Share

IBU SEKAR

Mobil yang kutumpangi melesat membelah jalan raya yang tidak terlalu padat siang ini. Setelah menjemput anak-anak di sekolah, kami di antar sopir menuju rumah Ibu. Mas Bima tidak bisa mengantar kami, katanya ada meeting dengan klien dari luar kota. Anak-anak begitu antusias saat kuberitahu akan mengunjungi neneknya. Mereka sibuk minta singgah di supermarket ingin membawakan oleh-oleh ini dan itu untuk Ibu.

Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap kali kami berkunjung ke rumah ibunya Mas Bima atau orang tuaku kami tidak datang dengan tangan kosong. Entah itu buah, kue, atau barang lain ada saja yang kami bawa sebagai buah tangan.

Rumah orang tua kami masih di satu kota yang sama, kami membagi waktu untuk mengunjungi mereka. Biasanya kami gilir dua minggu sekali. Sejauh ini hubungan kedua belah kelurga terjalin dengan baik, malah bisa dikatakan sangat baik. Sebab, dulunya ayah mertua adalah sahabat papaku, jadi mereka sudah banyak tahu satu sama lain.

Ibu Sekar, mertuaku adalah pensiunan guru. Orangnya sangat baik menurutku. Selama menjadi mantu aku diperlakukan sama seperti anak kandungnya. Ibu tidak membedakan antara anak dan menantu, dulu saat ibu masih sehat dan sering bepergian ke luar kota beliau akan membagikan oleh-oleh yang sama pada kami.

Pak Bambang, ayah Mas Bima wafat tiga bulan sebelum pernikahanku dan Mas Bima. Ayah mertuaku tidak jauh berbeda dengan Ibu, baik dan ramah. Sayangnya ayah tidak berumur panjang, beliau tidak sempat melihat cucu pertama dari anak lelakinya lahir. Padahal aku ingat betul awal-awal rencana pernikahan kami, ayah sering mengatakan ingin segera menimang cucu dari Mas Bima. Usia memang tidak ada yang tahu sampai mana batasnya, tiga bulan sebelum kami menikan Allah sudah lebih dulu memanggil ayah kembali.

Anak Ibu ada dua, Mas Bima dan Kak Sinta. Sama seperti Mas Bima, Kak Sinta juga sudah berkeluarga. Iparku dan dua anaknya masih tinggal di rumah ibu, sebab suaminya seorang abdi negara yang saat ini masih di tugaskan di pulau Papua. Kak Sinta enggan ikut ke tempat dinas suaminya dan lagi tidak tega bila harus meninggalkan ibu sendirian di rumah. Pada sesama menantu pun ibu tidak pernah pilih kasih.

Walaupun suaminya sudah bekerja dan

mencukupi segala kebutuhannya, Kak Sinta masih menjalankan bisnis juga. Usaha londry dan kos-kosan. Tentu bukan Kak Sinta langsung yang mengerjakan, dia membayar karyawan.

Melihat Kak Sinta yang masih giat berusaha mengembangkan bisnis, ibu tidak pernah menyinggung aku yang justru memilih mengundurkan diri dari pekerjaan setelah melahirkan Bella. Sekarang memang sumber kehidupan keluargaku bergantung pada Mas Bima seorang. Biarlah, toh sebelum memutuskan aku sudah berunding dengan Mas Bima. Suamiku itu tidak keberatan.

Aku sering mendengar kebanyakan ibu mertua jahat atau pilih kasih. Akan tetapi, tidak dengan Ibu Sekar, dia sangat menyayangi aku dan anak-anakku. Jika dibandingkan dengan Mama, ibu kandungku, keduanya sama saja, imbang. Walaupun kata orang anak lelaki yang sudah menikah bertanggung jawab pada ibunya yang sudah janda sebagai ganti ayah, tetapi Ibu Sekar tidak pernah mengungkit dan menuntut Mas Bima. Aku sebagai menantu pun tak pernah menghalangi Mas Bima untuk berbakti pada orang tua tunggalnya tersebut.

Ibu tidak pernah ikut campur urusan rumah tangga kami, kalau pun ada masalah Ibu hanya menasihati dan mengarahkan tanpa memihak pada salah satu, selanjutnya penyelesaian tetap ada di tanganku dan Mas Bima. Memiliki mertua sebaik Ibu Sekar adalah suatu keberuntungan bagiku. Sangat jarang ada Ibu mertua sebaik beliau. Apalagi Ibu belum lama menjanda ketika Mas Bima menikah denganku. Pastilah sangat berat melepas anak lelakinya saat hatinya masih berduka sebab ditinggal mati suami.

“Assalamualaikum ... Nenek!”

Baru saja turun dari mobil Raya dan Bella langsung berlari ke pintu utama yang terbuka. Mereka memanggil-manggil neneknya.

“Kak Raya, Bella yang sopan jangan teriak-teriak manggil neneknya!” tegurku pada dua kakak adik beda usia dua tahun itu.

“Nenek!!!”

Sepertinya mereka tak mendengar teguranku, terbukti baru saja mulut ini selesai berkecap suara keduanya malah semakin nyaring. Bersamaan dengan itu dari dalam rumah Ibu tergopoh-gopoh menyambut cucu-cucunya.

“Cucu nenek akhirnya sampai juga. Dari tadi

nenek nungguin, lho. Nenek kira enggak jadi datang.”

Aku melangkah masuk ke rumah ibu, rumah yang dahulu hanya hunian sederhana, tetapi kini sudah menjelma bangunan kokoh dan mewah karena sedikit demi sedikit dari hasil kerjanya Mas Bima merenofasi rumah ini. Walaupun bangunan rumahnya sudah gedongan dan dilengkapi fasilitas mewah, sosok ibu mertua tetap sederhana.

Ibu bergantian memeluk dan mencium Raya dan Bella. Dua putriku menggelendot manja pada Ibu seakan tidak mau lepas. Begitulah anak-anakku kalau bertemu Ibu, manja dan ceriwis. Aku salim pada ibu dan memeluknya juga.

“Sehat, Bu?”

“Alhamdulillah sehat, Nduk. Kalian sudah makan, belum? Ayo, masuk Kakakmu di dalam. Ayo anak-anak masuk, main sama Nenek di dalam," ucap Ibu dengan logat Jawa yang kental. Sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, tetapi stile bicaranya mertuaku ini masih khas bawaan dari tanah kelahirannya.

Ibu menggandeng anak-anak ke dalam rumah, aku mengekori sambil membawa bingkisan makanan ringan dan satu cetak brownis sebagai buah tangan ala kadarnya untuk mertua. Di dalam Kak Sinta menyambut kami sambil menggendong bayinya. Kakak iparku baru sekitar tiga bulan yang lalu melahirkan anak ke dua.

Tidak hanya Kak Sinta, ternyata di ruang tengah ada satu orang lagi. Seorang perempuan duduk di sofa, pada meja di hadapan orang itu terdapat dua gelas sirup. Wajahnya masih asing untukku, sepertinya bukan tetangga dekat sini. Dugaanku tadi Ibu sedang menerima tamu, saat anak-anak memanggil.

“Ini mantuku, Rin yang dua itu anak-anaknya. Aku punya cucu udah empat cantik-cantik semua, belum ada yang ganteng,” seloroh ibu memperkenalkan kami pada tamunya itu.

“Temennya Ibu,” bisik Kak Sinta yang berdiri di sampingku.

Aku membulatkan bibir membentuk huruf O lantas mengulurkan tangan pada orang itu, kami bersalaman. Ibu lantas duduk di sebelah tamunya, tanpa di suruh anak-anak lesehan di karpet bulu yang digelar di depan lemari televisi. Mereka sibuk membongkar mainan yang tadi di beli saat singgah di supermarket, dari kotak-kotak pembungkusnya. Kak Sinta ke dapur setelah menerima oleh-oleh yang kubawa. Tidak enak rasanya kalau aku ikut nimbrung dengan Ibu dan temannya, jadi aku menyusul Kak Sinta ke dapur saja.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status