Share

Perjanjian

Author: ShaSheMie
last update Last Updated: 2025-07-02 22:33:02

Beberapa kantong belanja berjajar di lantai kamar Alana. Belum lagi di kasur dan meja rias. Alana bingung saat memasuki ruangan barunya ini.

"Ini semua dari Nyonya Ratri." Penjelasan singkat datang dari Ema sebelum Alana bertanya.

"Untuk apa semua ini, Ema?"

Ema berjalan mengitari barang-barang itu. "Ada baju tidur, parfum, perawatan wajah dan tubuh, ada juga beberapa buku bacaan. Semuanya untuk Nona." Mata Ema berbinar. Pasalnya semua produk ini dari merk brand terkenal.

"Ah, bukankah ini terlalu berlebihan?"

"Tentu tidak, karena Nyonya Ratri menganggap Nona spesial."

Alana tersenyum, bukan karena lucu tapi lebih ke menertawakan dirinya. Spesial dari mana? Saat ini Alana hanya sedang menjual diri.

"Apa ada yang Nona butuhkan lagi? Nona mau makan malam?"

Alana menggeleng cepat. Seharian melakukan pemeriksaan medis ini dan itu membuatnya kehilangan selera makan. Sejujurnya, gadis itu berdebar menunggu hasilnya keluar. Dia takut jika tidak sesuai dengan apa yang Ratri inginkan.

"Terima kasih, Ema. Kamu istirahat aja. Kalau lapar nanti aku bisa ambil sendiri di dapur."

"Nona bisa memanggil saya di saluran nomor dua. Kapanpun Nona butuh tinggal kring, meski tengah malam sekalipun."

Alana kembali tersenyum, meski berada di suatu hunian asing, kehadiran Ema dan Santi cukup menenangkannya.

"Makasih, tapi kayaknya aku mau langsung tidur aja."

***

"Semuanya bagus Alana." Satu kalimat itu mampu menyalurkan perasaan lega dihatinya.

Alana dan Ratri bertemu di rumah setelah dua hari menunggu keseluruhan hasil medical check up baik Alana maupun Tara.

"Besok kalian bisa melakukan pernikahan."

"Be-besok, Bu?"

Ratri mengangguk yakin. "Iya, besok. Bukankah lebih cepat lebih baik? Setelah pernikahan terjadi, separuh dari uang perjanjian akan aku kirim. Ayahmu bisa memulai pengobatannya."

"Tapi, apa Mas Tara nggak akan marah?"

Ratri mengemas berkas-berkas yang baru diterima dari rumah sakit lalu memasukkannya ke dalam sebuah tas kertas yang cukup besar.

"Itu biar jadi urusanku, yang harus kamu fokuskan adalah membuat Tara seranjang saat masa suburmu tiba."

Alana memejam, bagaimana caranya dia menggoda seorang pria agar mau tidur dengannya? Berdekatan saja dia belum pernah.

"Bu … maaf, tapi sejujurnya. Saya tidak pernah…." Alana menunduk. Ratri tau apa yang gadis itu maksud.

Ratri mendekat ke arah Alana, menyentuh pundaknya yang tegang. "Santai saja, Alana. Aku yakin semua akan berjalan mudah. Kamu cantik, tubuhmu juga proporsional, aku yakin Tara tetaplah pria normal yang bisa melakukannya meski tanpa perasaan."

Alana mengangguk, seolah setuju membiarkan tubuhnya dijadikan mangsa harimau tanpa perlawanan.

"Aku akan atur semuanya. Ema dan Santi akan membantumu."

***

Sementara di rumah Ratri sendiri, Tara sudah menunggu sang mama dengan perasaan kacau. Bagaimana tidak, Ratri tak mengatakan jika Tara harus menikahi Alana. Saat itu, Ratri hanya berkata jika Tara hanya harus mendapatkan keturunan melalui Alana, bukannya menikahi gadis yang tak dikenalnya itu.

"Ma, kenapa harus sampai menikah?"

Baru saja Ratri menapakkan kakinya di ruang tengah, Tara menyambutnya dengan emosi, disusul dengan Asyila yang mencoba menahan.

"Tentu saja, karena Mama nggak menerima cucu dari hasil perzinahan. Lagipula ini hanya sampai bayi itu lahir."

Tara mendengus. "Mama begitu yakin dia akan bisa segera hamil dan melengkapi serangkaian rencana sempurna Mama?" tanyanya sarkas.

"Well, namanya manusia. Tugasnya ya usaha, sisanya kita serahkan pada yang maha kuasa. Mama yakin, niat baik akan berjalan dengan baik."

Pria yang memiliki tinggi 182 centi itu berkali mengusap kasar rambutnya tanda frustrasi.

"Ma, pikirkan Asyila."

Ratri tersenyum, kemudian menatap Asyila–sang menantu dengan lembut. "Mama melakukan ini karena mama menyayangimu, menyayangi Asyila dan juga keluarga ini."

"Sayang, ini terbaik buat kita. Kamu percaya mama udah mengatur semuanya dengan sempurna 'kan?" Asyila, istri yang sudah lima tahun dinikahi Tara itu memeluk lengannya dengan hangat. Mengusap punggung berkali-kali agar sang suami tenang.

"Tapi, Asyila. Kamu …."

"Nggak, aku nggak kenapa-kenapa. Aku sangat paham situasinya. Aku sendiri nggak akan rela kalau semua yang udah mama dan kamu usahakan sejak dulu jatuh ke tangan orang yang nggak semestinya."

Tara mengerti. Ringgo sebentar lagi menikah, jika Ringgo memiliki keturunan lebih dulu ketimbang dirinya, maka sesuai keputusan keluarga besar, maka ahli waris akan jatuh ke tangan Ringgo tanpa debat.

"Ringgo itu anak tiri, kamu itu anak kandung papa. Kamu yang berhak memegang kuasa." Ratri lah yang paling tertekan disini. Dimana dahulu dia dikhianati sang suami dengan pernikahan diam-diam, lalu pulang memberi kabar jika dia sudah memiliki putra.

Bertahan dalam pernikahan hambar demi kesejahteraan hidup Tara, dan kini dengan mudahnya hanya karena faktor keturunan yang tak kunjung Tara dapatkan, Ratri harus kembali melihat dirinya terkhianati dengan berpindahnya seluruh nama aset kepada yang bukan keturunannya? Perempuan itu tak akan pernah rela.

"Kamu sehat, Tara. Aku yang sakit. Kita udah coba bayi tabung beberapa kali dan gagal 'kan? Tubuhku bahkan nggak mampu menghasilkan sel telur yang baik dan bisa bertahan sampai akhir proses. Resiko infeksi juga melemahkan kondisiku setelah pengambilan sel telur. Aku sadar kekuranganku juga ketidakmampuanku. Jadi, jika ini adalah caranya, aku akan baik-baik aja."

Sebenarnya, Ratri sangat menyayangi Asyila, tak menginginkan kejadian ini menimpa seperti padanya dulu. Akan tetapi, keadaan membuatnya harus memutuskan sesuatu yang besar.

"Selama kamu masih mencintaiku, aku akan baik-baik aja." Asyila kembali meyakinkan Tara. Meski sebenarnya hatinya pun tercabik-cabik tak karuan.

"Aku mencintaimu, sangat." Tara memeluk Asyila di depan Ratri. Seolah ingin menunjukkan kesetiaan yang tak pernah Ratri dapatkan seumur hidup. Tara bukan bajingan seperti sang ayah yang tega menduakan istrinya demi wanita lain yang lebih muda.

"Jadi, kalau kamu mencintaiku lakukan demi aku, demi mama, demi kita. Hmm, kamu juga bisa menolong gadis itu sekalian. Aku dengar, dia juga berjuang untuk ayahnya."

Tara terdiam, dibalik penolakan-penolakannya, ada beberapa hal yang baru dia sadari.

"Baiklah, aku akan melakukannya. Hanya karena aku harus, bukan karena alasan lain."

***

Alana menatap ponsel barunya di atas meja rias. Tadi pagi Santi memberikan benda mengkilap itu padanya. Berwarna ungu muda yang cantik.

Hidupnya berubah 180 derajat, kemarin dia harus susah payah bekerja hanya untuk bisa makan sebungkus nasi satu kali sehari. Kini bahkan tanpa menunggu lapar, makanan disajikan bertub-tubi. Makanan sehat dengan kualitas terbaik, disajikan hangat dan ditata apik menarik.

Belum lagi kabar terbaru jika operasi sang ayah akan segera dijadwalkan dan sedang menunggu perkembangan dari berbagai hasil tes laboratorium. Alana merasa bersyukur sekaligus tertekan. Bagaimanapun ada sebuah harga mahal yang harus dikorbankan untuk semua kenyamanan ini.

Layar pada ponsel baru itu berpendar. Ada sebuah panggilan masuk. Padahal ini adalah nomor baru.

"Alana Dea, itu namamu?"

Panggilan tadi datangnya dari Asyila. Dia meminta Alana menemuinya secara empat mata di sebuah kafe tak jauh dari Surya Land.

"I-iya, Bu. Saya Alana."

Asyila tersenyum tipis. Panggilan Bu itu terasa begitu aneh.

"Kamu pasti udah tau siapa aku."

Alana mengangguk, tatapannya tetap menunduk. Bagaimanapun bertemu dengan istri dari sang calon suami bukanlah hal yang patut untuk dirayakan.

"To the point. Aku percayakan semua ini padamu, masa depan pernikahanku, masa depan kehidupan keluarga suamiku. Aku sangat mencintainya. Kamu pasti tau itu. Jangan sesekali melewati batas!"

Asyila menyiratkan ketegasan dari tutur bahasanya yang selembut sutra.

"Nikmati apa yang bisa kamu nikmati saat ini, kecuali suamiku!"

Alana mengangguk lagi. Membayangkan wajah Tara saja sudah membuatnya bergidik. Bagaimana jika dia harus seranjang dengan pria dingin yang membencinya itu. Tentu saja itu bukan sebuah momen yang ingin Alana nikmati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Rahim Alana   Perebutan Kekuasaan

    “Hari ini aku mau ke rumah sakit, Santi.” Alana mematut dirinya pada cermin. Dress putih panjang dibawah lutut bermotif bunga kecil warna-warni itu membuatnya tampak berbeda. Alana yang dulu hanya dress well saat ada acara saja, sedang belakangan baju hariannya sudah seperti akan menghadiri pesta sederhana.“Apa perlu aku temani?”Alana menggeleng. Dia ingin menikmati kesendiriannya. Satu bulan terus menerus berada dirumah membuatnya jengah.“Aku udah kabarin Bu Ratri. Dia izinkan aku, tapi syaratnya jangan pulang sampai sore.”Santi tersenyum. Alana begitu lemah lembut, meski full fasilitas gadis itu tak semena-mena. Meski istimewa, tapi tak pernah mau merepotkan.Santi menyerahkan sebuah tas bekal ukuran sedang warna silver. “Ema sudah siapkan makan siang, cemilan, dan vitamin. Nikmati saat bersama ayahmu.”“Ah, kalian berlebihan. Aku hanya pergi sebentar.”“Ini titah Nyonya Ratri. Bagaimanapun kesehatan Nona nomor satu.” Santi mengerling disambut senyum simpul Alana.Dengan perasaa

  • Rahasia di Rahim Alana   Kecemburuan Asyila

    “Nona, Nona Alana harus makan.” Kali ini Ema berusaha membujuk.Alana sadar dirinya tak pantas merajuk, tapi rasa dalam dirinya masih begitu berantakan, dan kini hari sudah menjelang malam.“Ema, aku nggak tau apa aku bisa menelannya.”Ema tersenyum. “Ini adalah potato cheese bread hangat kesukaan nona. Aku tambahkan banyak keju di dalamnya.” Lantas menyodorkan sepiring tanggung kue yang dimaksud.“Aromanya enak,” gumam Alana. Aroma butter, keju dan susu yang menggoda.Sebenarnya dia lapar, entah apa yang membuat Alana malas makan. Tidak semua orang bisa cepat menerima perubahan bukan? Begitupun dengan Alana.“Dan ini susu cokelat hangat.”Akhirnya Alana beranjak, duduk perlahan di tepian ranjang. Bagian bawah tubuhnya masih terasa ngilu.“Aku mau susu cokelatnya dulu aja, Ema. Terima kasih banyak.”Ema mengangsur mug putih dari atas meja.Alana menerima lalu meneguknya perlahan. Hangatnya pas, jadi bisa meluncur nyaman di tenggorokan.“Tadi ada telepon dari Nyonya Ratri. Katanya dia

  • Rahasia di Rahim Alana   Hari Subur

    Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Alana duduk tegang di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas keras, hati serta pikirannya gagal membuat santai.Bunyi detik waktu menambah serunya permainan semesta. Alana menunggu Tara dengan tidak sabar. Bukan karena Alana menginginkannya. Gadis itu hanya penasaran, apakah sang suami siri benar-benar akan mendatanginya malam ini atau tidak.Tak lama, suara deru mobil membuatnya memejam kaku. Satu … dua … tiga ….Derap langkah cepat dan suara pintu dibuka dengan kasar sontak membuat Alana menoleh.Tara datang dalam keadaan kacau. Aroma alkohol menguar tajam, kemejanya tak serapi biasanya. Alana bimbang, bergerak mendekat untuk menyambut atau justru menjauh karena jujur dia sangat takut.Sorot tajam Tara menusuk mata Alana. Pintu kamar ditutup dengan sangat keras, lalu Tara mengancing serta melempar kuncinya ke sembarang arah.“Kamu nggak akan bisa melarikan diri. Kamu bilang aku bisa melakukan hal terburuk sekalipun kan? Jangan menyesal

  • Rahasia di Rahim Alana   Tiba-Tiba Menikah

    Ijab kabul dilaksanakan dengan sangat privat, hanya ada saudara sang ayah yang mewakili Alana sebagai wali, Ratri, Tara dan Penghulu.Pernikahan mereka sah secara agama. Tidak ada sesi foto bersama atau hal-hal yang membahagiakan di momen ini. Hening dan singkat. Bahkan, sang paman tidak diperbolehkan banyak berbincang dengan Alana.Gadis itu kembali ke kamarnya segera setelah ijab kabul selesai. Seperti sebuah permainan gelap yang hanya membutuhkan sedikit formalitas saja agar semua tetap berjalan dengan semestinya.Meski hanya sebuah pengukuhan ikatan semu, tapi hari ini Alana tetap dirias menawan meski sederhana. Alana mematut diri di cermin besar pojok kamar. Baju kurung putih dipadukan dengan bawahan songket warna abu-abu tua membuatnya berbeda. Anggun dan cantik. Sayangnya, sama sekali tidak ada yang peduli akan hal itu saat ini. Alana hanyalah alat untuk mewujudkan impian seorang kaya yang ingin tetap kaya.Tanpa sadar Alana tersenyum pada kaca. Senyum pahit yang entah bermak

  • Rahasia di Rahim Alana   Perjanjian

    Beberapa kantong belanja berjajar di lantai kamar Alana. Belum lagi di kasur dan meja rias. Alana bingung saat memasuki ruangan barunya ini."Ini semua dari Nyonya Ratri." Penjelasan singkat datang dari Ema sebelum Alana bertanya."Untuk apa semua ini, Ema?"Ema berjalan mengitari barang-barang itu. "Ada baju tidur, parfum, perawatan wajah dan tubuh, ada juga beberapa buku bacaan. Semuanya untuk Nona." Mata Ema berbinar. Pasalnya semua produk ini dari merk brand terkenal."Ah, bukankah ini terlalu berlebihan?""Tentu tidak, karena Nyonya Ratri menganggap Nona spesial."Alana tersenyum, bukan karena lucu tapi lebih ke menertawakan dirinya. Spesial dari mana? Saat ini Alana hanya sedang menjual diri."Apa ada yang Nona butuhkan lagi? Nona mau makan malam?"Alana menggeleng cepat. Seharian melakukan pemeriksaan medis ini dan itu membuatnya kehilangan selera makan. Sejujurnya, gadis itu berdebar menunggu hasilnya keluar. Dia takut jika tidak sesuai dengan apa yang Ratri inginkan."Terima

  • Rahasia di Rahim Alana   Disewakan, Segera!

    "Jangan berharap lebih! Pernikahan ini akan berakhir tepat di hari kamu melahirkan! Tidak lewat satu menit pun!"Alana bungkam, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau dia harus setuju."Tandatangani ini dan segera pindah ke rumah yang sudah disiapkan."Sekali lagi, tidak ada penolakan dari gadis berambut ikal yang hidupnya serasa berada di ujung tanduk itu."Ingat Alana, bersikaplah profesional." Seorang wanita paruh baya yang Alana kenal bernama Ratri itu pergi begitu saja membawa berkas yang sekaligus harapan baginya.Mata kering nan panas itu memejam sesaat. Entah benar atau salah keputusan yang diambil, tapi demi operasi sang ayah, Alana harus melakukan perjuangan hingga titik darah penghabisan."Aku yakin ini yang terbaik. Tuhan beri cobaan sepaket dengan jalan keluar. Aku percaya ini salah satu petunjuk untuk bisa keluar dari masalah ini." Sekali lagi Alana meyakinkan dirinya.Tak lama, sebuah panggilan telepon memecah heningnya lorong rumah sakit. "Alana, kemasi barang penting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status