Share

BAB 6

-Pindah 

Mas Azka sudah lebih baik sekarang, dia sudah bisa bangun dan akan berangkat bekerja. Aku menyiapkan sarapan untuk Mas Azka, membuatkannya kopi dan memasukkannya ke dalam termos kecil untuk dibawanya ke kantor nanti.

Mas Azka memang pecinta kopi, dia memintaku untuk membuatkan kopi agar bisa diminumnya saat di kantor, padahal ada kantin disana, tapi katanya rasanya tetap tak sama apabila bukan aku yang membuatnya. 

"Mas berangkat dulu ya sayang," ucap Mas Azka, ia mengambil kunci motor dan segera keluar rumah. Ku ikuti ia dari belakang, tak lupa ku cium punggung tangannya, dan mendoakan setiap langkahnya. 

Semoga ia selalu di lindungi Allah,dan semoga Allah bukakan pintu rezeki seluas-luasnya untuknya.

Aku menunggunya sampai tak terlihat lagi oleh pandanganku, setelah itu aku kembali ke dapur. Seperti biasa aku akan mengerjakan pekerjaan rumah, tapi kali ini ada sedikit enggan saat akan mengerjakannya. Terlebih saat aku melihat ditumpukan pakaian kotor ada pakaian Kak Lastri, suaminya dan juga pakaian Ayu. 

Aku mendekati keranjang cucian, lalu memilih pakaianku dan pakaian Mas Azka. Lalu memilih pakain Ibu. Aku masih akan berbaik hati pada Mertuaku ini, anggaplah baktiku sebagai menantunya. Walaupun pada akhirnya apapun yang aku dan suamiku lakukan tetap tak berarti apa-apa untuknya.

"Kenapa di pisah-pisah gitu cuciannya?" tanya Ibu, seperti biasa Ibu akan mengambil apel dan mulai mengupas dan mengirisnya. 

"Ya, dipilih lah Bu. Ini kan kecampur semua disini. Pakaian Ayra dan Mas Azka posisinya udah paling bawah karena tertumpuk dengan cucian lain." Aku menjawab dengan enteng, tak ingin memulai masalah. 

"Biasa juga kamu cuci semuanya," sahut Ibu, kembali dengan ocehannya yang panjang lebar, sambil terus mengupas buahnya. 

"Biasanya Khilaf," jawabku asal, sambil mulai memasukkan pakaianku ke dalam mesin cuci. 

"Maksud kamu apa Khilaf? Jadi selama ini kamu gak ikhlas nyuci pakaian kami," tanya Kak Lastri, ia kembali membuat onar, padahal sedari tadi aku sudah menghindari masalah yang membuat darahku naik.

"Ya emang Ayra khilaf, kalian kan punya tangan lengkap kenapa juga Ayra yang harus nyuci semua ini," jawabku kesal, aku mengarahkan dagu pada tumpukan cucian Kak Lastri dan Ayu. 

"Kamu makin hari makin kurang ajar ya Ra! Nggak bisa emang kamu dikasih hati," ucap Ayu dengan lantang, kini ia maju mendekatiku, tapi ku tatap ia dengan tatapan menantang. Tak sedikitpun aku takut padanya. 

"Emang selama ini kalian pernah kasih aku hati?" Aku terkekeh melihat mereka satu persatu. Sudah cukup rasanya aku selama ini mengalah pada mereka, sudah saatnya aku melawan, tak ingin terus-terusan di perbudak oleh mereka. 

"Kalau orang yang nggak pernah kena didikan baik dari orang tuanya ya gini nih! Nggak akan pernah tau diri dan terima kasih." Lagi-lagi kata-kata ibu menusuk hatiku. Tapi tak ku biarkan air mataku jatuh untuk kali ini. 

"Alhamdulillah, selama ini Mama papa Ayra selalu mengajarkan sopan santun sama Ayra. Tapi mereka juga ngajarin Ayra untuk melawan jika memang Ayra benar dan diperlakukan seenaknya," jawabku tenang, sembari tersenyum pada ibu, lalu meninggalkan mereka yang saat ini sedang bersahutan menghinaku. 

"Neng Ayra mau beli apa?" Mang Usuf menyapaku dengan sangat ramah, disusul oleh beberapa tetangga yang sekarang sudah mulai berdatangan. 

"Mau kangkung dua ikat, sama Ayamnya satu ekor, Mang" jawabku tak kalah ramah, aku mengelilingi gerobak untuk melihat sayur lain, saat Bu Rama tetangga sebelah rumah mulai menyapaku.

"Rumahnya belum kelar Neng? kok Neng Ayra tahan tinggal sama mereka yang tiap hari selalu teriak, persis kaya ada toa masjid disana," ucap Bu Sandra menyindir keluarga suamiku yang memang terkenal sangat buruk sikapnya di lingkungan ini. 

"Belum Bu, ngebangunnya kan pelan-pelan aja," jawabku halus sembari melempar tersenyum menanggapi pertanyaan Bu Sandra.

"Bukan ngebangun pelan-pelan, tapi dasarnya mereka aja yang keenakan numpang tinggal sama kami, tinggal makan tidur doang!"  Kak Lastri dan Ayu yang tak pernah berbelanja sayur, kini mereka keluar berbarengan hanya untuk menyebarkan fitnah tentang aku dan Mas Azka. Kembali aku beristighfar dalam hati, tak ingin sampai masalah dalam rumah menjadi berita sepenjuru komplek, masih ku hargai Ibu sebagai Mertuaku di rumah itu. 

"Eh Neng Lastri sama Neng Ayu tumben belanja tempat Amang," sapa Mang Usuf dengan candaan, seolah mengejek mereka. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ingin rasanya aku tertawa, tapi tak ku lakukan karena hanya akan menambah masalah saja. 

"Bu Ibu jangan ketipu sama tampang polosnya! Dia ini orangnya songong, suka cari perhatian dan parahnya lagi perhitungan banget." Ibu-ibu yang lain ada sebagian yang menatap ke arahku, namun ada pula yang mengacuhkan mereka karena sebagian dari mereka lebih mengenalku dibandingkan keluarga Mas Azka. Aku adalah anggota Majelis Taklim di Komplek ini, kami mengadakan Maulid Habsyi setiap minggu dan aku salah satu anggota aktif yang selalu hadir di setiap ada acara. Makanya aku dikenal baik oleh mereka.

"Masa sih Neng? Setau saya Neng Ayra sangat baik loh. Suka gotong royong juga bantu-bantu kalau ada kegiatan di sini." Bu Rama membelaku. Aku memang sudah sangat dekat dengan Bu Rama, dia sangat bijak dan sudah kuanggap seperti orang tuaku, kadang jika sudah menumpuk beban di dada, aku akan segera bercerita padanya, Bu Rama adalah salah satu orang yang sangat amanah dalam menyimpan rahasia apapun itu. Maka tak jarang banyak yang berkeluh kesah padanya, termasuk aku. 

"Bu Rama aja yang gak tau, dia itu …."

"Ayra gak butuh penilaian manusia, karena penilaian manusia itu gak ada habisnya, yang baik bisa jadi buruk begitu pula sebaliknya. Cukup Allah aja yang maha tahu segalanya." Aku memotong kata-kata Ayu, kemudian menatap mereka dengan sangat kecewa, kenapa mereka bahkan memfitnahku di depan para tetangga yang tak tau apa-apa tentang masalah di rumah kami. 

Aku berlalu meninggalkan mereka setelah membayar belanjaan dan berpamitan pada Mang Usuf dan Ibu-ibu komplek lain yang masih sibuk bercerita. Kak Lastri dan Ayu masih sibuk membuka kisah tentangku, namun ada beberapa Ibu-ibu yang juga ikut meninggalkan mereka. 

"Assalamualaikum," ucapku pelan, kemudian masuk ke dalam dan menuju dapur, ku masukkan semua bahan makanan yang baru saja ku beli dari Mang Usuf ke dalam kulkas, sangat tak berselera aku memasak bahkan menyentuhnya saja enggan. Tiba-tiba aku merasa kehilangan kewajiban atas keluarga ini, untuk apa aku membuat tubuhku lelah hanya untuk melayani orang-orang tak tau terima kasih seperti mereka. 

Aku melangkahkan kaki menuju kamar, segera kututup dan ku kunci pintu kamarku. Lalu aku berbaring dan beristirahat. 

"AYRA !!!" suara teriakan di luar kamar membuatku sangat terkejut, aku melihat jam, ternyata sudah pukul tiga sore. Aku segera bangun dan membuka pintu kamar. Terlihat tiga algojo yang siap memenggal kepalaku, dengan mata yang membesar, kulit wajah yang memerah, itu saja sudah sangat cukup menandakan bahwa mereka sangat marah padaku saat ini. 

"Allahu akbar, kenapa sih manggil Ayra harus teriak-teriak kayak pemadam kebakaran pengen ngosongin jalan tau gak," sahutku pelan sembari terus mengucek kedua mataku, masih sangat terasa panas dan mengantuk rasanya, namun aku harus menghadapi tiga orang penyihir di depanku ini. 

"Kenapa kamu nggak masak makan siang HAH? malah enak banget tidur pake acara ngunci kamar lagi, berasa jadi tuan rumah kamu sekarang?" Ibu mulai berteriak dengan kencangnya. Untung saja pintu rumah kami sedang tertutup rapat, jika tidak para tetangga kepo akan berpura-pura duduk di halaman depan rumah Bu Sandra untuk menyaksikan pertunjukan yang sangat membosankan tapi seru bagi mereka. 

"Lah, Ayra kira Kak Lastri dan Ayu tadi belanja buat masak. Makanya Ayra gak masak buat makan siang," jawabku santai, sengaja aku bertingkah polos, agar mereka semakin kesal padaku. 

"Aku mau belanja atau nggak, tugas kamu tuh tetap harus masak dan beres-beres rumah ini," jawab Kak Lastri mulai menceramahiku. 

"Kalau Ayra nggak mau emang kenapa?" tantangku seraya menatapnya dengan santai. 

"Kalau kamu nggak mau, keluar dari rumah ini sekarang juga" ucap Ayu marah, lagi-lagi mereka mengusirku. Karena merasa lelah aku mengambil HP ku lalu menelepon Mas Azka. 

"Mas, mereka ngusir kita lagi. Ayra beres-beres sekarang ya! Kita pindah hari ini juga," ucapku enteng, terdengar Mas Azka yang mengiyakan permintaanku, membuat ketiga peri jahat membelalakkan mata mereka. 

"Oke, kami pindah hari ini," jawabku tegas, segera aku masuk ke kamar,menarik koper yang berada di atas lemari dan mulai mengemas barang-barangku. 

"Semua furniture di rumah ini tak ada satupun yang boleh kamu bawa," ucap Kak Lastri, mereka mengawasi aku yang sedang berkemas. Lucu rasanya, semua barang di kamar ini milikku, tapi tak boleh aku membawanya. 

"Dasar serakah," Batinku.

Tak ingin panjang kali lebar, aku segera menyelesaikan membereskan barang-barang yang akan ku bawa. 

Mas Azka menelponku dan mengatakan tak bisa pulang cepat karena saat ini ada rapat yang sangat penting dan harus dihadirinya. Dia menyuruhku untuk menunggu sampai dia pulang, namun aku sudah tak tahan berlama-lama berdiam diri di rumah ini. Aku menelpon taksi dan mengangkat tiga buah koper berukuran besar secara bergantian ke depan rumah sembari menunggu taksi datang. Mereka hanya menontoniku tanpa berusaha membantu sedikitpun.

"Hidup kalian nggak bakal tenang tinggal jauh dari kami, ingat aja kata-kata Saya." Ibu mulai kembali menyumpahi aku dan Mas Azka, aku tak menghiraukannya dan memilih untuk mengirim W* pada Mas Azka.

[Ayra naik taksi aja langsung ke rumah kita Mas. Semua barang sudah Ayra kemasi dan langsung bawa, jadi Mas langsung pulang ke rumah kita aja nanti ya]

Tak lama setelah aku menyimpan Hp Ku ke dalam tas, taksi yang ku pesan datang. Pak supir membantu membawakan koperku, aku berpamitan pada Ibu, Kak Lastri dan Ayu, tapi mereka malah membanting pintu dengan sangat kasar. 

Tak ingin ambil pusing, aku langsung masuk ke dalam taksi dan memberikan alamat ke Pak Supir. Kami pun perlahan meninggalkan rumah Mertuaku, rumah yang menyisakan begitu banyak luka di dalam hati. 

"Bismillah, semoga semuanya membaik di rumah dan lingkungan yang baru," do'aku dalam hati. 

Kubuka sedikit jendela taksi yang kutumpangi, kutatap lalu lalang mobil yang lumayan padat dengan pikiran dan harapan yang sedang melayang-layang entah kemana.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status