Share

BAB 5

Author: Rahma Amma
last update Last Updated: 2022-06-22 00:05:41

-Bertengkar 

Setelah pekerjaan rumah selesai, aku masuk ke dalam kamar dan membawa semangkuk bubur beserta teh hangat untuk Mas Azka, ku bangunkan ia dengan pelan. Terlihat sangat pucat wajah tampannya. 

"Makan dulu ya Mas, baru minum obat," pintaku lembut,  Mas Azka tersenyum lalu mencoba untuk duduk dengan menyandarkan tubuhnya. 

Aku menyuapinya pelan, sedih rasanya hatiku melihat keadaannya seperti ini. Saat sakit pun keluarganya tak ada yang mencoba melihat dan bertanya kondisinya, padahal kami masih berada di atap yang sama. 

"Udah Dek, Mas mual," ucap Mas Azka lemah, ia menolak bubur yang akan ku suapkan lagi padanya. 

"Satu kali lagi ya Mas, Mas harus sehat! Kalau Mas sakit, yang jaga Ayra dan Dede siapa?" Mataku mulai berkaca, aku sedih bukan karena merasa lemah, tapi aku sedih karena merasakan penderitaan suamiku selama ini, terbayangkan bagaimana kondisinya ketika ia sakit saat masih belum menikah denganku. Kenapa keluarga ini tak pernah menganggapnya ada sama sekali. 

Setelah menyuapkan suapan terakhir, aku memberikannya teh hangat dan memintanya untuk meminum obat yang sudah ku beli di apotek saat aku membeli sayuran tadi pagi. 

"Istirahat lagi ya Mas, nggak usah bangun. Mas tidur aja," ucapku lembut, aku kembali meletakkan handuk basah di kepalanya, lalu membiarkannya tertidur. 

"Manja banget sih si Azka, makan aja pake di bawakan ke kamar segala. Biasanya juga sakit, bangun dan bikin makan sendiri." Lagi-lagi kak Lastri nyeletuk seenaknya. Aku melewatinya dengan cepat dan membawa mangkuk dan gelas untuk ku cuci, tapi alangkah terkejutnya aku ketika melihat wastafel tempat cuci piring sudah penuh dengan piring dan gelas bekas makan siang mereka sekeluarga, tak ada satu orangpun yang mencuci bekas piringnya. Hatiku sangat emosi dibuatnya, tapi aku beristighfar sekuat tenaga agar tak ku pecahkan semua piring kotor ini.

"Azka belum bangun juga Ra?" Ibu datang dan lagi-lagi menambah piring kotor di tumpukkan cucian piring mereka yang harus ku cuci. 

"Gak Ayra bolehin bangun, biar istirahat dulu. Biar cepat sehat dan bisa kerja lagi ngumpulin duit buat pindah rumah," jawabku sinis, karena hari ini emosiku sangat diuji oleh mereka sekeluarga. 

"Kamu tuh kalau ngomong yang sopan Ra," sahut Ayu yang datang dan memprotes caraku berbicara pada Ibu. 

"Emang selama ini kamu ngerti arti kata sopan?" tanyaku emosi, aku menatapnya tajam, dia hampir saja melayangkan tangannya dan ingin memukulku, tapi aku dengan sigap menahannya. 

"Jangan coba-coba sentuh aku dengan tangan malasmu ini! Karena kamu bakalan nyesel dan merutuki semuanya seumur hidupmu," kuhempaskan tangannya dengan kasar kemudian kulirik Ibu yang terdiam melihat perlawananku pada anak bungsunya. 

"Berani banget kamu ya! Heh sadar, posisimu disini itu apa," ucap Ayu tak terima, dan untuk beribu kalinya mereka lagi-lagi mengungkit masalah rumah ini, mengungkit tentang kami yang memang hanya numpang disini. 

"Tapi kami PENUMPANG yang tau diri kan?" Aku sudah selesai mencuci mangkuk dan gelas bekas suamiku. Lalu menatapnya dengan lantang. 

"Toh selama kami numpang, kerjaan rumah beres. Tagihan beres. Bahkan makan per hari pun beres. Aku rasa kalian gak dirugikan dengan adanya kami disini," jawabku tegas, aku melap tangan setelah selesai membilasnya dari sabun.

Ibu memperhatikan gerakku yang tak melanjutkan cucian piring kotor yang bertumpuk, ia menahan tanganku. 

"Mau kemana kamu? Pekerjaanmu belum selesai," ucap Ibu, ia mencengkram tanganku dengan keras, namun dengan pelan menyingkirkan tangannya. 

"Ayra sudah selesai nyuci mangkuk dan gelas yang Ayra pakai, sisanya silahkan suruh anak gadis ibu yang mengerjakan. Ayra capek mau istirahat," jawabku datar, Ibu dan Ayu nampak tak percaya melihatku yang mulai melawan, mereka saling tatap dan Ayu mulai mengejarku. 

"Maksudmu apa Hah? itu kerjaan kamu, kenapa aku yang harus ngerjain?" Dia berteriak padaku. 

"Itu bekas piring siapa? Dan kenapa selalu jadi kerjaanku? Toh aku bukan babu! Kalaupun aku babu bukannya aku harusnya digaji ya? Tapi kenapa seolah-olah aku yang gaji kalian? Sorry ya. Mulai sekarang kita kerjakan semuanya masing-masing. Kalau kamu protes mulai bulan ini, kita hitung semua pengeluaran dan kita bagi dengan adil," jawabku angkuh, aku melewatinya dengan kasar dan masuk ke kamarku lalu menguncinya. 

Terdengar Ayu menyumpah dengan kasar sambil mengadu pada Ibunya, aku mengabaikannya dan memilih untuk memijit tangan suamiku yang saat ini sedang terlelap dalam tidurnya. 

***

"Sayang," ucap Mas Azka membangunkanku. Rupanya aku tertidur tepat di lengannya saat memijitnya tadi. 

Aku terkejut melihat jam sudah hampir maghrib, lumayan lama aku tertidur. Rasanya nyenyak sekali. Sudah lama aku tak pernah merasakan tidur siang senyaman ini. 

"Mas badannya gimana? Udah enakan?" tanyaku lembut, aku memegang dahinya dan memeriksa suhu tubuhnya. Dia mengangguk lemah.

"Apaan ngangguk-ngangguk, badan Mas aja masih panas," jawabku kesal, selalu saja merasa kuat padahal nyatanya lemah kaya emping yang kemasukan angin.

"Mas udah gak apa-apa sayang, makasih sudah ngerawat Mas ya," ucapnya lemah, terlihat ketulusan dari kata-katanya. Aku memeluknya erat. 

"Jangan ngomong gitu, sudah kewajiban Ayra ngerawat dan melayani Mas," jawabku sedih.

"Tapi baru kali ini, Mas merasakan bagaimana dirawat dengan tulus oleh orang yang disayang," jawab Mas Azka, ia mengelus rambutku lembut, membuatku jadi menangis dipelukannya. 

Dug.. dug.. dug.. 

Suara pintu digedor membuatku terkejut.

"Siapa lagi kalau bukan Ibu," batinku. 

Aku menyuruh Mas Azka untuk berbaring lagi, setelah meletakkan handuk basah di kepalanya, aku membuka pintu kamar dengan pelan. 

"Seharian nggak keluar! Cukup sudah ya Ayra! Hari ini kamu ngelawan dengan kurang ajar! Kalau kamu merasa sanggup hidup di luar sana, silahkan keluar dari rumah ini," ucap Ibu yang datang dengan emosi menggebu-gebu, sedikit kaget rasanya namun saat aku menoleh ke belakang Ibu, ternyata terlihat dua kompor yang sepertinya memercikan api pada ibu. 

Aku menarik nafas pelan, lalu tersenyum pada mereka. 

"Serius nih ngusir kami?" Aku melayangkan tatapan pada mereka satu persatu. 

"Gak nyesel? beneran?" Aku bertanya sambil mengejek mereka, lalu kembali masuk ke kamar dan mengambil beberapa bukti tagihan dan nota belanja yang selama ini memang ku simpan dengan rapi. 

Mas Azka menatapku bingung, namun aku tersenyum dan meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja. 

"Liat nih berapa tagihan tiap bulan di rumah ini," ucapku santai sembari menyodorkan nota dan bukti pembayaran pada Kak Lastri. 

Dia tercengang melihat nota yang menunjukkan nominal lebih dari dua juta tiap bulan, belum nota sayuran, ikan, beras, dan bahan pokok lainnya yang memang sengaja ku pinta setiap aku membelinya. 

Aku tersenyum licik meninggalkan mereka yang terlihat bingung. Ku biarkan mereka diam mematung di depan kamarku, aku masuk dan kembali membasahi handuk yang kupakai untuk mengompres suamiku. 

"Sayang, maafin, Mas ya, karena, Mas, Ayra jadi selalu bermasalah sama keluarga di rumah ini," ucap Mas Azka sedih, ia menarik tanganku dan menciumnya dengan lembut. Aku hanya tersenyum. 

"Selama Ayra masih jadi istri, Mas, nggak akan Ayra biarin mereka ngehina, Mas. Nggak akan Ayra biarin mereka ngerendahin harga diri, Mas," ucapku yakin seraya menggenggam tangannya, aku tahu Mas Azka selama ini diam karena masih menghargai mereka yang membesarkannya walaupun tak sedikitpun kasih sayang ia dapatkan kecuali dari Ayah yang saat ini telah tiada. 

"Makasih, Sayang," ucapnya tulus, aku mengangguk dan kembali menyuruhnya untuk beristirahat.

"Cepat sembuh ya, Mas," pintaku penuh harap, Mas Azka tersenyum dan meng-aamiini doa ku. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ratu Tak Akan Jadi Babu   BAB 100

    Keisha terbangun dari tidur panjangnya, ia melihat dengan samar ke sekeliling ruangan yang terasa asing untuknya. 'Di mana aku?' batinnya. Pandangannya tertuju pada dua orang yang sedang terlelap di sofa yang terletak di ujung ruangan. "Mi, Pi," panggilnya lemah. Rita membuka matanya dengan cepat, suara yang sangat ia rindukan selama dua bulan terakhir ini sangat jelas terdengar di telinganya. "Keisha," ucapnya dengan sangat gembira, ia bahkan langsung berlari menghampiri putri kesayangannya itu. "Pi, Anak kita sudah sadar," ucap Rita dengan nyaring, Anton yang mendengar itu segera mengambil kacamatanya dan menghampiri istri dan putrinya. "Keisha. Syukurlah," ucapnya dengan lega. "Akhirnya kamu bangun juga, Nak," ucap Rita dengan haru, ia menciumi putrinya dengan sayang. "Apa yang terjadi Mi? kenapa Kei ada di sini?" tanyanya lemah. "Bukankah pertanyaan itu harusnya Mami dan Papi yang menanyakan?" tanya Rita dengan lembut. Anton keluar ruangan untuk memanggil Dokter, sedang

  • Ratu Tak Akan Jadi Babu   BAB 99

    Ayra terbangun ia merasakan pusing dan mencoba bangun namun ia merasa tubuhnya sangat lemah. “Infus?” ucapnya bingung sembari melihat tangannya. “Umi sudah bangun?” tanya Reyhan dengan imut, ia mendekati Ayra dan menempelkan punggung tangannya pada dahi wanita yang sangat ia sayangi di dunia ini. “Sayang,” ucap Ayra lemah. “Umi nggak apa-apa kan, apa ada yang sakit?” tanyanya dengan khawatir, membuat Ayra menahan air mata haru. “Umi nggak apa-apa sayang, maafin Umi ya. Rey pasti takut banget ya tadi?” ucap Ayra sedih, ia merasa bersalah pada putra kesayangannya itu. “Nggak kok Umi, Rey kan sudah janji bakalan terus jagain Umi,” jawabnya dengan tulus, kini Ayra sudah tak mampu menahan air matanya. “Umi kenapa nangis? Ada yang sakit ya? Rey panggilin Papa ya,” ucapnya cemas, ia akan berlari keluar namun Ayra menahannya. “Papa sama siapa di sini?” tanya Ayra, ada perasaan tak nyaman mulai menyelimutinya. “Abang,” ucap Aldi, ia baru kembali dari toilet. “Umi,” panggil Aldi, ia m

  • Ratu Tak Akan Jadi Babu   BAB 98

    Rian melajukan mobil dengan sangat cepat, tak lupa ia menelepon Ayu untuk memintanya datang agar ada yang menemani mereka di rumah nanti karena biar bagaimanapun Rian sangat menjaga kehormatan calon istrinya, ia tak ingin Ayra dipandang rendah atau tak baik oleh orang lain. “Assalamualaikum, Yu,” ucap Rian saat telpon sudah tersambung. “Wa'alaikumussalam, kenapa Mas?” tanya Ayu sembari terus melanjutkan kegiatan memasaknya. “Kamu bisa nggak ke rumah Ayra?” tanya Rian dengan tenang agar tak menimbulkan kepanikan. “Kenapa Mas, Kak Ayra nggak apa-apa kan?” tanya Ayu, hatinya mulai berdesir cemas. “Nggak ada apa-apa sih, Yu, cuma aku mau kesana saja nggak enak kalau nggak ada orang yang nemenin,” jawab Rian. “Oh, kirain kenapa? Entar aku menyusul Mas, duluan saja. Soalnya aku mau ke minimarket dulu beliin jajan buat Aldi sama Reyhan,” ucap Ayu, ia tak menyadari ada seorang lelaki yang mendengarkan obrolannya dengan Rian dan ia tersenyum sangat licik karena otaknya sedang merencanaka

  • Ratu Tak Akan Jadi Babu   BAB 97

    “Mau sampai kapan kamu gini terus Ka? Sudah dua minggu dan kamu belum sama sekali menjenguk istrimu yang saat ini terbaring lemah di ICU,” ucap Ajeng dengan marah pada anak angkatnya yang semakin terlihat tak terurus lagi. Azka hanya diam tak menanggapi, ia merasa dunianya sudah berakhir. Bahkan sering kali keinginan buruk muncul di benaknya. ‘Apa aku culik saja Ayra dan aku akan menikahinya dengan paksa’ ucapnya dalam hati. ‘Ah bodoh sekali aku, mana bisa aku melakukan itu dan menyakitinya lagi dan lagi’ ‘Tapi aku gak bisa mundur begitu saja, aku ingin kembali mendapatkannya’ ‘Tapi aku tak pantas untuk kembali bersamanya’ Azka berdebat dengan hati dan pikirannya yang selalu bertolak belakang, sesekali ia menghisap rokok yang membuatnya mulai nyaman padahal selama ini ia tak pernah menyentuhnya sama sekali. ***“Alhamdulillah persiapan pernikahan kita sudah hampir selesai delapan puluh lima persen, aku sedikit gugup, Ra,” ucap Rian, kini mereka berada di perjalanan menuju Masji

  • Ratu Tak Akan Jadi Babu   BAB 96

    Ayra berada di kamar Keisha yang terlihat berantakan, Lastri sedang merapikan beberapa barang yang berserakan. “Ada masalah apa sih Kei? Kok jadi gini banget hidupmu?” ucap Lastri dengan santai, Ayra menoleh ke arahnya namun Lastri berpura-pura tak melihatnya. “Kei, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu dan Mas Azka kenapa?” tanya Ayra dengan lembut, ia menggenggam jari Keisha berusaha menenangkan wanita yang pernah menjadi madunya itu. “Rumah tanggaku dan Mas Azka sepertinya sudah selesai, Ra,” jawab Keisha dengan sesenggukan. Ayra dan Lastri menoleh bersamaan, Lastri bahkan berhenti melakukan kegiatan beres-beresnya dan duduk di samping Keisha karena sangat penasaran dengan apa yang dikatakan oleh wanita yang sempat sangat ia benci dulunya. “Kenapa? Ada apa?” tanya Lastri sangat penasaran. “Aku sudah mengakui segalanya, Ra,” ucap Keisha dengan lemah. “Mengakui semuanya? Mengakui apa Kei?” tanya Ayra bingung. “Aku mengakui semua kejahatan yang pernah aku lakukan padamu, Mas A

  • Ratu Tak Akan Jadi Babu   BAB 95

    Ah, aku sudah hampir gila, pipiku terasa panas, aku bahkan menepuknya beberapa kali karena entah kenapa aku selalu merasakan hal lain ketika mengingat Mas Rian. “Umi,” Reyhan menghampiri dan memelukku. “Iya, kenapa sayang?” tanyaku sambil mencium pipinya yang menggemaskan. “Kalau nanti Umi sama Papa Rian sudah nikah, Rey masih boleh kan jalan-jalan sama Abi?” tanyanya dengan sedih. “Kok Rey nanya begitu?” tanyaku bingung. “Rey cuma takut kalau Rey sudah nggak bisa ketemu atau jalan-jalan sama Abi lagi. karena Syifa teman Rey bilang Mama dan Papanya sudah nggak pernah ketemu lagi,” jawabnya dengan polos membuatku terharu. “Rey, Umi sama Abi tetap orang tua Reyhan. Papa Rian dan juga Mama Keisha juga sama orang tua Rey juga. Kami semua sayang Rey dan nggak ada yang akan ngelarang Rey untuk ketemu atau jalan-jalan sama Abi karena kita semua satu keluarga, hmm?” tanyaku sambil membawanya kembali ke dalam pelukanku. “Janji ya Mi,” ucapnya sembari mengacungkan kelingkingnya. “Insyaa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status