Dua puluh tahun sebelumnya, beberapa bulan sebelum Widya masuk ke panti asuhan yang dikelola oleh Bunda.
Setiap hari, sebelum berangkat ke sekolah, pagi-pagi sekali Sakti sudah tiba di agen koran milik Pak Nardi. Dengan sepeda pemberian Bunda, ia berkeliling mengantarkan surat kabar ke rumah-rumah pelanggan. Upahnya lumayan. Cukup untuk jajan dan membeli kebutuhan sekolah seperti alat tulis.
Pagi itu, ada alamat baru yang harus dituju oleh Sakti. Kata Pak Nardi, keluarga itu baru saja pindah ke sana. Sehingga langganan surat kabar hariannya dialihkan ke agen Pak Nardi yang lebih dekat.
Sakti sendiri senang mendapatkan pelanggan baru karena ia akan mendapatkan tambahan upah. Maka, dengan penuh semangat, ia pun mengayuh kencang sepedanya untuk mencari alamat pelanggan baru tersebut.
Dengan mudah, Sakti menemukan alamat yang dicari. Saat tiba di rumah sederhana itu, Sakti melihat seorang pria yang tampaknya akan berang
Dalam hal ini, level seorang jenderal tentu jauh berbeda dengan level perwira menengah seperti Sakti. Jenderal seperti Prakasa tentunya sudah menyusun taktik dan strategi dengan matang sebelum turun ke lapangan. Bahkan hal yang tampak ‘remeh’ seperti sekadar mengisi perut pun, harus direncanakan dan dilaksanakan dengan matang.Sakti merasa dirinya sangat bodoh karena sempat berpikir untuk menyingkirkan sang mentor menggunakan kekuatan SABDA-nya. Padahal, masih banyak yang harus ia pelajari dari panglima tertinggi angkatan bersenjata di negara ini. Sementara SABDA tidak mengajarkan apa-apa padanya, kecuali menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan.Setelah memastikan para bawahannya akan mendapatkan makan malam, Sakti kembali ke ruangannya. Masih ada Widya yang menunggu di sana. Tapi, Sakti sudah tak berminat lagi untuk memuaskan dirinya. Ia hanya ingin memastikan agar keadaan pasukannya aman sentosa sebelum ia melepaskan ‘kekuasaan sementara’ ini
Di blok penjara tempat Rimba ditahan, pada saat yang bersamaan dengan saat Sakti hendak mengambil kesempatan dari Widya.Melihat Rimba sudah melepaskan borgol yang membelenggunya, Andre bergegas menghampirinya. Dengan kasar ia mencengkeram kerah kaus Rimba.“Kau bisa meloloskan diri dari borgol? Kau anggota pasukan khusus juga? Katakan, kau dari kesatuan mana?!” bentak Andre.Namun Rimba menepis tangan Andre dengan tak kalah kasarnya. Ia segera menjauh dari Andre, tapi matanya menatap tajam.Dengan menggunakan kunci yang ada pada dirinya, Andre hendak membuka sel Rimba. Satu tangannya menempel gagang pistol yang masih ia sarungkan. Waspada.“Kau juga kacung tentara jahat itu, ‘kan? Berhentilah menuruti perintah Sakti!” bentak Rimba yang bersiaga karena bisa saja Andre membolongi tubuhnya dengan peluru.Tiba-tiba, Andre yang sedang mendorong pintu jeruji, membeku di tempatnya. Ia terbelalak sangat lebar hingga se
Dengan tubuh masih gemetaran karena harus menahan diri agar tampak masih terhipnotis, Widya berjalan menuju dispenser air minum. Ia menenggak air dua gelas, lalu membuka sebuah kulkas mini. Selain air mineral botolan, hanya ada buah-buahan yang tersimpan di sana. Pemilik asli ruang kerja ini pasti seseorang yang bergaya hidup sehat.Dengan rakus, Widya melahap apel dan pisang yang tersedia di dalam kulkas. Seperti pasukan Sakti, dia lapar sekali. Saat tiba di pulau kelapa, ia tidak sempat makan dan langsung tidur karena kelelahan. Hingga Widya dibawa ke markas ini oleh Sakti, Widya hanya makan gabin yang diberikan oleh Rimba saat masih berada di kapal kecil siang tadi!Widya tertegun sejenak saat mengingat Rimba. Bagaimana kabar pemuda itu sekarang? Apa yang telah Sakti perbuat padanya? Apakah dia baik-baik saja, atau telah ….Widya menggeleng cepat. Mengusir jauh-jauh bayangan buruk itu. Setelah kehilangan Bunda dan Rinto, Widya merasa, dia tidak akan sanggup m
Sakti melepaskan hijab yang melindungi kepala Widya. Ia tersenyum saat memandang rambut hitam yang ternyata mencapai pundak itu. Sudah lama sekali ia tidak melihat rambut itu. Semenjak Widya memutuskan untuk mengenakan hijab saat duduk di bangku kelas tiga SMP, Sakti tidak dapat lagi melihat salah satu sumber kecantikan Widya itu.“Kamu memang cantik. Jenderal Prakasa pasti akan marah jika aku sampai mengkhianati keponakannya demi kamu, Widya. Aku akui, aku salah. Tapi, dengan kekuatan SABDA-ku, aku akan membungkam tua bangka itu,” ujar Sakti sambil membelai lembut pipi Widya.Di ruang kerja Sakti—yang sebenarnya adalah ruang kerja pimpinan tertinggi markas yang Sakti duduki, memang hanya ada Sakti dan Widya. Hal itu membuat Sakti bebas melakukan apa saja yang ia inginkan terhadap Widya. Apa pun. Termasuk menikmati kebersamaan yang dahulu tak berani Sakti raih saat Widya belum berlabuh ke hati Rinto.Namun, sekarang, tidak ada orang yang dapat menghentikan keing
Melihat keadaan Sarah dan Rinto membuat Rimba jadi ingin memaki. Ingatannya melayang saat ia dan Widya menembaki pasukan Sakti dari puncak pohon kelapa. Pada awalnya Rimba merasa bersalah karena menembaki orang yang terhipnotis. Namun, apakah pasukan Sakti itu memang benar-benar tidak sadar saat mereka menyakiti orang lain, sehingga mereka juga ‘pantas’ untuk disakiti?“Rinto belum bisa bicara sekarang ini. Tapi dia senang mendengar suaramu,” kata Sarah setelah menggantung pada jeruji lagi.Rimba mengangguk. Air matanya kembali tumpah. Bedanya, air mata kali ini juga adalah hasil dari kemarahan dan dendam yang merasuk ke jiwanya.“Jangan nangis, dong,” bujuk Sarah. “Kau harusnya senang melihat kami lagi. Oh iya, di mana Widya?”Seketika, air muka Rimba berubah saat nama Widya disebut. Rinto memang lega karena dapat bertemu dengan Sarah dan Rinto lagi. Tapi, bagaimana dengan Widya?Di sisi lain,
Dihajar dengan popor senapan umumnya akan menyebabkan seseorang akan langsung tak sadarkan diri. Bahkan koma jika tak langsung ditangani.Namun, Rimba bukan orang biasa. Dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kekar, sekalipun dipukuli dengan popor senapan, ia tidak tumbang. Saat dilempar ke dalam sel, ia masih sadar meskipun harus menahan sakit di sekujur tubuhnya.Pasukan suruhan Sakti juga tidak melepaskan borgol di tangan Rimba, sehingga Rimba tidak leluasa bergerak. Sekalipun Rimba sebenarnya bisa melepaskan diri dari belenggunya, ia memilih pasrah. Sebab, ada kamera yang mengawasi gerak-geriknya.Rimba tidak tahu Widya dibawa ke mana. Sebab, mereka dibawa menggunakan mobil yang berbeda. Sakti tentu saja akan memanfaatkan kesempatan bisa bersama dengan Widya lagi, setelah sekian lama tidak bertemu.Gigi Rimba bergemeretak saat mengingat bahwa Widya bisa saja saat ini tengah bersama Sakti dan ….Bayangan buruk berkelebatan di benak Rimba.