“Ka … ka ….”
Erenst McCall mencoba untuk membuka mulutnya dan berbicara pada seorang wanita berparas ayu dengan tubuh seperti biola yang berdiri di sampingnya, Vanessa McCall. Beberapa kali Ernest mengerutkan alisnya menahan sakit akibat kesulitan untuk bernapas apalagi untuk bicara.
Namun pria ini tak menyerah, ia masih berusaha untuk mengangkat tangannya untuk mengambil masker hidung yang terhubung dengan tabung oksigen.
“Kau ingin ini? Ha ha coba saja kalau bisa!” seru Vanessa McCall wanita yang ia nikahi hampir sepuluh tahun lamanya.
Masker hidung itu memang berada di tangan Vanessa, dan itu memang sengaja dilakukan olehnya. Vanessa sudah muak dengan Ernest yang terus menerus berbaring lemah di tempat tidur.
Wanita berambut warna tembaga itu pun menjatuhkan masker hidung yang biasa dipakai suaminya ke lantai. Kemudian ia tertawa dengan keras, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kau ingin mengatakan sesuatu Ernest ku sayang?” tanyanya dengan angkuh.
“Vanessa kumohon kembalikan maskerku. Aku tak bisa hidup tanpa benda itu,” teriak Ernest dalam hati.
Usia Ernest memang terbilang masih muda. Usia matang bagi seorang lelaki, masih empat puluh lima tahun.
Seharusnya pria ini berdiri dengan gagahnya dan merasakan indahnya berada di puncak kesuksesan bisnis yang telah ia bangun selama ini. Namun tidak dengan Ernest, ia justru terbaring lemah di tempat tidurnya sejak dua tahun yang lalu.
Semua berawal dari Ernest yang seringkali merasakan pusing pada kepalanya, hingga tubuhnya mudah sekali kelelahan. Saat itu Vanessa membawanya untuk ke dokter dan ia hanya diberikan vitamin.
Ernest tentunya berharap agar keluhan pada fisiknya segera teratasi. Namun ternyata itu hanyalah harapan. Berkali-kali ganti dokter, tapi tak satupun berhasil menyembuhkan penyakitnya. Justru keadaannya semakin buruk. Puncaknya delapan bulan lalu tubuhnya mulai lumpuh dan kesulitan dalam bernapas.
Perusahaan McCall Enterprise yang ia dirikan pun akhirnya dikelola oleh Vanessa. Istrinya memegang penuh kendali atas perusahaannya, karena tiap kali Ernest mencoba berpikir kepalanya terasa sangat pusing, dan jantungnya terasa melemah.
Kali ini Ernest menatap istrinya yang tengah berdiri di samping ranjangnya. Ini kali pertama ia melihat Vanessa bertindak tak biasa.
Wanita bermata biru yang ia nikahi ini selalu bersikap lembut dan penuh kasih padanya, terutama di saat tubuhnya mulai sekarat. Ia tak pernah mengira kalau Vanessa akan berani mencabut masker hidungnya dan membuangnya ke lantai seperti saat ini.
“Ha ha, kenapa Ernest? Kau kaget melihatku bisa melakukan ini? Dasar kau pria bodoh yang tak berguna!”
Seorang pria seumuran Ernest pun masuk dari pintu kamar yang memang terbuka. Pria itu terlihat gagah dan tegap, kulitnya kecokelatan dengan jambang tipis di pipinya.
Ini pertama kali Ernest melihatnya secara langsung, tapi di surat kabar ataupun televisi ia sudah sering melihat pria itu. Dialah Leon Ramford, yang biasa disebut Tuan atau Don Ramford seorang pebisnis sekaligus pimpinan dunia bawah tanah.
Leon Ramford sama sekali tak memiliki sopan santun di hadapan Ernest. Bahkan ia tak ragu untuk memeluk pinggang ramping istrinya dan mengecup wajah Vanessa yang halus seperti pualam.
Pemandangan ini tentu membuat batin Ernest terkoyak, ingin sekali ia marah dan memukul Ramford yang berani-beraninya bermesraan dengan istrinya yang cantik. Terlebih lagi Vanessa sama sekali tidak menolak apa yang dilakukan Ramford, ia justru membalas belaian dan ciuman mesra itu.
“Sial! Vanessa kenapa kau diam saja. Kau harus marah, pukul dia Vanessa!” omel Ernest dalam hati.
Apa daya tubuhnya begitu lemah, sangat sulit untuk digerakkan. Semakin ia mencoba mengangkat tangannya, semakin sesak dadanya untuk bernapas.
“Vanessa … apa yang kau lakukan? Jangan Vanessa!” sekali lagi batin Ernest berteriak.
“Kau cemburu ya Ernest? Ayo akui saja kalau kau cemburu melihat kedekatanku dengan Ramford. Baiklah agar kau tak mati penasaran aku akan jelaskan semua kepadamu. Aku dan Ramford sudah lama menjalin hubungan, hmm kurang lebih tiga tahun lamanya,” kata Vanessa dengan bangga dan semakin membuat dada Ernest terasa sakit.
Pasangan selingkuh itu kembali berciuman di hadapan Ernest yang sekarat, kemudian Vanessa berkata kembali,
“Kau tahu Ernest, selama ini obat-obat yang kau minum adalah obat palsu yang mengandung arsenik, itulah sebabnya tubuhmu semakin lemah. Kau ingin tahu bagaimana kau mendapat obat itu. Tentu saja atas bantuan kekasihku, Leon Ramford yang begitu hebat dan berpengaruh, hingga semua dokter meracik obat yang mengandung arsenik,” jawab Vanessa culas.
“Sial! Jadi ini semua ulahmu Vanessa!” amuk Ernest dalam hati.
Tatapan matanya yang tadi penuh harap pun berubah tajam ke arah Vanessa dan kekasihnya. Pengkhianatan yang diterimanya ini benar-benar menyakitkan.
Leon Ramford mendekatkan tubuhnya pada pria yang kini terbaring tak berdaya di hadapannya. Mulutnya hanya berjarak dua inchi dari telinga Ernest, lalu membisikkan sesuatu di sana.
“Kau tenang saja, aku akan menjaga istrimu yang cantik setelah kau mampus. Akan kunikmati tiap saat menyentuh kulit halus dan aroma tubuhnya yang begitu menggoda, tentu saja dengan semua uang yang telah kau kumpulkan. Mengenai kedua anakmu, nanti akan kupikirkan lagi, karena aku tak menginginkan kehadiran mereka.”
“Ti … ti,” Ernest tak bisa melanjutkan kalimatnya, dadanya terasa sakit dan tubuhnya mengejang. Sementara Vanessa dan Leon keluar dari kamar itu sambil tertawa.
***
Leon menuangkan champagne pada gelas berkaki dan memberikannya pada Vanessa yang tengah duduk di sofa ruang tengah mansion Ernest yang megah.
“Silakan cantik,” katanya sambil membungkuk pada wanita yang duduk menyilangkan kaki.
“Terima kasih sayangku,”
Mereka berdua pun bersulang dengan penuh kemenangan dan tertawa dengan begitu bahagia.
“Untuk akhir hidup Ernest yang tragis!” seru Vanessa.
“Untuk kekayaan kita yang melimpah!” seru Leon.
Kedua sejoli itu pun tampak asyik menikmati minuman mahal dalam genggaman mereka, tak mempedulikan Olive dan Daniel, kedua anak Vanessa dengan Ernest yang berteriak di kamar sang ayah. Saat sedang bercengkrama, ponsel di saku jas Leon Ramford pun bergetar mengganggu kemesraan pasangan laknat itu.
“Tunggu sebentar Sayang, ini dari anak buahku dan aku harus menjawabnya,” katanya meminta ijin.
Leon Ramford pun segera berbicara pada anak buahnya yang menelepon, tanpa perlu menyembunyikan dari Vanessa. Wanita yang ia kencani sudah tahu segala hal tentangnya termasuk semua bisnis gelap yang dimiliki.
“Hmm, jadi seperti itu ceritanya. Kau urus saja semuanya, aku mau terima beres!” perintah Don Ramford pada anak buahnya.
Vanessa menoleh pada kekasihnya yang sekarang wajahnya tampak sedikit menegang. Jelas wanita itu terlihat khawatir.
“Kenapa Sayang?”
“Huh hanya masalah kecil, Cantik. Salah satu anggota tim pengawalku mengalami kecelakaan beruntun di batas kota. Sebenarnya berita tentang kecelakaannya tidak begitu penting bagiku karena ia hanya bawahan.”
Vanessa masih menatap kekasihnya dengan matanya yang biru. Ia menunggu keterangan lebih lanjut dari Ramford.
“Hanya saja si bodoh itu membawa salah satu mobil terbaikku dan sekarang mengalami kecelakaan. Untunglah mobil itu dilengkapi dengan asuransi, dan kuminta anak buahku yang lain mengurusnya.”
“Hmm lalu apa pengawalmu masih hidup?”
Ramford menganggkat bahu, “Entahlah, siapa juga yang peduli denngan Maxim si pengawal tak berguna itu?” balas Ramford sambil meminum champagnenya lagi.
Di batas kota... Lalu lintas terpaksa ditutup oleh petugas polisi. Hanya ada mobil polisi dan ambulance saja yang diperbolehkan berada di sana. Keadaan di sana begitu ricuh, sebuah sean mewah dengan logo macan kumbang tampak terbalik dan nyaris saja masuk ke jurang. Di depannya ada pohon besar yang baru saja tumbang dan menimpa bagian mobil mewah itu. Di belakangnya tampak truk trailer yang oleng akibat tabrakan yang barusan terjadi. Dalam mobil hitam itu tampak seorang lelaki muda yang masih mengenakan sabuk pengaman dan tak sadarkan diri. Wajahnya penuh darah akibat pecahan kaca, bahkan sebagian kepalanya nyaris keluar melalui jendela samping. Petugas terlihat sedikit kesulitan untuk mengeluarkan lelaki itu. Lelaki yang celaka itu Maxim, salah satu pengawal Don Ramford yang saat itu mendapatkan tugas untuk membawa mobil mewah itu ke bengkel dan melakukan service reguler. Maxim memang bersta
Ernest menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia dengar.“Tidaaak itu tidak mungkin!” serunya.Pria yang baru ditemuinya hanya berdiri terdiam. Dia adalah Ron salah satu penghuni asli dari langit yang memiliki peran untuk mengantarkan arwah menuju area penghakiman. Tempat mereka akan bertemu dengan raja langit yang akan memberikan penilaian pada mereka yang telah terpisah dari jasadnya.“Ayo ikut aku!” ajak Ron pada Ernest yang masih meratapi nasibnya sekarang.Dengan cepat pria berambut pirang ini bangkit dan mendekati tubuh Ron. Dengan tenaga yang ia miliki, ia pun mengguncang-guncang tubuh Ron yang berdiri di hadapannya.“Kau akan membawaku kembali ke bumi kan? Aku tidak pantas untuk mati kan?” tanya Ernest penuh harap.Sayang sekali Ron hanya menggelengkan kepala. Se
Ernest mendongakkan kepalanya begitu mendengar pernyataan dari Raja Langit. Tanpa berpikir panjang, ia pun mengangguk dan mengatakan bahwa ia akan menerima apapun syaratnya asal bisa kembali ke bumi.Saat ini yang ada dalam pikiran Ernest adalah menyelamatkana kedua buah hatinya dari tangan serakah Vanessa dan Ramford. Ia harus merebut kembali harta kekayaannya dan memberikan semuanya pada Olive dan Daniel, kedua orang yang paling berhak dalam mengelola harta kekayaannya kelak.“Apapun syaratnya Yang Mulia, saya akan melakukannya. Saya hanya ingin menyelamatkan anak-anak saya,” katanya.“Hmm, jadi kau benar-benar ingin menyelamatkan anak-anakmu? Kau tahu kalau kau kembali ke dunia, maka kehidupanmu tak akan lagi mudah?” tanya Raja Langit.“Selama itu bisa menyelamatkan kedua anakku maka aku tak akan mempedulikan apapun,” jawab Ernest mantap.Ra
“Suster … suster tolong suami saya, ia sama sekali tidak bergerak!” pinta Jade saat ia tiba di ruang perawat yang tampak subuk mengurus adiministrasi pasien.Ekspresi campur aduk tergambar jelas di wajah perempuan yang saat ini rambutnya tampak berantakan. Panik, sedih semuanya bercampur jadi satu. Perawat berkulit gelap di hadapannya mengangkat wajahnya dan menanggapi Jade.“Apa yang bisa kami bantu Nyonya? Tolong bicaralah pelan-pelan.”Jade mengambil napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Kemudian ia mengatakan pada perawat yang bertugas mengenai kondisi suaminya. Sebagai seorang perawat, tentunya tahu apa yang terjadi pada suami Jade. Namun ia mencoba untuk tidak membuat perempuan di hadapannya semakin panik dan sedih.“Tunggu sebentar Nyonya, saya akan memanggil dokter jaga untuk memeriksa keadaan suami Anda,” kata perawat itu dengan maksud membuatn
Lelaki yang terbaring itu merapatkan alisnya yang tebal dan menatap tajam ke arah dokter Harris yang baru saja menyapanya.“Hah memeriksaku? Bukankah barusan,-” Ernest yang berada di tubuh Max tak melanjutkan ucapannya.Dokter Harris pun tersenyum, ia seperti sudah mengambil kesimpulan kalau kecelakaan yang baru saja dialami oleh pasien di hadapannya. Dokter Harris menganggap pasiennya kali ini tengah mengalami shock akibat benturan yang terjadi di kepalanya, hingga berpikir aneh atau mungkin berhalusinasi.“Saya periksa dulu,” kata dokter Harris.Dokter yang rambutnya sudah mulai kelabu itu pun mulai melakukan pemeriksaan. Menempelkan stetoskop pada tubuh lelaki yang terbaring, kemudian memperhatikan monitor di sampingnya.“Semuanya normal, ini sangat aneh, kenapa bisa terjadi seperti ini?” gumamnya.“Apa ada masalah
Sadar telah membuat kesalahan Ernest pun memegangi kepalanya. Ia berpura-pura merasa pening hingga membuat perempuan yang tengah menungguinya bereaksi pada keadaannya dan melupakan apa yang baru saja ia ucapkan.“Sayang, ada apa?” raut kekhawatiran terlihat jelas di wajah bulat perempuan di sampingnya.“Tidak … tidak aku … aku hanya merasa sedikit pusing,” jawabnya berbohong.“Oh bagian mana yang sakit, apa perlu kupanggilkan dokter untukmu?” tawar Jade.“Tidak … tidak perlu, sepertinya aku harus istirahat.”“Kau yakin?”“Tentu aku yakin.”Max pun kemudian mencoba menoleh ke samping dan memejamkan kedua matanya. Ia belum siap untuk lama-lama melihat Jade di sampingnya. Bukan karena penampilan Jade, sebenarnya perempuan ini cukup menarik, meskipun
“Selamat datang di istana kita, sayang,” Jade membuka pintu rumah mungil yang berhasil mereka bangun sendiri.Rumah itu hanya satu lantai, dan memiliki satu buah kamar tidur dengan satu ranjang berukuran king size. Ruang keluarga terletak di depan kamar, yang dilengkapi dengan sebuah sofa panjang dan sofa single, serta televisi layar datar.Max berdiri mematung ketika Jade mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar. Perempuan bermata kelabu itu bermaksud untuk menyuruhnya beristirahat.“Eh di sini?” tanya Max yang tampak ragu-ragu.“Ya tentu saja di sini, bukankah kita biasa tidur di sini?” tanya Jade sambil tersenyum ke arah suaminya.Max masih saja diam, ia bingung apa yang harus ia lakukan. Ia berpikir sebaiknya ia tidur di sofa saja, tak mungkin dirinya tidur satu ranjang dengan perempuan asing. Tak mungkin juga ia yang tidur di kamar dan membi
Kedua anak kecil itu berjalan dengan kepala yang menunduk. Di depan mereka tampak seorang wanita bergaya sosialita dengan busananya yang mahal. Wanita itu tak sendiri, tapi seorang pria berjambang tipis merangkul pinggangnya yang ramping.“Hei cepat sedikit kalau jalan! Dasar kalian lamban!” seru pria yang merangkul pinggang ramping wanita sosialita itu.Wanita sosialita yang mengenakan gaun merah itu pun berbalik ke arah dan mengalungkan kedua tangannya pada leher pria yang bersamanya. Mereka sungguh terlihat romantis sekali.“Sayang, begitulah jika memiliki bibit dari pria bodoh yang tak berguna,” kata wanita itu sambil melirik ke arah kedua anak itu.“Ibu, kenapa bicara seperti itu? Kenapa belakangan ini Ibu selalu saja menghina ayah?” tanya anak yang perempuan.Wanita sosialita itu segera melepaskan tangannya dari leher pria di hadapannya.