Share

Bab 6

 

Semenjak pertemuan dengan Bu Pipit kemarin aku semakin keras berfikir, jangan sampai Mas Andra berulah lebih jauh dalam mendzalimiku.

 

"Permisi, Bu."

 

Tiba-tiba Sekretarisku Maya masuk ke ruangan ini, ia memang memiliki akses yang bebas untuk keluar masuk ruangan, bahkan sampai mengelola keuanganku.

 

"Iya May, ada apa?" tanyaku, gadis itu terlihat pucat.

 

"Bu, saya mau cuti seminggu aja, untuk mengistirahatkan badan saya lagi sakit," ujarnya sambil meringis, tak lama ia terlihat seperti sedang mual.

 

"Kamu sakit apa kok mual-mual begitu?" tanyaku sambil menelisik wajahnya.

 

Ada ketegangan di wajah Maya, ia seperti memendam sesuatu, aku merasa aneh karena tak biasanya ia begitu.

 

"Sakit ... sakit lambung, Bu, hoooeeekk."

 

Hampir saja gadis itu muntah di hadapanku, karena memiliki riwayat penyakit yang sama, tiba-tiba perutku pun ikutan mual melihatnya seperti itu.

 

"Ohhh, kaya orang hamil aja kamu mual-mual begitu, hehe," ujarku sambil terkekeh.

 

"Ohh, engga kok, Bu ga hamil." Tiba-tiba ia gelagapan dan tegang, padahal aku cuma bercanda.

 

"Mau cuti berapa hari, May?"

 

"Satu Minggu aja, Bu, aku mau istirahat total," jawabnya menahan rasa mual, karena tak tega maka aku izinkan saja dan mengalihkan tugasnya pada orang lain.

 

"Ya sudah kamu boleh libur dulu Minggu ini, dan ini aku udah transfer buat berobat kamu, semoga membantu ya."

 

Kuperlihatkan laporan M Banking ke hadapan wajahnya, ia tersenyum malu-malu tapi mau.

 

"Wahh terima kasih, satu juta banyak banget, Bu, biasanya juga saya berobat paling mahal 300 ribu," ujarnya semringah, tapi wajahnya sama masih pucat.

 

"Ya sama-sama, itung-itung buat beli makanan kamu selama seminggu, cari dokter yang bagus jangan asal."

 

Ia menganggukkan kepala. "Iya, Bu."

 

Maya sudah seperti saudara sendiri, aku tak segan jika membantunya dalam masalah keuangan, ia sudah bekerja satu tahun di kantor ini dan kinerjanya patut diacungi jempol.

 

"Oh ya, ini proposal pengeluaran dana lagi, tolong Ibu tanda tangan ya," ujarnya sambil mengeluarkan satu buah map, aku terima dan langsung membacanya.

 

"Kok pengeluaran lagi?" Aku tertegun melihat angka 500 juta yang tertera di kertas itu.

 

"Iya, Bu, itu permintaan cabang pabrik yang baru, memang masih membutuhkan banyak dana, itu ada kok rinciannya," ujarnya lagi, aku melihat rinciannya dengan seksama, semua data ini memang masuk akal karena pabrik baru tersebut masih banyak membutuhkan biaya.

 

"Oh ya sudah." 

 

Tanpa fikir panjang aku segera menggoreskan tinta di ujung kertas putih itu, sebagai tanda persetujuan, ia meraih map itu kemudian permisi untuk keluar.

 

"Maya, cutinya mulai besok ya, jadi hari ini semua pekerjaan harus di selesaikan semua," ujarku saat ia membuka pintu hendak keluar.

 

"Iya, Bu."

 

Hari ini Mas Andra datang ke  kantor. Namun, ia sama sekali tak menyapaku, aneh sekali harusnya aku yang marah karena ia yang bersalah, dunia kok jadi terbalik tapi tak apa aku tak masalah, karena mobil Honda Civic yang mau dicuri Mas Andra kemarin sudah dilirik oleh pembeli.

 

Ponselku berdenting saat dicek ternyata Mas Andra yang mengirimkan pesan.

 

[Aku akan pulang malam] pesannya ya terkesan cuek dan dingin, karena muak kuputuskan untuk membiarkan pesan itu tanpa membalasnya.

 

Saat aku tiba di parkiran nampak mobil Mas Andra sudah meluncur duluan, kata hati mengatakan jika aku harus membuntuti mobilnya sekarang, entah mengapa tiba-tiba saja timbul rasa curiga.

 

Entah mau pergi ke mana lelaki itu, karena sejak tadi ia belum juga sampai ke tempat tujuannya, membuat tubuhku lelah karena seharian begitu sibuk dengan segudang pekerjaan.

 

Setelah satu jam lebih berputar-putar akhirnya mobil Mas Andra berhenti di depan sebuah bangunan besar, entah apa tujuannya ke sini. Namun, pria itu langsung turun dari mobil dan menghampiri pekerja di sana, bisa dikatakan jika dia seorang mandor terlihat dari cara berpakaiannya yang berbeda dari pegawai lain.

 

Cukup lama sekali mereka berbincang dan berkeliling ke dalam dan belakang bangunan, setelah itu terlihat Mas Andra memasuki mobil dan melajukannya kembali, entah mau ke mana lagi lelaki itu pergi.

 

Karena penasaran dengan bangunan yang besar dan bertingkat itu, aku memutuskan untuk turun dan menemui lelaki yang tadi berbicara dengan Mas Andra.

 

"Permisi, Pak, maaf ganggu," ujarku ramah sambil menelungkupkan tangan di dada.

 

"Oh iya, engga ganggu kok, ada apa ya, Mbak?" tanya lelaki itu.

 

"Ini saya mau tanya, bangunan ini siapa yang mendirikan ya? terus tadi Pak Andra ngapain mampir ke sini?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

 

"Maaf, Mbak ini siapanya Pa Andra ya?" lelaki itu malah balik bertanya.

 

"Oh saya temannya kok." Aku berusaha tersenyum walau sungkan

 

"Bangunan ini didirikan Pak Andra dia mau bikin mall di daerah sini, dan tadi beliau ke sini cuma mau ngecek pembangunannya sudah sampai mana," jawab lelaki itu membuatku bertanya-tanya

 

Sejak kapan ia punya rencana untuk membangun mall sebesar ini? terus kenapa sebagai istri aku tak diberi tahu? dan juga dari mana uangnya sehingga ia bisa membangun mall yang begitu besar?

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status