tapi dengan hadirnya Areta… rasanya berbeda.Masakan ikan sederhana yang ia goreng terburu-buru, sesuatu yang ia yakin akan dicibir habis-habisan, ternyata habis dimakan. Bahkan dipuji—dengan cara khas Areta yang lebih mirip makian daripada pujian.Adam mengeringkan kedua tangannya. Pandangannya menyapu dapur kecil itu, ruang sea
Adam baru saja menutup pintu ketika suara Areta menggelegar dari ruang tengah.“Dari mana saja kamu? Malam keluar gitu aja?” Areta berdiri dengan tangan terlipat, alis terangkat tinggi. Rambutnya masih dikuncir berantakan karena bekerja, tapi tatapannya menusuk seperti biasa.Adam mematung sejenak. “Tadi … ada urusan sebentar.”“Urusan apa?” Areta mendekat selangkah. “Jangan-jangan kamu punya rahasia ya?”Adam menelan ludah. “Aku cuma keluar sebentar, Are. Beneran.”“Apa kamu ke rumah orang tuaku? Kamu laporan sama papaku?” tanya Areta dengan tatapan curiga.Adam menaikkan bingkai kacamatanya yang sebenarnya tidak melorot. Ia lega karena kecurigaan sang istri bukan mengarah ke jati diri aslinya. “Oh, tidak. Apa juga yang harus dilaporkan. Kita baru hitungan hari menjalani pernikahan. Aku hanya butuh udara segar saja. Itu sudah jadi kebiasaanku tiap malam. Jika jenuh, aku motoran tanpa tujuan.”Areta mendengus. “Aneh,” cicitnya. “Lain kali bilang kalau mau keluar. Aku panggil kamu ber
“Saya sampai sepuluh menit lagi,” ucap Adam lewat telepon. Nada bicaranya dingin. Jauh dari suara polos yang ia pakai saat berinteraksi dengan Areta.“Baik, Pak,” jawab Luna yang berada di seberang.Adam menyudahi panggilan telepon dari sekretarisnya. Ia meraih helm full–face, mengenakannya, lalu men-starter Honda Astrea bututnya. Motor tua itu melaju meninggalkan gang sempit tempat ia tinggal bersama Areta.Selama perjalanan lima belas menit itu, sesekali Adam menaikkan batang kacamatanya yang melorot sedikit. Kemeja kotak-kotak dan celana cingkrang-nya terlihat kontras dengan lampu-lampu kota.Motor butut itu berhenti di depan gerbang baja yang menjulang tinggi, dengan ukiran logo yang sangat modern, Rajawali Jaya Group.Adam membunyikan klakson singkat. Gerbang raksasa itu membuka otomatis.Astrea tuanya masuk ke area basemen yang dipenuhi mobil-mobil Eropa mengilap. Ferrari merah, Mercedes hitam, BMW seri terbaru. Motor Adam terlihat seperti barang salah parkir.Ia berjalan cepat
“Episode baru terjerumus di neraka rumah penjahit kampung dimulai,” batin Areta, kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal melangkah hati-hati di atas paving gang sempit itu.Ia berjalan di belakang Adam. Bau masakan rumahan dan suara-suara tetangga langsung menyergap Areta. Pemandangan ini sangat kontras dengan kediaman mewahnya."Rumahmu ... apakah jauh dari sini?" tanya Areta, mencoba menahan nada jijik.Adam menoleh ke belakang, kacamata tebalnya memantulkan jendela rumah tetangga. "Sudah sampai, Nona Areta."Areta menatap bangunan di depannya. Sebuah rumah kecil, bersahaja, dengan pintu kayu dicat hijau tua. Bekas kos-kosan yang pernah ditempati papanya Areta.Sebenarnya Areta pernah ke rumah itu, bukan hanya sekali. Tapi beberapa kali. Setiap hari besar. Dan Adam masih mengingat momen itu.Gadis cilik gaya modis.“Namaku Areta Nindiya Kusuma. Saat dewasa nanti, aku akan jadi model terkenal. Areta Niku. Kalau kamu mau minta tanda tanganku, sekarang saja. Nanti susah loh,” ucap Aret
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dengarkan, Adam. Biar aku perjelas, aku gak mau ada rahasia di antara kita. Aku ini desainer yang selalu jujur dengan apa yang ada di hatiku," kata Areta, nadanya sedingin es batu di gelasnya.Areta duduk tegak, membiarkan suaranya yang tajam mendominasi kafe kecil di pinggir kota itu. "Aku menerima perjodohan ini karena aku mengincar Gedung Serbaguna milik Papa. Itu bisa kupakai untuk pagelaran busanaku tanpa harus bayar sewa. Papa bilang, gedung itu akan jadi milikku jika aku mau bersama denganmu."Ia menunggu reaksi Adam. Apakah marah, malu, atau tersinggung. Tapi Adam hanya menyimak dengan tenang, sesekali mengangguk."Kamu jangan tersinggung kalau papaku menukar semua ini dengan gedung serbagunanya," lanjut Areta, melempar nada sarkas. "Aku ini seorang desainer. Namaku adalah brand. Jadi, mari kita buat kesepakatan. Kita hanya akan menikah selama setahun. Setelah itu, kita cerai."Belum sempat Areta menyampaikan rentetan persyaratan, Adam men
"Gak jadi menggelandang di Milan tapi sekarang menggelandang di negara kelahiran serta tempatku hidup!"Areta menendang kaleng kosong di depannya. Kakinya yang dibungkus sepatu bot mahal itu terasa berat di atas trotoar Jakarta. Ia baru saja kabur, meninggalkan celana cingkrang Adam dan kemarahan Mama Veronica."Papa sama Mama tega banget jodohin aku sama pria culun itu," gerutunya. "Aku udah siapin diri kalau pria itu playboy atau pria yang suka dunia malam. Tapi ... kenapa malah penjahit!"Tanpa terduga, kaleng itu meluncur dan mengenai punggung seorang pemulung yang sedang membungkuk memungut botol plastik."Kurang ajar! Siapa yang—" Pemulung itu berbalik, siap mengomel, tapi pandangan matanya langsung berubah. Ia menatap kecantikan Areta dengan binar yang lain.Awalnya Areta hendak minta maaf, kedua tangannya sudah terangkat hendak menangkup. Tapi ketika melihat tatapan penuh arti dari pria matang dengan pakaian kumuh dan kumal itu, instingnya menjerit. Areta langsung pasang langk







