“Proyek ini sudah dalam tahap perencanaan akhir?” tanya Nio setelah mendalami isi dari brosur proyek yang dia baca.
Wilona mengangguk. “Benar. Dan sekarang kami sedang memilih mitra strategis untuk sistem logistik dan distribusi material, serta pengelolaan pembangunan yang efisien. Karena itulah kami menghubungi perusahaan Anda, Nio.”Nio menatapnya, sedikit terkesan dengan pendekatannya yang langsung dan terstruktur. “Anda ingin menjalin kerja sama dalam bentuk joint-operation atau kontrak jasa?”“Awalnya kontrak jasa,” jawab Wilona. “Namun jika memungkinkan, saya tidak menutup peluang untuk kolaborasi investasi dalam proyek lanjutan. Kami mencari mitra yang bukan hanya efisien, tapi juga memiliki komitmen terhadap nilai keberlanjutan.”Nio menautkan jari-jarinya. “Saya menghargai pendekatan Anda. Jujur saja, proyek seperti ini menarik. Kami memang sedang mencari peluang kerja sama yang sejalan dengan visi masa depan. Tapi ada satu hal yang ingin“Proyek ini sudah dalam tahap perencanaan akhir?” tanya Nio setelah mendalami isi dari brosur proyek yang dia baca.Wilona mengangguk. “Benar. Dan sekarang kami sedang memilih mitra strategis untuk sistem logistik dan distribusi material, serta pengelolaan pembangunan yang efisien. Karena itulah kami menghubungi perusahaan Anda, Nio.”Nio menatapnya, sedikit terkesan dengan pendekatannya yang langsung dan terstruktur. “Anda ingin menjalin kerja sama dalam bentuk joint-operation atau kontrak jasa?”“Awalnya kontrak jasa,” jawab Wilona. “Namun jika memungkinkan, saya tidak menutup peluang untuk kolaborasi investasi dalam proyek lanjutan. Kami mencari mitra yang bukan hanya efisien, tapi juga memiliki komitmen terhadap nilai keberlanjutan.”Nio menautkan jari-jarinya. “Saya menghargai pendekatan Anda. Jujur saja, proyek seperti ini menarik. Kami memang sedang mencari peluang kerja sama yang sejalan dengan visi masa depan. Tapi ada satu hal yang ingin
Perjalanan menuju kantor cukup lancar. Cuaca cerah, langit biru bersih, seolah ikut merayakan kehidupan baru mereka yang perlahan tapi pasti menjelma indah. Saat tiba di kantor, ia masuk dari pintu samping, tak ingin membuat kehebohan. Namun beberapa pegawai yang melihatnya tetap menyapa ramah, dan Nio membalas dengan anggukan tenang.Di lantai atas, Ruby sudah menunggunya di ruangannya.“Kamu cepat juga,” kata Ruby sambil menyimpan dokumen ke dalam map.“Karena aku lapar,” jawab Nio sambil tersenyum.Ruby tertawa kecil. “Ayo, aku tahu tempat yang enak.”***Restoran Jepang itu tampak tenang, dengan arsitektur kayu khas dan lampion gantung yang berayun pelan setiap kali pintu digeser terbuka. Begitu memasuki ruangan, aroma kaldu dashi dan kecap asin menyambut Ruby dan Nio, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa lapar.Nio membuka pintu geser dengan satu tangan, mempersilakan Ruby masu
Mentari pagi menyelinap hangat melalui jendela besar kamar, membasuh ruang itu dengan cahaya keemasan yang lembut. Di atas ranjang luas dengan selimut yang masih kusut oleh malam penuh kehangatan, Ruby mengerjapkan mata perlahan. Cahaya menyentuh wajahnya, dan ia menggeliat kecil, merenggangkan tubuh yang masih lelah. Saat itulah suara lembut terdengar, memecah keheningan dengan hangat.“Selamat pagi,” ucap Nio yang masih berada di sebelahnya.Ruby menoleh, tersenyum kecil. Matanya masih sayu tapi penuh kehangatan. “Selamat pagi,” balasnya lirih.Tanpa perlu berkata lebih banyak, mereka saling mendekat dan bertukar ciuman lembut di pagi hari. Ciuman itu bukan sekadar kebiasaan, melainkan tanda syukur bahwa mereka masih di sini, bersama.Nio membelai rambut Ruby sejenak sebelum perlahan turun dari ranjang. “Aku bersihkan diri dulu, lalu aku buatkan sarapan.”Ruby hanya mengangguk, masih menikmati kehangatan selimut
Nio menatap wajah istrinya yang sedang tertidur dengan penuh cinta. Nafas Ruby teratur, rambutnya sedikit berantakan, tetapi tetap terlihat cantik dalam balutan keheningan. Nio tersenyum tipis. Ada debar hangat di dadanya. Dia merasa sulit percaya bahwa semua ini nyata, bahwa wanita yang kini terlelap di sisinya adalah istrinya, bahwa semua perjuangan dan luka telah membawanya ke tempat ini. Tempat yang dipenuhi ketenangan dan cinta. Tatapan Nio begitu lembut, nyaris rapuh. Seolah-olah jika dia berkedip terlalu lama, semuanya akan menghilang dan kembali menjadi mimpi. Seakan-akan mendengar kegundahan dalam hati Nio, Ruby perlahan membuka matanya. Dia mendapati Nio masih terjaga, menatapnya tanpa berkedip. "Kenapa tidak tidur?" tanya Ruby dengan suara serak khas orang yang baru bangun. Nio menghela napas pelan, lalu menyentuh pipi Ruby. "Karena semua ini terasa seperti mimpi." Ruby tersenyum, matanya mengerjap lucu. Dia mendekat, lalu mengecup bibir Nio dengan lembut. "Masih sepert
Nio menoleh pelan, menatap wajah wanita yang selama ini selalu bersamanya melewati tekanan, luka, dan kebahagiaan yang tumbuh perlahan. Dalam diam, dia menyentuh pipi Ruby dengan lembut, membuat Ruby menoleh, mata mereka bertemu dalam tatapan yang jujur dan hangat. “Aku mencintaimu, Ruby,” bisik Nio, suara yang rendah, tetapi dalam. Ruby terdiam sejenak, seolah-olah kata-kata itu butuh beberapa detik untuk sampai ke dalam hatinya. Kemudian dia mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Aku juga mencintaimu, Nio ... sejak lama,” jawabnya, tulus tanpa ragu. Waktu seakan-akan berhenti saat keduanya hanya saling menatap. Tak ada lagi beban perusahaan, masa lalu, atau rasa takut yang menggantung di antara mereka. Yang tersisa hanya dua hati yang akhirnya saling terbuka sepenuhnya. Dengan gerakan lembut dan perlahan, Nio menarik wajah Ruby mendekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang hangat bukan ciuman yang terburu-buru atau penuh hasrat, tetapi ciuman yang dalam, tenan
Malam turun dengan perlahan, membawa serta kilau lampu-lampu kota yang mulai menyala di balik jendela kaca gedung utama Ashaki Group. Di ballroom besar yang kini telah disulap menjadi ruangan pesta mewah, musik lembut terdengar dari sudut ruangan, dimainkan oleh orkestra kecil yang berada di sisi kiri panggung. Meja-meja bundar dengan taplak satin putih berbaris rapi, dihiasi rangkaian bunga anggrek ungu dan putih yang dipadu dengan cahaya lilin-lilin kristal di tengahnya. Di tengah ruangan, lampu gantung mewah menggantung dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke seluruh penjuru ruangan seperti bintang-bintang yang menyinari malam. Nio berdiri di dekat panggung utama, mengenakan setelan hitam mewah dan elegan dengan dasi abu-abu gelap. Wajahnya tampak tenang, tetapi tatapan matanya menyapu ruangan dengan kewaspadaan alami. Malam ini bukan sekadar pesta, tetapi simbol keberhasilan, pembuktian, dan babak baru yang telah dia raih dengan darah dan luka. Di sampingnya, Ruby tampa