Share

03. Mulai merasa aneh

"Who is that girl I see ... staring straight back at me ...."

"Why is my reflection someone I don't know ...."

"Must I pretend that I am ... someone else for all time ...."

"When will my reflection show ... who I am inside ...."

Tanpa diduga ternyata gadis itu bernyanyi lagi. Ayers yang masih mengeringkan rambutnya menggunakan handuk seusai mandi, berlari cepat menuju jendela saat mendengar suara khas bernyanyi dari gadis di sebelah rumah. Ayers ingin menyapanya. Namun, ketika membuka jendela yang terlihat hanya sedikit dari sosok gadis itu. Pun rasanya tidak sopan jika menyapa melalui jendela seperti ini.

Alhasil, Ayers melempar handuknya ke sembarang tempat dan buru-buru keluar. Sampai di luar, Ayers berdiri tepat di depan jendela kamar gadis itu. Kepalanya mendongak. Senyumnya mengembang saat dirinya berhasil melihat wajah dari gadis itu sepenuhnya. Ayers terpesona memandangnya. Gadis itu benar-benar sangat cantik, matanya terpejam saat bernyanyi, rambut hitam lurusnya beterbangan karena tiupan angin.

"When will my reflection show ... who I am inside ...."

Nyanyiannya selesai. Ayers bertepuk tangan dengan penuh semangat sampai membuat gadis itu terkejut.

"Bonjour ...." Ayers tersenyum lebar setelahnya, tangan kanannya melambai pada sang gadis.

Namun, sekali lagi Ayers diabaikan. Jangankan membalas sapaan ramah Ayers, melihatnya saja pun gadis itu enggan. Seolah menganggap bahwa Ayers tidak ada. Hal tersebut tentu membuat pria itu kesal. Senyumnya hilang seketika. "Kau ini sebenarnya kenapa? Apa sesulit itu untukmu membalas sapaanku?"

Hening.

Gadis itu menunduk. Rambutnya yang tergerai berjatuhan ke bawah—cukup menyeramkan. Dan di detik berikutnya gadis itu menutup jendela kamarnya tanpa mengatakan apa pun.

Mata dan bibir Ayers kompak melebar. "Seriously?!"

"Ayers?" Perhatian Ayers beralih pada pintu rumah Isabelle yang terbuka. Isabelle berdiri di ambangnya sembari mengerutkan dahi. "Kau sedang apa di situ?"

Senyum lebar Ayers kembali merekah begitu bertemu pandang dengan Isabelle. "Mm ... aku hanya ingin menikmati suasana pedesaan di malam hari ...." dalih Ayers, terkekeh canggung. "Kau sendiri sedang apa malam-malam begini keluar?" tanyanya kemudian.

"Aku mau mengambil pesanan di toko roti."

"Kebetulan aku juga ingin beli roti. Bagaimana kalau kita pergi bersama?" Tanpa ragu ajakan Ayers langsung disetujui Isabelle. "Ya sudah, aku akan mengambil jaket sebentar. Kau tunggu di sini, ya. Tidak sampai lima menit. Mengerti?" Ayers bergegas masuk ke rumahnya begitu Isabelle memberikan anggukan.

***

Setelah selesai mengambil pesanan roti Isabelle dan beli beberapa roti untuk Ayers. Keduanya pun langsung pulang. Berjalan beriringan sembari Isabelle bercerita tentang desanya.

Ayers menawari Isabelle singgah ke restoran untuk makan, namun gadis cantik itu menolak dengan alasan Ayah dan Ibunya melarangnya pulang terlalu larut—gadis di desa memang sangat berbeda.

Ayers mengakui jika Isabelle begitu cantik untuk ukuran gadis desa. Isabelle layaknya gambaran seorang Putri Bangsawan. Kulitnya putih dan mulus, rambut cokelatnya bergelombang. Serta sopan dan anggun.

Tapi anehnya, ia lebih tertarik pada gadis pucat bersuara merdu itu—yang kemungkinan Adik atau Kakak dari Isabelle. Seperti ada perasaan tersendiri untuknya. Kalau saja wajahnya tidak sepucat mayat, Ayers yakin kecantikannya akan mengalahkan Isabelle.

"Ayers, terima kasih sudah mau menemaniku," ucap Isabelle ketika mereka baru saja tiba di rumah gadis itu.

"No prob. Kau bisa memanggilku kalau butuh ditemani lagi ...." Ayers tersenyum lebar, hingga menampilkan deretan gigi putihnya. Kemudian pria itu menghela napas panjang bersama lengkungan di bibirnya yang berangsur menghilang. "Sudah sampai saja. Padahal aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi." Ayers menipiskan bibir, tampak kecewa.

Dasar perayu.

Isabelle menunduk guna menyembunyikan rona wajahnya. "Kau mau mampir dulu?"

Ayers menggeleng. "Sudah malam, aku langsung pulang saja."

"Ya sudah."

"Sana masuk." Ayers menepuk pelan lengan Isabelle. Gadis itu mengangguk sebelum masuk ke dalam. Ayers mundur perlahan, lalu melarikan matanya pada jendela kamar di sebelah rumahnya. Menghela napas kemudian masuk ke rumah.

Setelah menyimpan semua rotinya di dapur, Ayers masuk ke kamar. Ia menatap tembok pemisah antara kamarnya dan kamar gadis bersuara merdu itu. Tangannya melipat di dada, keningnya mengernyit samar—memikirkan apa yang sedang gadis itu lakukan saat ini.

Ayers mendekat ke tembok. "Halo, Nona. Kau bisa mendengarku?" Ia menempelkan telingannya ke tembok, bersiap menerima sahutan dari si gadis—jika memang mendengarnya. Tapi hanya ada keheningan.

Pria itu menjauh dari sana. "Dia dengar tidak ya?" Ayers mengetuk tembok batu itu. Memperkirakan apakah suaranya bisa menembus sampai ke seberang. Menghela napas, Ayers memilih membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Yang membuat Ayers bingung, kenapa gadis itu selalu menghindarinya. Awalnya Ayers mengira kalau gadis itu malu. Namun, setelah melihat reaksinya tadi, Ayers jadi yakin jika gadis itu memang tidak ingin berinteraksi dengannya. Tapi kenapa?

Kalaupun merasa terganggu harusnya gadis itu memakinya, atau paling tidak menatapnya sinis. Bukan malah menganggap seolah dirinya tidak ada. Apalagi wajah datarnya yang tidak bisa ditebak. Membuat Ayers semakin dilanda penasaran.

"Dia bukan robot, kan?" Ayers mendecih tawa, "konyol. Ini Mittelbergheim, bukan Jepang atau China." Sebelum kemudian mencari posisi nyaman untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status