Semenjak Alia menikah, aku memang lebih suka tinggal di Surabaya. Karena saat tinggal di rumah mama membuatku selalu teringat dengan adikku. Dan berulang kali rasa sakit itu muncul saat mengingat kenangan manis bersama Alia. "Kamu tidak ke kantor Al?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Agak siangan Bang, kenapa? Mau anterin?" "Boleh, Abang pengen mencari bukti lebih lanjut. Ku rasa ada baiknya jika lapor polisi Al,"Alia terdiam, seperti tengah memikirkan sesuatu. Apa dia keberatan jika Alvan masuk penjara. Mungkinkah masih ada cinta untuk lelaki tak tahu diri itu? "Sebenarnya aku ingin bermain-main dulu Bang. Tapi lebih baik kita laporkan saja ke kantor polisi. Aku ingin hidup lebih tenang.""Nanti abang urus tentang laporan ke kantor polisi. Kamu terima beres." Alia tersenyum menampakkan gigi putihnya. Beberapa saat kami terdiam, aku masih memperhatikan Alia. Cantik saat dilihat dari samping. Apalagi tanpa menggunakan hijab. Astaga apa yang aku pikirkan? "Kamu sudah sarapan, Za
Meninggalkan rumah yang enam tahun kutempati dengan kesal. Harga diriku hancur di hadapan Alia. Dan dari mana ia tahun jika aku sudah menikah lagi? Argg.... Rencana yang telah kususun rapi hancur berantakan. Sekarang bagaimana nasibku. Uang hanya tinggal tiga juta dalam dompet. Sementara kartu debit dan kredit telah dibekukan Alia. Untung saja aku masih memiliki uang dua puluh juta di brankas rumah Mega. Tapi itu tak akan bisa menghidupi Mega dengan gaya yang bak sosialita. Padahal uang tak ada. Pasti Mega akan mengamuk jika tahu aku tak bisa merayu Alia lagi. Menyalakan mesin motor butut, meninggalkan rumah penuh kenangan. Kenangan indah dengan Alia. Di rumah itu aku diperlakukan bak raja. Namun kini hanya tinggal kenangan. Bodoh! Kenapa aku tak cepat bergerak untuk menguasai perusahaan itu. Kujalankan motor dengan kecepatan sedang. Sinar mentari yang mulai nampak menyentuh kulit yang tak memakai jaket. Dulu tak perlu aku kepanasan atau kehujanan tapi sekarang aku harus terbiasa
Mega duduk lemas di sampingku. Menatapku dengan tatapan tajam. "Kenapa dia mengugat cerai kamu, Mas? Bukankah kesalahan kamu hanya korupsi tidak lebih?""Dia sudah tahu aku menikah lagi.""Apa!"Mega semakin frustasi, beberapa kali mengacak rambut hingga membuat tampilannya acak-acakan, sudah seperti orang gila yang lewat di jalan. Sesaat kami diam memikirkan solusi untuk masalah ini. Kepala semakin berdenyut saat membayangkan aku jatuh miskin. Tak ada lagi harta yang bisa ku banggakan. Semua lenyap dalam sekejap.Kenapa kenikmatan ini hanya sekejap. Rumah ini belum lunas. Mobil sudah ditangan Alia. Lalu bagaimana nasibku selanjutnya? Teringat uang dua puluh juta itu. Semoga Mega tak menghabiskannya. "Dimana uang dua puluh juta yang ada di dalam brankas?" Ku tatap tajam manik Mega yang dulu selalu membuatku rindu. "Sudah habis untuk beli tas," jawabnya santai seperti tak merasa bersalah. "Tak ada sisanya?""Tinggal lima ratus ribu.""Astaga Mega! Uang segitu banyak kamu habiska
Pov Alvan"Bangun, Mas! Bangun!" teriak Mega tepat di telingaku. Telinga sampai berdenging mendengar suara cempreng istri keduaku itu. Aku buka mata, kepala terasa berdenyut karena mendengar suara Mega. Pusing. Mega menatap tajam sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Pagi-pagi bukan dibuatkan kopi tapi sudah disambut paduan suara. "Bangun, Mas! Ini sudah jam sepuluh dan kamu masih enek-enak tidur!"Aku lihat benda bulat yang menempel di dinding. Memang benar jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Aku bangun kesiangan. Aku bangun terlambat bukan karena malas atau ingin bersantai tapi karena aku baru tidur menjelang subuh. Dari semalam Aira rewel dan Mega sama sekali tak perduli. Ia justru pindah ke kamar tamu, meninggalkan aku dan Aira di dalam kamar. Sudah dua hari yang lalu Mbak Ria kupecat. Apa lagi alasannya kalau tidak bisa membayar gaji. Mega sempat protes karena babysitter ku pecat. Karena itulah tugas Mbak Ria ku gantikan. Sempat ingin menolak tapi lagi-lagi Mega m
Pov AlvanSiang sudah berubah menjadi sore, kuputuskan untuk pulang. Badan juga terasa lelah butuh diistirahatkan. Kuparkir kan motor di halaman rumah. Halaman rumah yang dulu bersih dan rapi kini terlihat begitu kotor. Banyak daun kering berserakan. Tanaman di pot juga mulai layu karena tak mendapatkan air. Dengan kesal ku nyalakan kran lalu menyiram tanaman. Kasihan jika sampai mati. "Sudah pulang kamu, Mas?" "Baru saja.""Sudah dapat kerjaan?" Aku menggelengkan kepala, seketika wajah Mega menjadi masam. "Gimana sih Mas? Cari kerja saja gak becus. Kita mau makan apa kalau kamu gak kerja!" omelnya sambil menatap nyalang ke arahku. Aku diam tanpa menjawab. Memang dia pikir mencari kerja jaman sekarang mudah? Suami capek cari kerja, eh sampai rumah justru kena omel. Lelah rasanya selalu seperti ini.Kutinggalkan Mega dengan wajah masam. Masuk ke kamar tamu lalu mengunci pintu rapat. Kujatuhkan tubuh di atas ranjang. Tak ku perdulikan Mega yang terus saja mengomel. Rasa lelah memb
Pov AlvanTok.. Tok... Tok.... Suara pintu di ketuk dari luar. Siapa yang bertamu? Rasa penasaran membuatku melangkah ke depan. Mataku membola saat melihat dua orang lelaki berbadan tegap memakai seragam polisi berdiri di depan pintu. Kutelan saliva dengan susah payah. Perasaanku menjadi tak enak saat melihat dua polisi itu. Apa ini ada hubungannya dengan Alia? Ah, semoga tidak. Meski kemungkinan itu sangatlah kecil. "Apa ini benar kediaman Bapak Alvan Nugraha?" tanya seorang polisi bernama Awan. "I-iya, saya Alvan Nugraha. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sambil menahan rasa gemetar. "Kami membawa surat penangkapan Bapak atas tuduhan korupsi." Polisi yang bernama Awan menyerahkan surat penangkapanku. Kuhembuskan napas kasar. Menahan emosi agar memancing polisi berbuat kasar padaku. "Sial! Ternyata Alia tak main-main dengan ucapannya! Kukira dia hanya mengertak. Ini pasti karena campur tangan Rizal!" batinku kesal. "Siapa yang bertamu, Mas?" tanya Mega yang berjalan menghamp
Pov MiaKriingg.... Suara telepon menyentak ku dari lamunan. Segera ku angkat telepon kantor. "Mia, tolong ke ruangan saya!" perintah Bu Alia dengan suara tegas. "Baik, Bu," jawabku lalu panggilan telepon dimatikan sepihak olehnya. Dengan perasaan ragu aku melangkah menuju ruangan Bu Alia yang letaknya tepat di samping ruanganku. Ku ketuk pintu tiga kali hingga Bu Alia memintaku masuk ke dalam. Jantungku seakan berhenti berdetak saat melihat ada dua orang lelaki bertubuh tegap yang memakai pakaian khas polisi duduk manis di sofa. Perasaanku semakin tak enak saat Bu Alia memintaku duduk di sebelah mereka. DEG"Apa anda yang bernama Mia?" tanya seorang polisi dengan rahang tegas. "I-iya." jawabku terbata."Bisa ikut kami ke kantor polisi untuk menjadi saksi dalam kasus penggelapan dana perusahaan yang dilakukan oleh saudara Alvan."Aku terpaku. Tak tahu harus menjawab apa. Ya Tuhan, inikah akhirnya ceritaku? Lalu bagaimana nasib ibu dan adik-adik jika aku mendekam di penjara? "B
"Apa hubungan anda dengan Pak Alvan?""Dia atasan saya dan juga ....""Juga apa?" "Suami adik saya.""Apa!" teriakku lantang. Semua mata tertuju padaku. Hingga akhirnya seorang polisi memintaku menunggu di luar agar tak mengganggu proses penyelidikan. Hampir satu jam aku menunggu Mia. Rasanya tak sabar ingin mengorek informasi darinya. Apakah benar Mega adalah adik Mia? Tapi bukankah adik Mia hanya Ulfa, Rini dan Rio? Apa ini ada hubungannya dengan video yang diberikan Ibrahim beberapa hari yang lalu? Sejak kapan Mia memiliki rahasianya sebesar ini?Kepalaku pusing memikirkan semua masalah ini. "Mbak Alia," panggil seorang wanita yang sedari tadi ku tunggu. "Ada yang ingin aku tanyakan. Bisa ikut ke kantin sebentar?" Mia mengangguk lalu berjalan di sampingku. Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami seperti orang asing yang berjalan beriringan. Aku sendiri bingung harus berkata apa. Aku dan Mia duduk berhadapan. Sesaat kami diam hingga seorang wanita mud