Kebanyakan aku tak mau bertemu pandang dengannya. Lebih suka menatap pesawat-pesawat yang sedang terparkir rapi di apron bandara. Tentu saja karena aku terlalu malas berada di titik ini. Namun, lelaki di depanku ini berhasil menahan langkahku menghindar, dengan sebuah dalih makan siang di sebuah resto cepat saji yang sepi.
Sekuat tenaga menolak, tapi situasiku tak baik. Dia mengajakku di depan para awak kabin yang memandangi kami. Daripada aku mencoreng namaku lagi, lebih baik menurut tanpa banyak kata. Ternyata dia hanya hendak memandangiku seperti ini.
Jujur aku tak nyaman dipandang olehnya. Apalagi saat mata itu menuju cincin emas putih di jemari manis tangan kananku. Serasa hendak disidang. Dia bak ingin menelurkan banyak tanya padaku. Silakan saja, aku takkan menjawab apa pun seputar pernikahan dan Cap
Mataku menerawang lurus ke pemandangan di luar. Pemandangan kota Kuala Lumpur di sore hari membuat hatiku damai. Lalu lintas ramai, tapi teratur. Gedung berjajar indah, ditata rapi dan asri. Pengagum kesempurnaan sepertiku merasa terpuaskan. Sinar matahari senja yang menerpa kaca hotel lantai 15 ini membuatku hangat. Karena itulah kupegang kaca lebar dan meresapi rasanya. Mataku terpejam cukup lama untuk meresapi suhu ini. Daripada meninggalkan kamar dan ikut yang lain berburu makanan khas kota ini, mendingan aku ngendon sendiri. Berteman kesendirian sebelum Mbak Olia datang dan meramaikan kamar. Aku tak ikut jalan-jalan. Pertama, aku tak nyaman berada di keramaian kota yang asing. Kedua, aku tak nyaman dengan salah satu orang di kerumunan itu. Bena
Mata ini menatap bangga rangkaian baja ringan yang berada lima meter di depan badanku. Ia terlihat ringkih dan lemah, tapi sangat kuat menghadang kerasnya angin. Badannya memang kecil kalau dibanding luasnya angkasa, tapi sanggup menjelajah ribuan jarak. Memindahkan manusia dari satu titik ke titik yang lain. Mengantar manusia menjemput dan meraih impiannya. Ya, aku bangga bekerja dengan benda ini. Pagi ini kujelang penerbangan rute Jakarta – Denpasar – Denpasar – Timika. Sejenak transit di Timika dan terbang lagi dari Timika ke Ujung Pandang. Tugasku akan berakhir di Jakarta. Empat hari kerja yang pasti sangat menguras tenaga. Namun, sekali lagi aku selalu bahagia. Semakin aku menjalani hari, semakin aku berusaha lupa dengan rindu yang makin menyiksa ini. Kujalani
10 Agustus 2019, tanpa terasa sudah lima bulan aku berstatus sebagai istri pilot. Namun, aku masih bekerja seperti biasa. Kesibukanku tetap, tidak berubah menjadi yang lain. Sibuk naik turun ketinggian, memacu adrenalin siang atau malam. Kadang berangkat pagi, pulang malam. Berangkat dini hari, pulangnya empat hari kemudian. Kesibukan kontinyu yang kusukai sebab tak melulu mengingat tentang rindu. Kalau bisa rasa aneh itu netral saja, karena terlalu malu. Dia sibuk, teramat sibuk. Kami jarang bertukar suara lebih banyak melalui pesan tulisan. Sebab dia terbang dari pagi sampai siang. Kadang dapat jadwal latihan malam. Dilanjut latihan yang lain. Katanya, kesibukan itu untuk mengisi hari ulang tahun negeri ini yang jatuh pada 17 Agustus nanti. Banyak rangkaian kegiatan yang harus dia jalani.Rangkaian kegiat
Pernahkah kalian mengalami sebuah kejadian yang unik, saat kalian terdiam dan tiba-tiba mendengar ada lagu yang terputar dari benak? Padahal di kenyataan tidak ada musik yang sedang terputar, hanya terdengar dari suara hati. Saat ini aku mengalaminya, saat berada di pelukan hangat besarnya ini. Sebuah lagu kesukaannya, “Andaikan Kau Datang Kembali” terputar merdu dan mendayu rasaku. Itu bukan lagu cinta, melainkan lagu religi. Isinya tentang ketakwaan pada Sang Khalik. Kelak apa yang akan kita tunjukkan saat Dia memanggil kita kembali. Sudah jadi apakah kita? Sudah bermanfaatkah kita di dunia ini? Apa yang sudah kita beri selain hanya menerima dan menerima? Semua makna itu kudapatkan dari dia. Mas Kavalah yang menjelaskannya saat
“Kav, mamak pu mantu so hamilkah? Mamak mimpi dapat burung puyuh terus ini.” Celotehan ibu paruh baya dari seberang telepon membuat Captain Kava mesem. Seperti biasa, kalau sedang rindu si ibu bisa makin ceriwis bertanya ini dan itu. Lelaki gagah yang sedang duduk di tepi jendela itu mengubah gaya duduknya seraya menyiapkan jawaban yang menyebalkan. Sebagai anak tunggal, hobinya memang menggoda si mamak hingga berteriak kesal. “Ah, Mamak tipu saja mo. Mana ada kaitan antara burung puyuh dengan sa pu istri hamil.” Sesekali lelaki itu melirik ke arah kamar mandi dengan pintu yang tertutup. (Ah, Mamak bohong saja nih. Mana ada kaitan antara burung puyuh dengan kehamilan istri saya) 
Pagi ini kujelang dengan dua rasa, bahagia dan sedikit sedih. Bahagia sebab aku masih terbangun di pelukannya yang masih lelap di pagi buta pukul tiga. Sedih karena ini hari terakhirnya di Jakarta. Esok dia harus kembali ke Magetan untuk kembali bertugas. Kami segera terpisah jarak yang tak dekat, lagi. Belum-belum aku sudah menitik air di mata, sedih. Pasti aku akan merindukan pagi, siang, dan malamku bersamanya. Saat dia terlihat sangat bahagia saat menerima setiap buah tanganku meski roti sisa penerbangan. Saat di mana dia setia menungguku di pintu keluar bandara saat aku pulang terbang jam 2 dini hari. Saat aku pulang malam dan dia sibuk memasakkan air untukku mandi. Semua kasih sayang dan perhatiannya pasti sangat kurindukan.&n
Berulang-ulang pintu itu diketuk tangan berotot Kava, masih tak ada jawaban. Bujukan manis lembutnya menguap ke udara. Tak ada jawaban berarti dari dalam kamar mandi dingin itu. Hanya terdengar suara air gemericik tanpa suara manusia. Membuat lelaki itu makin cemas dari detik hingga detik. “Dek … buka pintunya, ya? Saya mohon, Dek!” Kava kembali mengetuk pintu sambil menggenggam sebuah kresek kecil. Bujukan dengan suara lembutnya terus mengalir, tapi Nala hanya diam. Keputusannya pergi ke apotek untuk membeli obat luka berbuah sesal. Sepeninggal Kava, Nala beranjak lemas dari ranjang menuju kamar mandi. Dia mengguyur sekujur badannya dengan dinginnya air. Matanya kosong tak ada ekspresi. Tak hanya itu, tangis dan pandangan datar adalah hia
Nelayan yang sudah berpengalaman pasti sudah terbiasa dengan datangnya badai. Mereka bersiap, mereka telah kuat. Mereka mempersiapkan, membangun tiang-tiang kapal nan kuat. Jika diterjang, mereka akan mudah untuk hidup dan bertahan. Kapal dan nelayannya selamat melewati samudera. Pun sama denganku, badai yang datang lagi ini berusaha kuatasi sekuat tenaga. Meski rasanya sama, sakit sekali. Aku berusaha melewati badai kehidupan seperti seorang nelayan yang berpengalaman. Bukankah sejak kecil aku sudah hidup dalam badai. Maka, air mata di pipiku terasa sudah kering. Mata hanya bisa kosong terpaku pada suatu titik saat mereka sibuk mengurusi “badai”. “Badai” dari masa laluku itu bernama ibu. Dan aku telah terlibat dengannya