Semenjak pertemuan dengan Bu Pipit kemarin aku semakin keras berfikir, jangan sampai Mas Andra berulah lebih jauh dalam mendzalimiku."Permisi, Bu."Tiba-tiba Sekretarisku Maya masuk ke ruangan ini, ia memang memiliki akses yang bebas untuk keluar masuk ruangan, bahkan sampai mengelola keuanganku."Iya May, ada apa?" tanyaku, gadis itu terlihat pucat."Bu, saya mau cuti seminggu aja, untuk mengistirahatkan badan saya lagi sakit," ujarnya sambil meringis, tak lama ia terlihat seperti sedang mual."Kamu sakit apa kok mual-mual begitu?" tanyaku sambil menelisik wajahnya.Ada ketegangan di wajah Maya, ia seperti memendam sesuatu, aku merasa aneh karena tak biasanya ia begitu."Sakit ... sakit lambung, Bu, hoooeeekk."Hampir saja gadis itu muntah di hadapanku, karena memiliki riwayat penyakit yang sama, tiba-tiba perutku pun ikutan mual melihatnya seperti itu."Ohhh, kaya orang hamil aja kamu mual-mual begitu, hehe," ujarku sambil terkekeh."Ohh, engga kok, Bu ga hamil." Tiba-tiba ia gelag
Aku pulang ke rumah dengan tubuh yang teramat lelah, hari sudah larut malam karena terjebak kemacetan, di dalam kamar kulihat Mas Andra sedang asyik bermain ponsel, sesekali ia tersenyum saat memandang benda pipih itu.Apa dia gila? Saat aku masuk ia langsung menyembunyikan ponsel itu ke bawah bantal, dipikir aku akan merebut ponsel itu dan mengganggu kesenangannya gitu? ogah!Silakan saja bersenang-senang Mas, ada saatnya kamu sengsara dan menyesal."Kamu kenapa pulang malem-malem?" Akhirnya ia bertanya juga.Aku tak menjawab pura-pura sibuk menunduk melepaskan sepatu kerja."Oh ya, masalah mobil kamu yang hilang itu gimana kata polisi?" tanyanya sambil mendekat.Aku memang berbohong dengan mengatakan sudah lapor polisi, jika duluan ia yang melapor maka rencanaku menjual mobil itu bisa ketahuan duluan 'kan?"Nanti juga dikabarin kalau udah ketemu," jawabku datar."Ohh, aku minta maaf ya, Rah, semoga mobil itu cepet ketemu." Dari nada suara sepertinya ia memang menyesal, jelas saja m
"Anak-anak harus pada tahu nih kalau si Maya hamil duluan," celetuk Clara, dia memang heboh kalau soal membicarakan kejelekan orang lain."Jangan umbar aib orang, kalau ga mau nanti aibmu diumbar juga sama Allah," jawabku sedikit tegas, dan ia terlihat menciut."Kamu tahu di mana alamat rumah Maya yang baru?" tanyaku, karena empat bulan yang lalu Maya bilang sudah pindah ke rumah yang lebih layak."Oh tahu kok, Bu, mau aku tulis alamatnya sekarang?" tawar gadis cerewet itu, aku mengangguk sambil menyerahkan satu buah kertas dan pulpen."Ini, Bu," ujarnya saat selesai menuliskan alamat rumah Maya.Gadis itu berlalu dari ruanganku, dan setelahnya datang Om Juna, ia adalah kakak angkat ayahku, setelah ayah dan bunda tiada dialah sebagai gantinya, melindungiku layaknya Putri sendiri, tak hanya itu ia juga mengelola perusahaan ini saat aku masih kuliah."Assalamualaikum, Farah, kamu baik-baik aja?" tanya Om Juna lalu kami duduk berdampingan di sofa ruang kerja ini."Alhamdulillah baik, Om
Dengan langkah lebar aku menendang pagar yang belum terkunci itu, tanganku sudah mengepal ingin segera menonjok wajah so polos dan so baik Mas Andra."Bukaa!" teriakku sambil menggebrak pintu.Sudah beberapa detik. Namun, pintu masih tertutup juga terkunci."Bukkaaa!" Teriakkan kali ini lebih kencang dan memekik.Handle pintu memutar tandanya sudah ada yang membuka dari dalam."Bu, Farah." Mata Maya menyipit keheranan."Kenapa?! Kaget lihat aku ke sini!" Raut wajah Maya berubah ketakutan, iya lah dia takut ketahuan kalau suamiku ada di dalam, entah sedang apa mereka tapi aku yakin kebersamaan ini bukan untuk masalah pekerjaan."Bu Farah ngapain ke sini? apa ada tugas yang belum selesai aku kerjakan?" tanya Maya pura-pura b3g0.Tanganku mendorong daun pintu dengan keras, di luar dugaan ia menahannya dengan kuat, katanya lagi sakit tapi tenaganya teramat kuat."Minggir! Tadi aku lihat suamiku di dalam, ngapain dia di sini hah?!" Terus kudorong daun pintu hingga tubuh Maya terpental ke
Malam ini kuputuskan untuk ke rumah Om Juna dan menginap di sana, beruntung semua perhiasan dan surat-surat berharga sudah disimpan di brangkas dan hanya aku yang tahu kodenya.Gara-gara kejadian di rumah Maya aku jadi lupa dengan janji terhadap Om Juna, hati yang teramat perih membuatku tak bisa berpikir jernih."Kamu kenapa ke sini malam-malam? kalau ga sempat kenapa ga besok aja," ujar Om Juna, saat ini aku sudah duduk di ruang tamunya.Tak lama Tante Dahlia datang membawakan teh hangat dan biscuit coklat, wanita yang sudah kuanggap ibu itu tak pernah lupa camilan kesukaanku."Minum dulu, Rah, kayanya kamu ada masalah mukanya pucet begitu," ujar Tante Dahlia sambil meletakkan secangkir teh ke meja.Jujur saja dadaku terasa sesak juga lambung yang terasa mual disertai kepala yang pusing seperti berputar-putar, seperti biasa penyakit lambungku akan kambuh kalau sedang tegang."Aku ... hoeeeek." Tiba-tiba merasa mual, hampir saja aku muntah di hadapan Om dan Tante."Ya ampun, kamu ke
"Tinggal selangkah lagi Si Dirga dan antek-anteknya akan masuk penjara, ga menutup kemungkinan Andra juga akan ikut terseret," ujar Om Juna sore ini.Kabar ini lumayan bisa sedikit mengurangi beban di otakku, karena langkah selanjutnya adalah mengamankan aset-aset yang sudah kubeli atas nama Mas Andra, seperti tanah beberapa hektar yang tadinya akan kami bangun kontrakan, juga mobil Mas Andra dan mobil Dinda.Sejak awal pernikahan lelaki itu memang banyak meminta. Namun, sama sekali tak menaruh curiga mungkin pandanganku tertutup oleh cinta, ya cinta buta."Kata dokter kamu besok boleh pulang 'kan? pulang ke rumah Om aja setelah sembuh baru ke rumahmu.""Engga, Om, aku akan pulang ke rumah ada beberapa aset yang harus kuurus.""Maksudmu?""Beberapa bulan ke belakang aku beli tanah buat bangun kontrakan tadinya, dan sertifikat tanah itu atas nama Mas Andra aku ingin sebelum bercerai sertifikat tanah itu balik nama jadi ga jatuh ke tangan lelaki itu."Om Juna geleng-geleng kepala mungk
Aku dan Om Juna cekikikan, membayangkan betapa stres-nya lelaki itu menghadapi kenyataan, ia kira masa depan ada di tangannya."Om dan Tante pulang dulu ya, jaga diri, kalau ada apa-apa telpon."Aku mengangguk. "Hati-hati, Om, Tante."Mereka pulang meninggalkan aku seorang diri menghadapi masalah ini, syukurlah ada Om Juna yang mengurus perusahaan, jadi beban yang bertumpu di kepalaku tak terlalu banyak.Tugasku tinggal memberi pelajaran pada para pengkhianat, sepertinya ini akan menyenangkan.Dengan langkah tegak aku memasuki kamar, tubuh Mas Andra terguncang saat melihat pintu terbuka, matanya melongo ketakutan menatapku, seperti melihat hantu."Farah, ngapain serahkan jabatanmu sama Om Juna?" tanya Mas Andra sedikit ngegas.Aku harus bersikap santai dan rilexs, jangan sampai terlihat seperti orang sakit di hadapannya."Emang kenapa? masalah? dia itu keluargaku!" Ia membuang pandangan ke kiri dan ke kanan, dadanya terlihat kempas-kempis menahan amarah, ia pasti kesel karena sumber
Sampai kiamat pun takkan pernah aku kasih kesempatan itu buj1ngan! Bisikku dalam hati.*Pagi ini aku bangun lebih segar, menyantap sarapan dengan lahap, beda sekali dengan wajah Mas Andra yang kusut, sejak tadi ia cemberut."Farah, izinkan aku jadi direktur perusahaanmu ya, aku ingin belajar." Rupanya ia masih belum menyerah."Engga!" jawabku tegas.Aku masih heran sampai sekarang kok dia belum dijemput polisi karena terlibat kasus penggelapan uang, apa belum saja? atau dia nyogok orang lagi biar ga tertangkap."Kamu tuh tega ya, Farah, biarkan suamimu jadi karyawan di kantormu sendiri."Bodo amat! Aku ga peduli!"Iya, Farah, Andra benar kamu kok tega biarkan dia jadi karyawan di kantor istrinya, kasihlah kesempatan buat Andra mimpin perusahaan," celetuk ibu mertua, tiba-tiba ia datang kemari ngerecokin semuanya.ia pasti mau minta jatah uang bulanan karena aku belum memberikan.Selera makanku jadi hilang melihat kedatangan wanita ini, ia duduk di kursi dan mengambil sepotong roti,