-Pindah
Mas Azka sudah lebih baik sekarang, dia sudah bisa bangun dan akan berangkat bekerja. Aku menyiapkan sarapan untuk Mas Azka, membuatkannya kopi dan memasukkannya ke dalam termos kecil untuk dibawanya ke kantor nanti.Mas Azka memang pecinta kopi, dia memintaku untuk membuatkan kopi agar bisa diminumnya saat di kantor, padahal ada kantin disana, tapi katanya rasanya tetap tak sama apabila bukan aku yang membuatnya. "Mas berangkat dulu ya sayang," ucap Mas Azka, ia mengambil kunci motor dan segera keluar rumah. Ku ikuti ia dari belakang, tak lupa ku cium punggung tangannya, dan mendoakan setiap langkahnya. Semoga ia selalu di lindungi Allah,dan semoga Allah bukakan pintu rezeki seluas-luasnya untuknya.Aku menunggunya sampai tak terlihat lagi oleh pandanganku, setelah itu aku kembali ke dapur. Seperti biasa aku akan mengerjakan pekerjaan rumah, tapi kali ini ada sedikit enggan saat akan mengerjakannya. Terlebih saat aku melihat ditumpukan pakaian kotor ada pakaian Kak Lastri, suaminya dan juga pakaian Ayu. Aku mendekati keranjang cucian, lalu memilih pakaianku dan pakaian Mas Azka. Lalu memilih pakain Ibu. Aku masih akan berbaik hati pada Mertuaku ini, anggaplah baktiku sebagai menantunya. Walaupun pada akhirnya apapun yang aku dan suamiku lakukan tetap tak berarti apa-apa untuknya."Kenapa di pisah-pisah gitu cuciannya?" tanya Ibu, seperti biasa Ibu akan mengambil apel dan mulai mengupas dan mengirisnya. "Ya, dipilih lah Bu. Ini kan kecampur semua disini. Pakaian Ayra dan Mas Azka posisinya udah paling bawah karena tertumpuk dengan cucian lain." Aku menjawab dengan enteng, tak ingin memulai masalah. "Biasa juga kamu cuci semuanya," sahut Ibu, kembali dengan ocehannya yang panjang lebar, sambil terus mengupas buahnya. "Biasanya Khilaf," jawabku asal, sambil mulai memasukkan pakaianku ke dalam mesin cuci. "Maksud kamu apa Khilaf? Jadi selama ini kamu gak ikhlas nyuci pakaian kami," tanya Kak Lastri, ia kembali membuat onar, padahal sedari tadi aku sudah menghindari masalah yang membuat darahku naik."Ya emang Ayra khilaf, kalian kan punya tangan lengkap kenapa juga Ayra yang harus nyuci semua ini," jawabku kesal, aku mengarahkan dagu pada tumpukan cucian Kak Lastri dan Ayu. "Kamu makin hari makin kurang ajar ya Ra! Nggak bisa emang kamu dikasih hati," ucap Ayu dengan lantang, kini ia maju mendekatiku, tapi ku tatap ia dengan tatapan menantang. Tak sedikitpun aku takut padanya. "Emang selama ini kalian pernah kasih aku hati?" Aku terkekeh melihat mereka satu persatu. Sudah cukup rasanya aku selama ini mengalah pada mereka, sudah saatnya aku melawan, tak ingin terus-terusan di perbudak oleh mereka. "Kalau orang yang nggak pernah kena didikan baik dari orang tuanya ya gini nih! Nggak akan pernah tau diri dan terima kasih." Lagi-lagi kata-kata ibu menusuk hatiku. Tapi tak ku biarkan air mataku jatuh untuk kali ini. "Alhamdulillah, selama ini Mama papa Ayra selalu mengajarkan sopan santun sama Ayra. Tapi mereka juga ngajarin Ayra untuk melawan jika memang Ayra benar dan diperlakukan seenaknya," jawabku tenang, sembari tersenyum pada ibu, lalu meninggalkan mereka yang saat ini sedang bersahutan menghinaku. "Neng Ayra mau beli apa?" Mang Usuf menyapaku dengan sangat ramah, disusul oleh beberapa tetangga yang sekarang sudah mulai berdatangan. "Mau kangkung dua ikat, sama Ayamnya satu ekor, Mang" jawabku tak kalah ramah, aku mengelilingi gerobak untuk melihat sayur lain, saat Bu Rama tetangga sebelah rumah mulai menyapaku."Rumahnya belum kelar Neng? kok Neng Ayra tahan tinggal sama mereka yang tiap hari selalu teriak, persis kaya ada toa masjid disana," ucap Bu Sandra menyindir keluarga suamiku yang memang terkenal sangat buruk sikapnya di lingkungan ini. "Belum Bu, ngebangunnya kan pelan-pelan aja," jawabku halus sembari melempar tersenyum menanggapi pertanyaan Bu Sandra."Bukan ngebangun pelan-pelan, tapi dasarnya mereka aja yang keenakan numpang tinggal sama kami, tinggal makan tidur doang!" Kak Lastri dan Ayu yang tak pernah berbelanja sayur, kini mereka keluar berbarengan hanya untuk menyebarkan fitnah tentang aku dan Mas Azka. Kembali aku beristighfar dalam hati, tak ingin sampai masalah dalam rumah menjadi berita sepenjuru komplek, masih ku hargai Ibu sebagai Mertuaku di rumah itu. "Eh Neng Lastri sama Neng Ayu tumben belanja tempat Amang," sapa Mang Usuf dengan candaan, seolah mengejek mereka. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ingin rasanya aku tertawa, tapi tak ku lakukan karena hanya akan menambah masalah saja. "Bu Ibu jangan ketipu sama tampang polosnya! Dia ini orangnya songong, suka cari perhatian dan parahnya lagi perhitungan banget." Ibu-ibu yang lain ada sebagian yang menatap ke arahku, namun ada pula yang mengacuhkan mereka karena sebagian dari mereka lebih mengenalku dibandingkan keluarga Mas Azka. Aku adalah anggota Majelis Taklim di Komplek ini, kami mengadakan Maulid Habsyi setiap minggu dan aku salah satu anggota aktif yang selalu hadir di setiap ada acara. Makanya aku dikenal baik oleh mereka."Masa sih Neng? Setau saya Neng Ayra sangat baik loh. Suka gotong royong juga bantu-bantu kalau ada kegiatan di sini." Bu Rama membelaku. Aku memang sudah sangat dekat dengan Bu Rama, dia sangat bijak dan sudah kuanggap seperti orang tuaku, kadang jika sudah menumpuk beban di dada, aku akan segera bercerita padanya, Bu Rama adalah salah satu orang yang sangat amanah dalam menyimpan rahasia apapun itu. Maka tak jarang banyak yang berkeluh kesah padanya, termasuk aku. "Bu Rama aja yang gak tau, dia itu ….""Ayra gak butuh penilaian manusia, karena penilaian manusia itu gak ada habisnya, yang baik bisa jadi buruk begitu pula sebaliknya. Cukup Allah aja yang maha tahu segalanya." Aku memotong kata-kata Ayu, kemudian menatap mereka dengan sangat kecewa, kenapa mereka bahkan memfitnahku di depan para tetangga yang tak tau apa-apa tentang masalah di rumah kami. Aku berlalu meninggalkan mereka setelah membayar belanjaan dan berpamitan pada Mang Usuf dan Ibu-ibu komplek lain yang masih sibuk bercerita. Kak Lastri dan Ayu masih sibuk membuka kisah tentangku, namun ada beberapa Ibu-ibu yang juga ikut meninggalkan mereka. "Assalamualaikum," ucapku pelan, kemudian masuk ke dalam dan menuju dapur, ku masukkan semua bahan makanan yang baru saja ku beli dari Mang Usuf ke dalam kulkas, sangat tak berselera aku memasak bahkan menyentuhnya saja enggan. Tiba-tiba aku merasa kehilangan kewajiban atas keluarga ini, untuk apa aku membuat tubuhku lelah hanya untuk melayani orang-orang tak tau terima kasih seperti mereka. Aku melangkahkan kaki menuju kamar, segera kututup dan ku kunci pintu kamarku. Lalu aku berbaring dan beristirahat. "AYRA !!!" suara teriakan di luar kamar membuatku sangat terkejut, aku melihat jam, ternyata sudah pukul tiga sore. Aku segera bangun dan membuka pintu kamar. Terlihat tiga algojo yang siap memenggal kepalaku, dengan mata yang membesar, kulit wajah yang memerah, itu saja sudah sangat cukup menandakan bahwa mereka sangat marah padaku saat ini. "Allahu akbar, kenapa sih manggil Ayra harus teriak-teriak kayak pemadam kebakaran pengen ngosongin jalan tau gak," sahutku pelan sembari terus mengucek kedua mataku, masih sangat terasa panas dan mengantuk rasanya, namun aku harus menghadapi tiga orang penyihir di depanku ini. "Kenapa kamu nggak masak makan siang HAH? malah enak banget tidur pake acara ngunci kamar lagi, berasa jadi tuan rumah kamu sekarang?" Ibu mulai berteriak dengan kencangnya. Untung saja pintu rumah kami sedang tertutup rapat, jika tidak para tetangga kepo akan berpura-pura duduk di halaman depan rumah Bu Sandra untuk menyaksikan pertunjukan yang sangat membosankan tapi seru bagi mereka. "Lah, Ayra kira Kak Lastri dan Ayu tadi belanja buat masak. Makanya Ayra gak masak buat makan siang," jawabku santai, sengaja aku bertingkah polos, agar mereka semakin kesal padaku. "Aku mau belanja atau nggak, tugas kamu tuh tetap harus masak dan beres-beres rumah ini," jawab Kak Lastri mulai menceramahiku. "Kalau Ayra nggak mau emang kenapa?" tantangku seraya menatapnya dengan santai. "Kalau kamu nggak mau, keluar dari rumah ini sekarang juga" ucap Ayu marah, lagi-lagi mereka mengusirku. Karena merasa lelah aku mengambil HP ku lalu menelepon Mas Azka. "Mas, mereka ngusir kita lagi. Ayra beres-beres sekarang ya! Kita pindah hari ini juga," ucapku enteng, terdengar Mas Azka yang mengiyakan permintaanku, membuat ketiga peri jahat membelalakkan mata mereka. "Oke, kami pindah hari ini," jawabku tegas, segera aku masuk ke kamar,menarik koper yang berada di atas lemari dan mulai mengemas barang-barangku. "Semua furniture di rumah ini tak ada satupun yang boleh kamu bawa," ucap Kak Lastri, mereka mengawasi aku yang sedang berkemas. Lucu rasanya, semua barang di kamar ini milikku, tapi tak boleh aku membawanya. "Dasar serakah," Batinku.Tak ingin panjang kali lebar, aku segera menyelesaikan membereskan barang-barang yang akan ku bawa. Mas Azka menelponku dan mengatakan tak bisa pulang cepat karena saat ini ada rapat yang sangat penting dan harus dihadirinya. Dia menyuruhku untuk menunggu sampai dia pulang, namun aku sudah tak tahan berlama-lama berdiam diri di rumah ini. Aku menelpon taksi dan mengangkat tiga buah koper berukuran besar secara bergantian ke depan rumah sembari menunggu taksi datang. Mereka hanya menontoniku tanpa berusaha membantu sedikitpun."Hidup kalian nggak bakal tenang tinggal jauh dari kami, ingat aja kata-kata Saya." Ibu mulai kembali menyumpahi aku dan Mas Azka, aku tak menghiraukannya dan memilih untuk mengirim W* pada Mas Azka.[Ayra naik taksi aja langsung ke rumah kita Mas. Semua barang sudah Ayra kemasi dan langsung bawa, jadi Mas langsung pulang ke rumah kita aja nanti ya]Tak lama setelah aku menyimpan Hp Ku ke dalam tas, taksi yang ku pesan datang. Pak supir membantu membawakan koperku, aku berpamitan pada Ibu, Kak Lastri dan Ayu, tapi mereka malah membanting pintu dengan sangat kasar. Tak ingin ambil pusing, aku langsung masuk ke dalam taksi dan memberikan alamat ke Pak Supir. Kami pun perlahan meninggalkan rumah Mertuaku, rumah yang menyisakan begitu banyak luka di dalam hati. "Bismillah, semoga semuanya membaik di rumah dan lingkungan yang baru," do'aku dalam hati. Kubuka sedikit jendela taksi yang kutumpangi, kutatap lalu lalang mobil yang lumayan padat dengan pikiran dan harapan yang sedang melayang-layang entah kemana.“Apa aku nggak salah liat?” tanya Lastri, saat melihat Keisha menyiapkan sarapan untuk mereka semua di hari yang masih sangat pagi. “Sudah bangun Kak?” tanya Keisha, ia benar-benar berusaha memperbaiki diri. Lastri mematung mendengar kata yang baik dan lembut yang diucapkan oleh adik iparnya. “Kenapa kamu Las? Kok kaya patung begitu?” tanya Ajeng yang baru saja memasuki dapur. “Keisha?” ucap Ajeng, sama kagetnya dengan Lastri. “Sudah bangun ya Bu?” ucap Keisha, ia bahkan tersenyum pada Ibu mertuanya itu. “Mulai dari sekarang, aku akan belajar untuk menjadi istri, menantu, dan ipar yang baik untuk kalian semua. Semoga Ibu dan Kak Lastri bisa bantu aku ya,” ucap Keisha dengan penuh harap. “Kamu nggak kesambet kan Kei?” tanya Lastri tak percaya. “Aku mau bangunin Mas Azka dulu ya Bu, kalau Ibu dan Kak Lastri mau makan duluan nggak apa-apa,” sambung Keisha, ia meninggalkan Ajeng dan Lastri yang masih kebingungan. “Kenapa dia Bu?” tanya Lastri. “Kayaknya memang kesambet Las, perl
Azka sampai ke rumah dengan tubuh yang menggigil, ia masuk ke dalam kamar dan melihat Keisha terbaring di lantai sambil memegangi ponselnya. Benar saja begitu banyak panggilan dan pesan yang masuk setelah ia melihat ponsel miliknya.Azka masuk ke dalam kamar mandi dan mengganti pakaiannya lalu ia menggendong Keisha dan membaringkannya di ranjang mereka. ‘Maafin aku karena menjadi suami yang tak pernah mengerti perasaanmu,’ ucap Azka dalam hati saat melihat wajah Keisha yang masih dibalut dengan perban. ‘Aku akan mencoba membuka hati untuk mencintaimu Kei, semoga kamu bisa berubah dan menjadi wanita yang baik. Baik pada dirimu sendiri, pada keluargamu dan juga keluargaku. Karena bagaimana pun rumah tangga tak hanya kita jalani sendiri, kita juga harus mempersatukan kedua keluarga kita’ batin Azka, ia melihat Keisha yang tiba-tiba bangun dan menatapnya. “Kamu sudah pulang Mas, kapan? Kamu kehujanan? Aku telpon kamu berkali-kali tapi kamu...”Azka memeluk Keisha dan mengusap rambutny
“Astaghfirullah,” ucap Ayra, ia tersentak saat mobil Rian menabrak sebuah lubang kecil. “Kamu kebangun ya Ra? Maaf, aku nggak bisa ngindarin lubang karena ada motor yang tiba-tiba nyalip dari belakang,” ucap Rian, ia merasa tak enak karena membangunkan Ayra yang terlihat sangat kelelahan.Ayra sempat bingung karena saat ini ia berada di dalam mobil dengan posisi tidur memeluk Reyhan yang juga sedang terlelap. Bergegas ia mengambil Ponselnya dan melihat isi chatnya bersama Rian, ia sampai membuka JG untuk memastikan bahwa dia tak melakukan sesuatu yang memalukan. “Alhamdulillah,” ucapnya lega. “Alhamdulillah kenapa Ra?” tanya Rian bingung. “Nggak apa-apa Mas,” jawab Ayra dengan tersenyum, kini kesadarannya mulai pulih. Ia ingat mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah orang tuanya dan ia tertidur tanpa sadar karena tubuhnya memang terasa sangat lelah. Rasa lelah itu membuat Ayra menjadi bermimpi sedikit buruk, bukan mimpi yang aneh, hanya saja ia menjadi Ayra yang tak seper
Sudah dua hari berlalu dan Azka belum juga kembali untuk menjemput Keisha, ia merasa sangat marah. “Mas Azka apa-apaan sih? Aku nggak terima diginiin!” ucapnya sambil membanting ponsel karena teleponnya tak kunjung diangkat. Keisha mengemasi pakaiannya lalu mencari kunci mobilnya. “Mi, kunci mobil Keisha mana?” teriaknya sambil terus mencari. Rita menuju ke arah Keisha dengan wajah tertunduk. “Kenapa Mi?” tanya Keisha heran. “Mobilnya sudah dijual Papi Kei,” jawab Rita dengan pelan. “Apa? kenapa? Itu kan mobil Keisha kenapa dijual?” tanya Keisha dengan sangat marah. “Siapa bilang itu mobil kamu? Itu atas nama Papi kok. Papi juga cuma kasih pinjem, nggak ngasih kamu,” jawab Papinya dengan santai. “Papi kok jahat begitu sih sama Kei,” rengeknya dengan mata yang berkaca-kaca. “Kamu sudah punya suami Kei, merengek sama dia sana kenapa apa-apa harus Mami dan Papi yang turun tangan?” tanya Papinya sambil menyalakan TV.Keisha menatap ke arah Rita dengan kesal, lalu beranjak pergi
“Ini semua gara-gara Mami, bagaimana ini?” teriak Keisha dengan tangis yang tak berhenti mengalir. “Kenapa kamu nyalahin Mami? Mami habisin sisa tabungan Mami cuma buat kamu tahu nggak?” jawab Maminya dengan kesal. “Sekarang aku harus bagaimana Mi? Pokoknya aku mau operasi lagi kalau perlu ke luar negeri,” ucap Keisha, ia tak berani berkaca bahkan cermin di kamarnya sudah ia pecahkan sejak hari pertama ia tahu kalau klinik tempatnya melaksanakan operasi adalah klinik abal-abal. “Ya kamu ngomong saja sama suamimu, Kei,” sahut Maminya dengan santai. “Mas Azka? Ya mana mungkin dia mau Mi. Mas Azka sudah ngelarang aku buat operasi,” jawab Keisha dengan putus asa. “Mau Mami yang ngomongin?” tanyanya sambil terus mengoleskan pewarna pada kukunya. “Jangan suka ikut campur urusan anakmu, Mi,” sahur Papi Keisha yang mendengar percakapan antara istri dan anaknya. “Papi….” rengek Keisha. “Kamu tahu kan keuangan keluarga kita sedang sulit sekarang?” tanya Papi Keisha dengan dingin. “Tapi
Ayu, Sandi, Ajeng, dan Lastri sedang menyiapkan acara syukuran kecil untuk Reyhan. “Yank, ambil kue di rumah Bu Pandi” teriak Ayu pada Sandi yang sedang asyik menonton televisi. “Sudah siap emangnya?” tanya Sandi, ia mengalihkan pandangannya ke arah Ayu yang sedang sibuk menata makanan di atas meja. “Kalau belum siap, ya aku nggak akan suruh kamu, Yank,” jawab Ayu kesal. “Jangan marah-marah dong, Bu negara,” bujuk Sandi, ia mencubit gemas pipi istrinya. “Makanya buru jalan, ntar keburu Kak Ayra sampai sini!” perintah Ayu, Sandi mengangkat tangannya membentuk tanda hormat dan dihadiahi cubitan pedas dari Ayu. “Aku lagi nggak bercanda ya, Yank, buru atau...” ucap Ayu sambil mengayunkan sendok yang ada di tangannya. “Siap Bos, langsung Otw!” jawab Sandi setelah mencomot satu potong ayam goreng di meja makan. “Papa katanya mau diet kok makan mulu,” sindir Aldi yang membawa gelas berisi es krim stroberi kesukaannya. “Hahahaha, Papamu mau diet?” ucap Lastri, ia tertawa dengan nyari