Ibu mertuaku bangkit dari duduk dengan kasar, matanya membulat, dadanya kembang-kempis dengan gigi yang bergemertuk hebat."Mau ke mana kalian?!" Ibu mertuaku berteriak, ketika melihat Amel dan Rani hendak berdiri."Diam kalian dan jelaskan semuanya padaku, termasuk dirimu, Alif!" Sesekali aku melirik ke arah Panji, di mana anak laki-lakiku itu masih berdiam diri di tempat, menatap laptop dengan tatapan kosong.Perlahan aku bangkit dari duduk, menghampiri Panji yang tiba-tiba menunduk, menyembunyikan raut wajah kecewanya."Nak, kamu baik-baik saja, 'kan?""Aku baik-baik saja, Bu," lirih Panji tanpa mendongak sedikitpun.Aku adalah Ibunya Panji, wanita yang melahirkannya dan mengurusnya hingga sebesar ini.Jadi, aku tahu betul dan bisa merasakan kesedihan yang tengah Panji pendam seorang diri.Sebagai seorang Ibu dan wanita yang turut menjadi korban, aku pun segera merangkul Panji, membawanya dalam pelukan. Barulah beberapa saat kemudian, kurasakan tubuh Panji bergetar hebat, bersamaa
Malam semakin larut, suasana pun semakin mencekam. Mungkin tetangga kami di luar sana mengira, kalau kami tengah menikmati acara dengan keluarga.Akan tetapi, tak ada satupun yang mereka tahu, bila acara malam ini justru berubah menjadi sebuah bencana. Di mana sorot mata masing-masing orang hampir sama.Penuh kebencian, dendam, serta amarah yang menggebu-gebu."Rasanya aku ingin mati," lirih Ibu mertuaku, menarik perhatian semua orang untuk menoleh padanya.Aku yang merasa amat sangat bersalah, segera melepas rangkulanku pada Panji yang masih tak henti-hentinya menangis, lalu menghampiri Ibu mertuaku."Ibu, maafkan aku."Ibu mertuaku menoleh, kedua alisnya saling bertautan, tak lama kemudian dia menggeleng pelan."Kenapa kamu meminta maaf, Melda. Memangnya apa salahmu? Kamu tak memiliki kesalahan apapun, Sayang.""Tet
Aku sedikit mengerjapkan mata, kala indra penciumanku mulai menghirup aroma obat-obatan.Cukup lama aku berada dalam kondisi tersebut, hingga pada akhirnya aku benar-benar membuka mata secara sempurna, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan ruangan berukuran sedang yang didominasi oleh warna putih."Astaga, kenapa aku--"Naas, saat aku hendak bangkit dari posisi tertidur, kepalaku langsung berdenyut, hingga aku pun memilih untuk mengurungkan niat dan memijat pelipisan perlahan."Melda, kamu sudah sadar?"Sontak, aku menoleh ke sumber suara, menatap Ibu mertuaku yang perlahan berjalan menghampiri."Ibu, kenapa aku--" Tak lama mataku membulat sempurna, kala aku teringat akan suatu hal. "Aku harus bertemu Panji, aku harus menemuinya!"Tanpa menghiraukan rasa sakit yang semakin menyerang kepala, aku turun dari ranjang,
Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Kepalaku terlalu sibuk, memikirkan tentang ancaman Rifky--si anak ingusan yang justru di setujui oleh keluargaku.Aku sedikit tertunduk, meremas rambut dengan kasar, hingga beberapa helai berjatuhan. Tak terpikir olehku, apa yang ada di dalam kepala keluargaku, sehingga mereka memilih untuk menjerumuskan anaknya ke balik jeruji besi, tidak seperti keluarga yang lainnya.Di mana mereka akan membela anak mereka mati-matian, meskipun mereka tahu, bila anaknya telah berbuat salah."Ah, s*al!"Sempat kulirik Ayah sekilas, terlihat dia sedang tertidur pulas dengan posisi yang tampak tak nyaman, begitupun dengan Ibu dan Andin.Lalu, untuk Melda dan keluarganya, setahuku mereka kembali ke ruangan tempatnya di rawat tadi. Entah apa yang mereka lakukan di sana, aku tak tahu.Mengena
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?"Segera kubangkit dari kursi tunggu, kala seorang pria berjas putih lengkap dengan sebuah kacamata yang bertengger di hidungnya, keluar dari tempat Panji di rawat.Netraku masih berfokus pada dokter pria tersebut, menunggu jawabannya yang tak kunjung keluar.Tak tahu 'kah dokter itu, bila jantungku semakin berdetak kencang, hingga keringat dingin sebesar biji jagung pun tak luput membanjir tubuh."Alhamdulillah, Panji sudah sadarkan diri dan dia meminta saya untuk menyampaikan keinginannya.""Alhamdulillah," sahut semua orang secara bersamaan.Begitupun dengan diriku yang tak henti-hentinya mengucapkan syukur dalam hati seraya sesekali mengusap ujung mata yang berair."Apa keinginan anak saya, dok?" tanyaku cepat, tak sabar ingin kembali mendengar kabar baik lainnya lagi.
Sudah sekitar tiga hari ini aku tak masuk sekolah, bertemu dengan teman-teman sebayaku. Selama itu pula, aku hanya tahu kondisi Panji melalui Bapaknya yang tak lain adalah kekasihku juga.Awalnya aku memang hanya berpacaran dengan Panji saja. Di mana sesekali dia membawaku ke rumahnya untuk sekedar belajar bersama dan di saat itu pulalah, aku bertemu dengan Bapaknya.Aku tak langsung tertarik pada Bapaknya Panji, kadang aku merasa risih, karena sesekali pria tua itu seperti mengamatiku dari atas hingga bawah.Namun, pada akhirnya aku luluh juga. Di mana Bapaknya Panji ternyata jauh lebih romantis dari anaknya dan yang membuatku semakin terpesona padanya, adalah sikapnya yang begitu royal padaku. Sehingga tak ragu untuk menuruti semua kemauanku.Dari situlah, aku dan Mas Alif mulai menjalin hubungan, hingga tanpa ragu aku pun berani menyerahkan mahkota yang aku miliki padanya.
Panji sudah keluar dari rumah sakit, kondisinya sudah mulai membaik. Tetapi, ada satu hal yang tak dia inginkan, yaitu tinggal satu atap dengan Mas Alif.Aku sendiri tak bisa berbuat banyak, selain membawa Alif tinggal di rumah bibinya yang sudah lama kosong. Untung saja, saat aku sampai ke rumah ini, kondisinya sudah cukup bersih, tinggal menempati saja."Nak, mau makan apa siang ini?" tanyaku seraya menyentuh pundak Panji, mengelusnya perlahan.Panji menoleh, seulas senyuman tercipta di bibirnya yang cukup merah. Karena setahuku Panji belum pernah mencoba rokok, meskipun Mas Alif pernah meminta Panji untuk merasakannya. Hanya saja, anakku itu suka menolak permintaan Bapaknya, terlebih lagi karena memang aku melarangnya juga."Aku mau makan ayam goreng sama sayur asem buatan Ibu. Aku merindukannya. Sudah lama tak menyantapnya.""Akan Ibu buatkan!" balasku seraya mengusap puncak kepala Panji. Seulas senyuman terlukis di bibirku."Terima kasih, Bu. Lebih baik aku hidup berdua saja den
"Pergilah! Tak usah jauh-jauh datang kemari, sebab semuanya akan sia-sia saja, Amel," tegasku pada Amel.Namun, anak gadis itu sama sekali tak menghiraukan ucapanku. Buktinya dia langsung melangkah ke hadapanku, memaksa untuk masuk ke rumah."Tante, saya mohon. Ijinkan saya untuk menemui, Panji. Tidak akan lama, Tan. Karena--""Apa kamu tak punya telinga?!" teriakku dengan nyaring, mataku pun ikut membulat sempurna.Amel yang kebetulan berada tak jauh dari hadapanku, kembali terisak kecil. Wajahnya tampak putus asa dan penuh tekanan.Meskipun begitu, hati nuraniku sudah terlanjur buta. Tak ada kata maaf yang akan terucap dari bibirku dan Panji, semuanya sudah terlambat. Aku dan Panji terlanjur sakit hati."Tante, aku mohon. Apa Tante tak kasihan padaku?"Sontak, satu sudut bibirku terangkat ke atas, tak luput aku pun sampai memalingkan wajah. "Apa saya tak salah dengar?""Maksud, Tante?" Amel malah balik bertanya seraya mengusap sudut matanya yang masih di penuhi linangan cairan ben