"Sofia, Mas sedang berbicara denganmu, kamu dengar tidak?" tanya Adnan saat Sofia sama sekali tak menghiraukan keberadaannya.
Sofia membawa ke luar tas yang sudah disiapkan, ia berniat malam ini juga akan pulang ke kampung halaman sang Ayah.Tak peduli jika harus sendirian, daripada dia tersiksa bersama Adnan yang tak pernah menghargai perjuangannya selama ini sebagai seorang istri.Drrt ... drrt ... drrt ....Belum sempat Sofia mengangkat telepon, Adnan datang dan langsung merampasnya lalu melempar ponsel tersebut ke lantai.Prak!Bersamaan dengan itu tangan Sofia melayang ke pipi milik Adnan.Plak!"Mengapa kau hancurkan ponselku, Mas! Tahukah kamu, hanya di ponsel itu kenangan ibuku. Hanya di ponsel itu aku bisa melihat Ibu selalu! Kenapa kamu selalu menghancurkan kebahagiaanku!""Tak cukupkah selama ini, semua perlakuan buruk yang kalian lakukan padaku." Sofia menatap Adnan dengan nyalang, lalu ia bergegas mengumpulkan serpihan ponsel yang pecah."Kita bisa memperbaikinya, Sofia. Aku hanya tak suka melihatmu yang memperlakukanku seolah-olah tidak ada! Di mana hormatmu kepada suami sendiri?" tanya Adnan yang nada suaranya mulai melemah."Tanyakan pada dirimu sendiri, di mana letak keadilanmu sebagai seorang imam dalam rumah tangga. Kau bilang ingin memperbaiki ini?" tanya Sofia sambil berbalik dan menunjukkan ponselnya yang rusak."Tidak perlu, aku tak yakin kau bisa memperbaikinya. Karena yang aku tahu selama ini, jangankan memperbaiki ponsel ini, memenuhi kebutuhan keluargamu di rumah saja kau tak bisa!" ketus Sofia lalu kembali melangkah meninggalkan pekarangan rumah. Adnan hanya diam terpaku saat Sofia sudah pergi menaiki taksi yang dia pesan."Ah biarlah, paling juga dia nanti balik lagi. Apalah dia kalo bukan karena aku, dia pasti tak akan bisa meninggalkanku begitu saja." Adnan lalu memijat keningnya yang terasa sakit. Ia tak terlalu mempersoalkan jika Sofia ingin pergi, mungkin Sofia ingin menenangkan diri, itu yang saat ini ada dalam pikiran Adnan.Adnan lalu menutup pintu rumahnya dan bergegas pulang ke rumah ibunya.***Di perjalanan Sofia menatap ponselnya yang tak lagi seperti semula. Perasaan pedih menjalar begitu saja saat dia mengingat bahwa kenangan yang tersimpan tentang sang Ibu hanya ada dalam ponsel ini. Rekaman video sang Ibu saat Sofia masih dalam kandungannya, semuanya ada dalam ponsel yang dibilang jadul ini."Pak, nanti tolong singgah ke tempat untuk memperbaiki ponsel, ya." Tukang ojek itu mengangguk mengiyakan, Sedangkan Sofia masih dengan keadaan risau takut ponsel ini tak dapat diperbaiki lagi.Saat sedang memperbaiki ponsel, Sofia tak sengaja bertemu dengan Adinda, teman Mas Adnan, pemilik tempat ini. Adinda menatap Sofia yang terlihat kebingungan."Sofia, kamu sedang apa di sini?" tanya Sofia sesaat setelah berjalan mendekat."E-em, aku ingin memperbaiki ponsel ini, apakah masih bisa?"Adinda memperhatikan ponsel itu secara teliti. Ia lalu menatap Sofia sambil tersenyum."Susah untuk memperbaiki ponsel itu, Fia. Kalo kamu mau, aku bakalan rekomendasikan ponsel yang lain. Pasti kamu suka," kata Adinda lagi. Saat mendengar penuturan Adinda, Sofia langsung terduduk menangis.Adinda refleks segera mensejajarkan dirinya denganku, lalu membawaku dalam pelukannya."Ada apa, Sofia?" tanya Adinda dengan lembut."Aku perlu ponsel itu untuk menelepon ayahku, Din. Selain itu, kenangan Ibuku dan rekam videonya juga ada di ponsel itu. Bukan masalah baru atau lama, tapi tentang berapa berartinya ponsel itu untukku." Sofia semakin mengeratkan pelukannya pada Adinda, ia menangis tersedu tak lagi peduli pada tatapan di sekitarnya."Aku akan mencoba memperbaikinya, Fia. Sudah jangan sedih, pulanglah dulu, besok kembali lagi ke sini," ucap Adinda yang membuat Sofia melepaskan pelukannya."Aku rencananya akan pulang ke kampung halaman Ayah sekarang, makanya sebelum pulang, aku menyempatkan diri terlebih dahulu singgah untuk memperbaiki ponsel ini," tutur Sofia pada Adinda. Adinda menatap dalam manik mata milik Sofia."Walaupun bisa diperbaiki, ponselmu tetap tak akan bisa diambil malam ini, Fia." Adinda tetap bersikukuh menyuruh Sofia untuk pulang terlebih dahulu ke rumahnya, rumah dia dan juga Adnan."Kamu tak paham, Adinda." Sofia menatap kosong ke luar toko sambil memperhatikan tukang ojek yang sedang menunggunya."Kamu ... pergi dari rumah kah?" tanya Adinda sesaat setelah mengikuti pandangan Sofia."Iya." Singkat jawaban yang diberikan Sofia, tetapi mampu menimbulkan banyak tanya dalam benak Adinda."Pulanglah dulu ke rumahku, kamu bisa pulang sekalian dengan ponselmu nanti. Setidaknya untuk malam ini. Sekarang sudah larut malam, aku takut suatu hal buruk terjadi padamu." Sofia menatap Adinda, entah kenapa ia takut jika Adinda akan memberitahukan Adnan bahwa dia tinggal di tempatnya."Aku janji tak akan memberitahukan suamimu. Ikutlah pulang bersamaku malam ini," kata Adinda lagi dengan baik-baik. Tanpa dijelaskan oleh Sofia, Adinda mengerti bahwa saat ini Sofia dalam masalah keluarga.Namun Adinda juga tak ingin bertanya lebih banyak, takut mengganggu Sofia dan membuatnya tak nyaman."Baiklah, tapi aku mohon jangan beritahukan ini pada Mas Adnan, ya." Sofia berujar dengan tatapan memelas."Iya," jawab Adinda lalu mengajak Sofia untuk ikut pulang bersama dengannya.Awalnya Sofia dan Hafiz berencana berangkat malam itu juga, tapi karena ada satu dua hal akhirnya mereka tak jadi berangkat pada malam hari.Di sinilah Sofia berada, dia duduk di samping brankar milik Lisa. Sofia diberi kabar bahwa keadaan Lisa saat ini sangat memprihatinkan. Dari tadi air matanya tak kunjung reda, bagai hujan yang terus menerus turun membasahi bumi."Lili, Mbak Sofia sudah datang. Kenapa tak bangun, katanya kamu mau bertemu dengan Mbak. Lili maafkan, Mbak, maafkan atas ucapan Mbak yang membuat kehidupanmu menjadi seperti ini," ucap Sofia terdengar lirih. Hanya ada ia dan juga Lisa di dalam kamar rumah sakit ini."Mbak nggak nyangka kamu harus menderita penyakit yang jahat ini. Kenapa nggak pernah bilang sama Mbak, Lili. Andai saja kamu bilang dari awal, mungkin penyakitmu tak akan separah ini, Dek," ujar Sofia sambil menggenggam tangan Lisa dengan penuh harapan agar Lisa kembali bangun."Mbak sudah memaafkanmu, Dek, Mbak ikhlas dan ridha, lagipula selama menjadi adik
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
Sudah hampir dua minggu Hafiz sudah tak lagi menganggu Sofia. Selama itu juga Sofia merasa ada yang hilang. Bahkan, Hafiz bertamu ke rumah Sofia jika Sofia sudah tak ada di rumah."Assalamualaikum.""Wa'alakumsalam warahmatullah," sahut Habibi dan Hafiz serentak. Hafiz yang melihat Sofia pulang, bangkit dari duduknya."Ayah, Hafiz pulang dulu, ya. Nanti Hafiz akan sering-sering mampir lagi ke rumah Ayah," ucap Hafiz tanpa menoleh pada Sofia.Hafiz melalui Sofia sambil menganggukkan kepalanya."Hafiz," panggil Sofia yang melihat ada banyak perubahan pada diri Hafiz."Ya, Sofia, ada apa?" tanya Hafiz sekenanya."Apa aku ada berbuat salah?" tanya Sofia. Entah mengapa dia tiba-tiba mengeluarkan kalimat seperti itu. Melihat sikap Hafiz beberapa Minggu ini membuat Sofia merasa hampa. Seperti ada yang tak beres."Tidak ada. Memangnya kenapa?" Hafiz kembali bertanya pada Sofia."Aku merasa kamu berubah," ucap Sofia menatap Hafiz dengan penuh arti."Aku tidak berubah, Sofia," ucap Hafiz sambil
Hari sudah mulai larut suasana duka menyelimuti keberadaan keluarga Adnan, saat ini Romlah sedang berbaring di ranjang. Karena beberapa kali ia pingsan saat melihat sang putri memasuki liang lahat, bahkan mungkin ia juga lelah karena sempat berdebat dengan putri bungsunya. Bukan berdebat lebih tepatnya, dia marah.Saat ini Adnan duduk termenung di sofa, sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Perasaannya berkecamuk, bercampur aduk menjadi satu. Hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata lagi. Adnan mengingat kejadian yang membuatnya hampir lepas kendali. Ia merasa sangat bersalah pada adik kecil kesayangannya.Namun di sisi lain, dia senang karena ada seseorang yang membela adik kecilnya saat dalam keadaan yang benar-benar terpuruk."Untuk apa kamu kemari, hah?!" Romlah begitu murka saat melihat Lisa datang saat Rani mulai dimandikan."Anak durhaka kamu, untuk apa lagi kamu kembali. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus kehilangan putri tersayangku.""Ibu." Adnan menatap
"Adnan, ada apa dengan mbakmu?" tanya Romlah yang masih tidak mengerti. "Apa kamu sudah menemukan mbakmu, di mana dia? Ibu akan memarahi dia karena sudah mengambil sertifikat rumah dan juga menggadaikannya." Romlah dengan geram berkata seperti itu."Ibu, Mbak Rani sudah tidak ada." Adnan memegang telapak tangan ibunya. Romlah mengernyitkan keningnya."Tidak ada bagaimana, Adnan? Kamu lagi ngelantur, ya. Kamu kangen ya sama mbakmu?" tanya Romlah sambil meletakkan telapak tangannya di kening milik Adnan."Adnan tidak sakit, Bu, yang menelepon Adnan tadi adalah anggota kepolisian yang mengatakan bahwa mayat milik Mbak Rani ditemukan di hotel ***," ucap Adna yang membuat Romlah shock dan langsung terduduk di lantai.Romlah menatap Adnan mencari kebohongan pada putraya. "Tidak mungkin, Adnan, pasti mereka salah memberikan informasi pada kita," ucap Romlah yang masih enggan untuk percaya, padahal di hati kecilnya dia sangat takut jika itu benar-benar terjadi pada putri kesayangannya."Mak
Sudah hampir tiga hari lamanya Lisa pergi dari rumah, selama itu juga Adnan sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Bahkan, saat dia ke tempat kerja Lisa, dia sama sekali tak menemukan Lisa di sana."Ya Allah Lisa, kemana perginya kamu, Dek," ucap Adnan di dalam mobilnya, ia mengusap wajahnya dengan kasar."Harusnya aku lebih memperhatikan adikku, dia sekarang pasti sangat terpukul atas kata-kata Ibu. Bahkan, saat Lisa pergi pun Ibu sama sekali tak peduli," gumam Adnan berbicara pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi Abang dan juga sebagai anak. Dia merasa sangat hancur melihat seberapa berantakannya keluarganya sekarang. Sedikit terbesit, apakah ini artinya sumpah Sofia sedang bekerja. Namun, ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tak percaya akan itu semua.***"Sofia, apa benar ada guru baru di Madrasah?" tanya Hafiz yang tiba-tiba sudah ada di rumah Sofia saat Sofia baru pulang bekerja."Iya, benar." Sofia hanya menjawab singkat, dia sedikit canggung berhadapan dengan Hafiz apa
"Biarkan saja, Ibu sudah tidak peduli dengan anak durhaka itu. Semenjak kelahiran dia, ekonomi kita menurun. Bahkan Ibu merasa kehadirannya hanyalah sebagai pembawa sial, sama seperti mantan istrimu itu ... Sofia!""Ibu, berhenti berbicara seperti itu. Adnan tidak suka Ibu mengatakan seperti itu pada Lisa. Adnan sakit hati mendengarnya, bisa tidak? Sekali saja Ibu memahami perasaan Lisa." Adnan berbicara tegas pada Romlah. Romlah hanya mengerlingkan matanya, bosan mendengar perdebatan yang daritadi tak kunjung selesai.Sebagai orang tua, dia sama sekali tak ingin mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang salah pada dirinya, selalu merasa diri adalah orang yang paling benar di antara orang termuda.Sedangkan Lisa, dia menangis dari balik pintu. Meski sekarang sudah berada di dalam kamar, masih terdengar jelas perdebatan yang dilakukan Abang dan ibunya sendiri."Ibu kok jahat banget sih ngatain aku gitu, capek banget aku hidup kayak gini. Nggak ada aturannya sama sekali, nggak ada yang bis
"Kamu marah sama Ibu Adnan, kamu lupa siapa yang dulu mengajarimu bicara. Sekarang nada bicaramu lebih tinggi daripada Ibu.""Sakit sekali hatiku, Tuhan. Anak-anakku sama sekali tidak ada yang peduli dengan nasibku, bahkan mereka dengan secara sengaja menyakitiku begitu saja."Romlah menangis histeris, bukan tangis sesungguhnya dia sekarang sedang bersandiwara karena ingin mendapatkan rasa iba dari anak-anaknya."Bukan begitu, Bu. Adnan tetap peduli pada Ibu, jika Adnan tidak peduli dari dulu sudah Adnan telantarkan Ibu. Namun, buktinya kan sekarang Adnan rela rumah tangga Adnan hancur karena rasa bakti Adnan pada Ibu.""Jadi, kamu menyalahkan Ibu atas hancurnya keluargamu, begitukah?""Adnan, Sofia itu memang tidak pantas untukmu. Dia itu wanita kampungan, tidak sederajat dengan kita. Lagipula, dia juga tak bisa menyenangkan hati Ibu, kerjanya hanya menjadi bebanmu saja.""Bukannya berpikir untuk mencari cara supaya bisa mencari uang untuk membantu perekonomian, ini malah nambah-namba