Dengan wajah panik, Sarah pun segera menghampiri adik iparnya itu. Ia tidak ingin Wulan curiga dan mengetahui semua percakapan mereka. Bagaimanapun juga kondisi Wulan saat ini sedang tidak baik, Sarah khawatir jika adik iparnya itu akan semakin terpuruk jika ia mendengar tuduhan keji yang dilontarkan ibunya.
"Maaf, ya' Wulan, gara-gara kita ngobrolnya terlalu asik, kamu sampai terbangun. Oh iya, bagaimana kondisi kamu? Sudah baikkan?" tanya Sarah mengalihkan pembicaraan. Ia mengelus pundak Wulan dengan lembut.
"Alhamdulilah, Mbak. Aku udah baikkan, tinggal lemesnya saja. Oh iya, tadi kalian lagi ngebahas apa? Ko kelihatannya serius banget, ada masalah?" tanya Wulan penuh selidik. Meskipun Ia yakin mereka tidak akan menjawabnya, tapi apa salahnya jika Wulan pura-pura bertanya. Wulan hanya ingin tahu sejauh mana ibu mertuanya menyembunyikan kebencian terhadap dirinya.
"Oh, em … i-itu, ki-kita …"
"Kita sedang membahas liburan akhir tahun, Ibu dan Mbak sarah punya rencana untuk ngajak kita liburan ke puncak. Tapi Mas bilang jangan, kalau ke puncak pasti macet. Tapi mereka ngeyel, nggak bisa dibilangin," sahut Fatih berbohong.
Melihat Fatih berhasil menjelaskan pada Wulan, Sarah pun merasa lega. Hampir saja ia kebingungan untuk mencari alasan.
"Tapi kayaknya asik deh Mas liburan ke puncak. Kita kan nggak pernah liburan ke puncak," sahut Wulan antusias walau dalam hati kecilnya ia masih sangat terluka dengan tuduhan ibu mertuanya.
"Tuh kan' apa mbak bilang, Wulan juga pasti setuju jika kita liburan ke puncak. Kamu sih dibilangin ngeyel,"
"Ya sudahlah, next time kita ke puncak," jawab Fatih menggenggam erat tangan istrinya. Ia bersyukur Wulan percaya dengan ucapannya. Jika tidak, entah apa yang harus ia katakan pada Wulan. Fatih begitu mencintai Wulan, ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Wulan jika tahu ibunya sangat membencinya.
Ditengah obrolan kecil mereka, tiba-tiba Bu Ratna pun bersuara.
"Fatih, ibu lihat istrimu sudah baikkan. Wajahnya juga sudah tidak pucat, lebih baik kamu segera bawa istrimu pulang! Jika dia berlama-lama disini bisa habis tabunganmu untuk membayar biaya rumah sakit mewah ini," ucap Bu Ratna dengan pandangan sinis.
"Ibu! Ibu ini bicara apa sih? Wulan masih lemes, ko udah disuruh pulang?" sahut Fatih tak terima dengan usulan ibunya.
"Lha, kenapa? Dia kan sudah sehat. Jadi apa salahnya jika kamu membawanya pulang, lagian dia itu hanya kuret, bukan habis operasi sesar, jadi nggak usah lebay! Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkan dia. Sampai-sampai kamu memesan ruangan VIP seperti ini, kamu tau kan' berapa biaya menginap di ruangan kelas VIP ini?" tanya Bu Ratna dengan nada ketus. Sepertinya rasa benci di dalam dirinya tidak bisa lagi ia sembunyikan.
"Betul kata ibu Mas, lagian aku juga nggak betah tinggal disini, sepi. Lebih enak tinggal di rumah. Lebih baik kamu bicara sama dokter, minta ijin untuk pulang, aku udah kangen rebahan di kamar,"
"Baiklah, Wulan. Kalau kamu yang minta, Mas akan turutin," sahut Fatih membuat Bu Ratna semakin jengah.
'Kurang ajar! Bisa-bisanya Fatih lebih mendengar ucapan istrinya daripada ucapanku!' Batin Bu Ratna kesal.
Siang berganti sore, setelah mengurus administrasi mereka pun bersiap untuk pulang.
Kurang dari satu jam perjalanan, mereka tiba di rumah mewah milik Fatih.
"Tidak usah di tuntun, Mas, aku bisa jalan sendiri ko," ucap Wulan menepis tangan suaminya yang hendak menuntunnya turun dari mobil. Bukan tanpa alasan, semua itu Wulan lakukan karena Bu Ratna terus saja menatapnya dengan tatapan sinis penuh kebencian. Terlebih sepanjang jalan wanita paruh baya itu terus saja membicarakan gadis lain di hadapannya. Gadis yang bernama Eva itu berulang kali ia sebut. Entah siapa dia sebenarnya, Wulan semakin penasaran dengan rencana ibu mertuanya itu.
'Sabar Wulan, kamu tidak boleh terpancing emosi dengang sikap ibu,' ucap Wulan dalam hati.
"Ya sudah, kamu hati-hati jalannya. Pelan-pelan saja, jangan buru-buru," ucap Fatih, ia pun membiarkan istrinya berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah. Sedangkan Fatih dan Sarah bergegas menurunkan barang-barang dari mobil.
"Kamu jangan terlalu memanjakan istrimu itu Fatih! Nanti lama-lama dia bisa ngelunjak. Kamu lihat saja tuh tingkahnya, sudah seperti ratu dirumah ini. Dia bahkan tidak mengajak ibu untuk masuk, keterlaluan!" cetus Bu Ratna berkacak pinggang.
"Ibu kan sudah sering kesini, ibu bukan tamu di rumah ini. Wulan tidak mengajak ibu masuk karena dia menganggap ibu juga bagian dari pemilik rumah ini. Ibu jangan terlalu sensitif, dikit-dikit nyalahin Wulan," jawab Fatih berlalu begitu saja meninggalkan ibunya.
"Argh! Keterlaluan anak itu, bisa-bisanya dia bicara seperti itu pada ibunya. Kamu lihat sendiri kan Sarah, adikmu sudah mulai kurang ajar sama ibu. Kita harus segera memisahkan dia dari wanita parasit itu," celotehnya geram.
"Sudahlah, Bu. Percuma ibu marah-marah disini, lebih baik kita masuk," ajak Sarah pada ibunya.
***
"Mas, tadi sepertinya ponsel kamu nyala, coba kamu cek. Takutnya ada panggilan penting," ucap Wulan saat mereka tiba di kamar. Karena sejak pagi tadi Fatih tidak mengetahui jika Bos nya berulang kali menelpon.
Fatih merogoh kantong celananya, mengambil benda pipih berukuran enam inchi itu.
"Astaga, Pak Surya menelpon Mas berulang kali," ucap Fatih terkejut melihat deretan panggilan tidak terjawab di ponselnya.
"Ya sudah Mas, lebih baik cepat telpon balik, takutnya ada sesuatu yang penting yang ingin beliau sampaikan," usul Wulan dan langsung di iyakan oleh Fatih.
Pria berwajah tegas itu pun lantas menelpon atasannya.
"Halo, Pak. Mohon maaf, tadi saya sedang di rumah sakit, saya tidak tahu jika Bapak menghubungi saya," ucap Fatih saat panggilan terhubung.
"Hening~~~"
"Hening~~~~~"
Sudah hampir sepuluh menit Fatih berbicara dengan atasannya. Namun, sepertinya percakapan mereka belum juga usai, sepanjang menelpon wajah Fatih terlihat lesu dan serba salah membuat Wulan penasaran.
"Ada apa Mas? Ko kamu wajahnya kusut gitu? Ada masalah di kantor?" tanya Wulan saat Fatih selesai menelpon.
"Pak Surya, dia menyuruh Mas pergi ke Bandung besok pagi untuk meeting dengan klien. Mas sudah menolak, tapi sepertinya Pak Surya tetap memaksa. Dia bilang hanya Mas yang bisa mewakili perusahaan," jelas Fatih lesu.
"Terus, kenapa kamu jadi lesu? Kan udah biasa kamu mewakili perusahaan untuk meeting," tanya Wulan heran.
"Ya jelas lesu lah, masa iya istri baru pulang dari rumah sakit Mas tinggal pergi keluar kota? Mas nggak tega ninggalin kamu sendirian di rumah,"
"Ya ampun, Mas. Kamu ini lebay banget sih, aku kan nggak sendirian disini, ada si Mbok yang nemenin aku. Kamu nggak usah khawatir, aku akan baik-baik aja," ucap Wulan meyakinkan suaminya.
"Tapi Wulan, kondisimu belum pulih, kamu butuh orang yang siaga nemenin kamu. Si mbok sudah tua, kamu nggak bisa ngandelin dia. Atau gini aja, aku suruh Ibu dan Mbak Sarah tidur disini selama aku pergi, mereka bisa nemenin kamu,"
"Tapi, Mas … kamu yakin ibu bakalan mau?"
"Yakin, Mas yang akan bujuk ibu, kamu tenang aja. Mereka pasti mau," ucap Fatih. Walau dalam hati kecilnya ia tidak yakin jika ibunya mau menjaga Wulan. Tapi paling tidak ada Sarah yang bisa dengan tulus menjaga Wulan.
"Ya sudah, Mas' aku manut saja, yang penting mereka tidak keberatan," jawab Wulan pasrah.
***
Pagi hari•••
Fatih sudah bersiap untuk berangkat, barang-barang penting sudah dikemas rapi ke dalam koper. Dengan berat hati ia harus meninggalkan istrinya selama tiga hari.
"Aku titip Wulan ya' Mbak. Tolong jagain Wulan selama aku pergi,"
"Iya, pasti mbak jagain. Kamu nggak usah khawatir, udah sana berangkat, nanti kamu ketinggalan pesawat," ucap Sarah yakin.
"Ya sudah, kalau begitu Fatih berangkat dulu, Assalamualaikum," ucap Fatih pergi dengan mobil fortuner warna merah setelah berpamitan pada Ibu, Kakak dan juga istrinya.
••
"Mbak ke toilet dulu, ya' Wulan, kebelet," ucap Sarah sesaat setelah mobil Fatih pergi meninggalkan rumah.
Wulan yang merasa canggung karena hanya berdua dengan ibu mertuanya itu pun berinisiatif untuk masuk kamarnya. Ia sungguh tidak nyaman dengan tatapan ibu mertuanya yang nampak mengintimidasi.
"Mau kemana kamu Wulan?" tanya Bu Ratna dengan suara tinggi. Baru saja Fatih pergi, Bu Ratna sudah berani membentak Wulan.
"Wulan mau ke kamar, Bu. Mau istirahat,"
"Apa?! Istirahat kamu bilang? Ini masih pagi, seharusnya kamu buatkan sarapan untuk saya! Mantu macam apa kamu ini, ada mertua bukannya di jamu malah ditinggal istirahat,"
"Tapi, Bu. Si Mbok sudah bikinin sarapan. Jika Ibu dan Mbak Sarah mau makan, semuanya sudah siap di meja makan,"
"Dikit-dikit si Mbok, mengerjakan ini itu semuanya si Mbok. Terus kamu kerjanya apa? Harusnya kamu itu sadar diri Wulan, jangan hanya menyusahkan suami. Fatih kerja banting tulang, kamu malah enak-enakan di rumah. Dasar pemalas," umpat Bu Ratna kesal.
"Sudah miskin, belagu lagi! Dasar menantu parasit," lagi Bu Ratna mengumpat.
Dada Wulan bergetar, wajahnya mulai memanas. Ingin sekali ia menjawab semua ucapan ibu mertuanya itu. Namun, ia tidak mau gegabah bertindak.
"Ibu! Ibu ngomong apa sih? Nggak baik ngomong seperti itu sama Wulan. Dia itu menantu ibu, kalau sampai Fatih tau ibu memperlakukan Wulan seperti itu dia pasti akan marah," ujar Sarah datang menghampiri mereka.
"Ibu tau' kan, Wulan lagi sakit. Jadi wajar dong kalau dia banyak istirahat. Hal seperti itu tidak perlu dipermasalahkan Bu. Ibu ini kayak nggak pernah sakit aja. Sudah Wulan, kamu tidak perlu mendengarkan ucapan ibu, kalau mau istirahat, istirahat saja," ucap Sarah membela adik iparnya itu.
Wulan sangat bersyukur memiliki Kakak ipar sebaik Sarah. Jika tidak ada Sarah, Wulan tidak tau harus seperti apa menghadapi ibu mertua yang sangat membencinya.
"Kamu itu kenapa' sih, Sarah? Terus saja membela wanita benalu ini? Apa jangan-jangan kamu juga di guna-guna sama dia, hingga kamu berani melawan ibu? Seharusnya kamu ada di pihak ibu, bukan dia!"
"Bu, Wulan itu menantu ibu, harusnya ibu menyayangi dia seperti anak kandung ibu sendiri, bukan malah membencinya seperti ini?"
"Iya ibu tau! Dia memang menantu ibu, menantu yang tidak bisa memberi ibu cucu! Menantu yang nggak becus menjaga janin di dalam perutnya, jika dari dulu Fatih menikah dengan Eva, pasti saat ini Ibu sudah menimang cucu."
"Kamu itu bukan hanya parasit Wulan, tapi kamu juga wanita pembawa sial! Kamu tidak ada bedanya dengan wanita mandul diluaran sana, punya rahim tapi karatan, setiap hamil pasti keguguran"
"Astagfirullah ibu, tega sekali ibu berkata seperti itu?" ucap Wulan lirih. Wajahnya memerah dengan mata berembun. Kali ini hatinya benar-benar terluka dengan perkataan ibu mertuanya itu. "Wulan juga ingin seperti wanita lainnya, Bu. Wulan ingin melahirkan dan punya anak. Wulan juga ingin sekali memberikan ibu cucu. Keguguran itu bukan atas kehendak Wulan. Jika Wulan boleh memilih, Wulan juga tidak ingin kehilangan janin Wulan,""Alah, omong kosong! Jika kamu memang tidak ingin kehilangan janinmu, harusnya kau jaga kandunganmu dengan baik, kau itu memang tidak becus menjadi calon ibu!" "Sudah, Bu, cukup!" ucap Sarah menghentikan ucapan ibunya yang sudah kelewat batas."Kamu tidak usah ikut campur, Sarah! Ini urusan ibu dengan Wulan,""Jika yang ibu permasalahkan adalah anak, itu berarti urusan Sarah juga, Bu. Ibu terus menerus menuntut Wulan untuk punya anak, tapi ibu lupa jika anak perempuan ibu juga belum bisa ngasih ibu cucu! Umur Sarah sudah hampir 35
"Halo, Bude? Bude masih disitu' kan?" tanya Wulan memastikan setelah beberapa saat tidak ada suara dari Bude Ruti. "I-iya' Wulan, halo. Bude masih disini," jawab Bude Ruti seolah terbangun dari lamunannya."Wulan kira Bude pergi, soalnya tidak ada suara," "Oh, nggak Wulan. Bude cuma …," ucapnya terjeda."Cuma apa bude?""Bude cuma bingung aja,""Bingung? Bingung kenapa?""Emm, anu Wulan. Tadi' kan kamu bilang kamu sakit perut setelah makan malam itu, bude cuma heran aja Wulan. Kamu yakin tidak melakukan aktivitas lagi setelah itu? Kamu tidak beres-beres atau mengangkat yang berat-berat' kan? Atau … kamu ada minum dan makan sesuatu?" tanya Bude Ruti memastikan."Yakin, Bude. Orang setelah makan malam itu Wulan dan Mas Fatih langsung istirahat. Wulan tidak beres-beres, malah langsung tidur setelah sholat isya," jawab Wulan yakin."Aneh," sahut Bude Ruti membu
"I-ibu? Se-sejak kapan ibu berdiri disitu?" tanya Wulan dengan bibir bergetar menatap Bu Ratna yang berdiri berkacak pinggang dengan mata melotot penuh curiga."Seharusnya saya yang bertanya sama kamu, ngapain kamu mengobrak-abrik tong sampah itu?! Apa yang kamu maksud dengan petunjuk, Wulan? Petunjuk apa yang sedang kamu cari?" tanya Bu Ratna membuat Wulan semakin kikuk dan serba salah harus menjawab apa."Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tuli Wulan? Kamu tidak mendengar apa yang saya tanyanyakan, hah?" Melihat Wulan terdiam dengan wajah panik, Bu Ratna pun kembali bertanya dengan nada tinggi."A-anu, Bu, ma-maksud Wulan, petunjuk gelang Wulan yang hilang, Bu" sahut Wulan terbata-bata."Gelang?" ucap Bu Ratna memicingkan matanya."I-iya, Bu. Gelang Wulan hilang, sepertinya jatuh di tong sampah ini saat Wulan buang sisa makanan," jawab Wulan berbohong. 'Semoga saja ibu percaya dengan jawabanku,' batin Wulan cemas."Gelang apa? Memangnya
Melihat sikap Sarah yang gugup dan tidak langsung menjawab pertanyaannya, Wulan pun semakin penasaran. "Mbak Sarah? Kenapa diam? Apa maksud Mbak Sarah itu Mas Fatih?" Lagi Wulan menegaskan pertanyaannya."Y-ya bukan lah, Wulan. Ka-kamu ini ada ada saja, masa iya Fatih kepergok tidur bareng Eva. Aneh-aneh aja," sahut Sarah terbata-bata. Sarah terlihat semakin gugup dan salah tingkah, Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari sang adik ipar."Terus siapa?" tanya Wulan mengerutkan dahinya."Fa-fatur! Iya Fatur, itu lho temennya Fatih waktu kuliah dulu. Kamu pasti nggak kenal' kan?" Mendengar jawaban Sarah, Wulan pun menggeleng seketika."Emang Mas Fatih punya teman yang namanya Fatur?"
"Ibu berbicara dengan siapa? Kenapa dia menyebut nama Mas Fatih?" gumam Wulan dalam hati penuh tanya. Ia segera bersembunyi di belakang pilar saat ibu mertuanya bangkit dan beranjak meninggalkan ruang tamu. Beruntung Bu Ratna tidak melihat Wulan, jika sampai Wulan ketahuan menguping Bu Ratna pasti akan murka.Gegas Wulan membawa alat pelnya ke ruang tamu, dengan hati-hati ia memunguti satu persatu pecahan beling yang berserakan di lantai."Apa jangan-jangan ibu berbicara dengan gadis yang bernama Eva itu? Tapi–untuk apa ia menyuruh gadis itu menemui Mas Fatih? Apa jangan-jangan Ibu sengaja merencanakan semua ini?" Lagi Wulan menerka. Ia benar-benar tidak tenang setelah mendengar percakapan itu."Aku harus segera menelpon Mas Fatih, aku harus mencari tau semuanya. Ini pasti ada yang tidak beres," batin Wulan. Selesai mengerjakan tugasnya ia pun kembali ke kamar, mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur dan segera menghubungi Fatih.Tiga kali Wulan mencoba menghubungi Fatih. Namu
"Pokoknya saya tidak mau pesan makanan online! Lebih baik sekarang kamu cepat ke dapur, siapkan makan malam untuk saya! Malam ini saya ingin makan ayam bakar dan plecing kangkung," ucapnya dengan nada tinggi.Wulan menarik nafas panjang, berusaha menetralkan perasaannya. Ia tidak boleh terlalu memikirkan ucapan menyakitkan dari mulut ibu mertuanya. Wulan akan buktikan jika ia tidak seperti apa yang diucapkan Bu Ratna. Menyiapkan makan malam itu hal yang mudah. Wulan sudah terbiasa melakukan itu untuk sang suami. Gegas Wulan berjalan menuju lemari es berukuran besar itu, ia masih memiliki banyak bahan makanan yang bisa di olahnya. Namun, Wulan begitu terkejut saat pintu lemari es dibuka, tidak ada satupun bahan makanan di dalamnya. Wulan bingung dan heran, kemana semua sayur, buah dan daging yang ia beli? Kenapa semua tidak ada di dalam kulkas? Padahal satu hari sebelum Wulan keguguran, ia sudah berbelanja kebutuhan dapur untuk dua minggu kedepan. Aneh!"Kenapa masih bengong, Wulan?
Dengan perasaan yang berkecamuk Wulan pergi ke dapur. Mengolah plecing kangkung dan ayam bakar yang dipesan ibu mertuanya. Api amarah bersarang dalam diri Wulan. Sudah cukup rasanya selama ini dia dihina dan diperlakukan tidak baik oleh ibu dari suaminya itu. 'Ibu pikir orang pendiam itu akan terus-menerus pasrah saat di intimidasi? Tidak, Bu. Jika ibu berpikir seperti itu, ibu salah. Aku rasa sekarang sudah saatnya aku membela diri dan membalas ulah jahat ibu selama ini' batin Wulan.***Satu jam sudah Wulan berjibaku dengan olahan makanannya di dapur, aroma ayam bakar yang menggoda membuat siapapun yang menciumnya pasti akan merasa lapar. Tak lupa dengan plecing kangkung dan tempe mendoan yang sudah siap ia tata di atas meja makan. Kini tinggal ayam bakar yang belum ia bawa ke meja makan. Wulan menoleh ke arah pojok pintu dapur, matanya tertuju pada bangkai hewan yang tergeletak di samping tempat sampah.Dengan senyum mengembang di bibirnya, Wulan bergegas mengambil bangkai keco
Wanita paruh baya itu mendorong tubuh Wulan, ia pun segera berjalan menuju meja makan untuk mengambil ponselnya."Kamu liat nih' Wulan! Saya akan adukan semua ini pada Fatih! Saya yakin, setelah ini Fatih pasti akan menceraikanmu," ucap Bu Ratna menekan tombol panggil di layar benda pilih miliknya. Tak lama kemudian sambungan pun terhubung."Halo, Bu. Ada apa?" suara Fatih terdengar jelas karena Bu Ratna sengaja mengaktifkan tombol loudspeaker di ponselnya."Halo Fatih, istrimu sudah keterlaluan Fatih. Dia mau membunuh ibu! Dia meracuni ibu dengan memasukan kecoa ke dalam masakannya," ucap Bu Ratna menggebu-gebu."Maksud ibu apa? Kenapa ibu bicara seperti itu?" tanya Fatih keheranan."Wulan mencampur kecoa ke dalam ayam bakar yang ia masak untuk ibu, Fatih! Dia sengaja ingin meracuni ibu!""Hm, ibu ini ada-ada saja, mana mungkin Wulan melakukan itu? Udah ah, Bu. Jangan aneh-aneh," sahut Fatih tidak percaya dengan ucapan ibunya."Ibu serius, Fatih. Kamu tidak percaya sama ibu? Nih, kam