Di batas kota...
Lalu lintas terpaksa ditutup oleh petugas polisi. Hanya ada mobil polisi dan ambulance saja yang diperbolehkan berada di sana.
Keadaan di sana begitu ricuh, sebuah sean mewah dengan logo macan kumbang tampak terbalik dan nyaris saja masuk ke jurang. Di depannya ada pohon besar yang baru saja tumbang dan menimpa bagian mobil mewah itu. Di belakangnya tampak truk trailer yang oleng akibat tabrakan yang barusan terjadi.
Dalam mobil hitam itu tampak seorang lelaki muda yang masih mengenakan sabuk pengaman dan tak sadarkan diri. Wajahnya penuh darah akibat pecahan kaca, bahkan sebagian kepalanya nyaris keluar melalui jendela samping. Petugas terlihat sedikit kesulitan untuk mengeluarkan lelaki itu.
Lelaki yang celaka itu Maxim, salah satu pengawal Don Ramford yang saat itu mendapatkan tugas untuk membawa mobil mewah itu ke bengkel dan melakukan service reguler. Maxim memang berstatus pengawal bagi Don Ramford. Namun dalam kenyataannya lelaki itu lebih sering diperlakukan selayaknya pesuruh yang selalu mengerjakan hal yang remeh.
Semua karena Maxim adalah pengawal yang paling lemah diantara yang lain. Lelaki itu mudah lelah dan tak pernah menang setiap kali ada latihan pertandingan bela diri. Saat latihan fisik pun ia selalu berada di urutan paling belakang.
Alasan yang membuat Don Ramford bersedia menerimanya sebagai pengawal adalah, karena lelaki itu memiliki kepatuhan yang tinggi, dan mudah untuk diperalat. Apalagi, saat itu Maxim memohon dengan sangat agar bisa diterima menjadi pengawalnya.
***
Perlahan Ernest membuka kedua matanya, kemudian menoleh ke arah kanan dan kiri. Sekelilingnya berwarna putih dan asing baginya. Bahkan ia bisa melihat kabut di depannya dengan jelas.
Kejutan yang ia terima tak hanya di situ, Ernest yang biasanya hanya berbaring lemah di ranjang empuknya pun bisa menggerakkan tangan bahkan duduk. Pria matang itu mengangkat telapak tangannya dan membolak-balikkannya.
Ia tersenyum lalu sedikit tertawa dan berkata, “aku … aku bisa duduk dan menggerakkan tanganku. Aku sudah membaik.”
Raut wajah yang cerah terlukis pada kulitnya yang putih. Ia mencoba mengangkat tangannya dan menyentuh wajah dan rambut pirangnya untuk meyakinkan diri kalau ia memang sudah bisa menggerakkan tubuhnya.
“Aku bisa … aku bisa melakukannya!” serunya sendirian.
Pria berusia kepala empat itu pun mencoba untuk menggerakkan kakinya dan menekuk lutut. Semuanya terasa ringan dan mudah untuk digerakkan. Wajahnya yang dulu selalu suram dan pucat karena penyakit yang dideritanya secara menahun pun sudah tak lagi ia rasakan.
Ernest melihat ke arah sekeliling lagi, mencoba mencari dimana tongkat penyangga yang beberapa bulan lalu pernah ia gunakan, tapi ternyata nihil. Ia tak menemukan apapun di sana selain kabut yang mengitari dirinya. Anehnya kabut itu terasa hangat menyentuh kulitnya yang pucat.
Pria bertubuh rata-rata itu pun mencoba untuk berdiri tegak, lalu melangkahkan kakinya yang telanjang secara perlahan, dan ia berhasil.
“A … aku bisa berjalan lagi? Ini sungguh ajaib,” gumamnya sendirian.
Ia pun melangkah lagi, sambil mencoba untuk memikirkan dimana ia berada saat ini.
“Tapi ini dimana ya? Apa aku di rumah sakit? Jika ya kenapa tidak ada alat-alat medis maupun brankar? Jika di rumahku, kenapa tak ada perabotan dan semuanya berwarna putih? Apa aku benar-benar sudah dibuang oleh Vanessa ke tempat yang jauh?” pikirnya sambil menahan amarah mengingat apa yang diam-diam dilakukan sang istri bersama Leon Ramford.
Tiba-tiba Ernest teringat akan kalimat terakhir yang dibisikkan oleh Leon Ramford beberapa saat lalu. Saat itulah tangannya mengepal kuat dan napasnya memburu. Amarah yang berkecamuk di dadanya begitu besar tiap kali ia mengingat perkataan Ramford di telinganya.
“Huh, persetan dengan dimana aku sekarang, yang terpenting saat ini aku harus mencari Olive dan Daniel. Mereka harus segera kuselamatkan dari kejahatan yang akan dilakukan oleh Vanessa dan Leon,” gumamnya kemudian melangkah ke sembarang arah.
Pria itu terus berteriak, meneriakkan nama kedua anaknya. Sementara Vanessa? Ia sudah tak peduli lagi akan nama itu. Sudah tak ada tempat bagi seorang pengkhianat seperti istrinya yang cantik itu.
“Olive … Daniel!” serunya, tapi tak ada jawaban sama sekali.
Ernest terus saja melangkah dan meneriakkan nama kedua anaknya. Lagi-lagi ia tak mendapatkan jawaban dan hanya melihat kabut putih yang terasa hangat di tubuhnya.
“Olive, Daniel kalian dimana? Ayo ikut ayah, kita akan hidup bersama dengan bahagia. Ayah akan selalu menjaga kalian semua!” teriaknya.
Entah berapa lama Ernest berkeliling di tempat asing itu. Berapa langkah kaki yang telah ia ciptakan dan hasilnya masih nihil. Ia pun menjatuhkan tubuhnya hingga posisi berlutut. Lelah dan mungkin frustasi karena tak menemukan kedua buah hatinya.
Saat itulah dari arah di depannya cahaya putih muncul dengan begitu menyilaukan, dan membuat Ernest harus menutupi sebagian matanya dengan telapak tangan. Cahaya itu pun perlahan-lahan meredup dan menampilkan bayangan seseorang yang berjalan diantara kabut yang hangat itu.
“Si … siapa disitu?” tanya Ernest.
Pria bermata cokelat itu pun mendekat ke arah bayangan yang berada di tengah kabut dengan langkah kaki yang lebar. Ia menginginkan jawaban dari apa yang berada di otaknya saat ini.
Bayangan itu pun semakin mendekat pada Ernest dan membuat jarak mereka berdua semakin lama semakin dekat. Saat itulah Ernest dapat melihat dengan jelas, di hadapannya ada seorang pria seusianya. Pria itu berpakaian serba putih dan sekelilingnya tampak bercahaya. Pria asing itu pun tersenyum dengan tulus padanya.
“A … Anda siapa? Bisakah Anda memberi tahuku dimana aku? Atau mungkin Anda bisa mengatakan padaku dimana kedua anakku berada, aku harus menyelamatkan mereka semua,” kata Ernest dengan nada bicara yang terlihat begitu khawatir.
Pria itu tidak menjawab pertanyaan Ernest, ia hanya mengarahkan jari telunjukkan ke arah kanan, seketika itu dari satu kabut muncul gambar kedua anaknya yang menangis histeris. Kedua anak itu berada di samping tempat tidur sambil mengguncang-guncangkan tubuh seseorang. Yang mengejutkan dirinya, tubuh yang ia lihat tengah diguncang oleh Olive dan Daniel adalah tubuhnya.
Beribu pertanyaan pun muncul di kepalanya. Ia berada di sini, tapi kenapa kedua anaknya dapat mengguncang-guncangkan tubuhnya yang terbaring di tempat tidur.
Pria di hadapannya pun kembali mengarahkan telunjuk ke samping gambar Olive dan Daniel. Di situ terlihat jelas bagaimana istrinya Vanessa dan Leon Ramford tampak bermesraan di ruang duduk dengan keadaan nyaris tanpa busana.
“Ada apa ini semua, kenapa kedua anakku mengguncangkan tubuhku, sementara aku berada di sini?” tanya Ernest tak mengerti.
Pria berpakaian serba putih itu pun hanya tersenyum singkat kemudian melirik ke arah Ernest.
“Tentu saja kedua anak kecil itu menangisi kematianmu. Dirimu yang di sini adalah arwah yang sudah terpisah dari jasadmu di dunia,” kata pria itu menjelaskan.
“A … aku sudah mati? Arwah?” tanya Ernest yang dijawab anggukan pria di hadapannya.
“Tidak … tidak itu tidak benar!” teriak Ernest yang begitu menggelegar, kemudian tubuhnya kembali jatuh bersimpuh.
Ernest menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tak bisa menerima kenyataan yang baru saja ia dengar.“Tidaaak itu tidak mungkin!” serunya.Pria yang baru ditemuinya hanya berdiri terdiam. Dia adalah Ron salah satu penghuni asli dari langit yang memiliki peran untuk mengantarkan arwah menuju area penghakiman. Tempat mereka akan bertemu dengan raja langit yang akan memberikan penilaian pada mereka yang telah terpisah dari jasadnya.“Ayo ikut aku!” ajak Ron pada Ernest yang masih meratapi nasibnya sekarang.Dengan cepat pria berambut pirang ini bangkit dan mendekati tubuh Ron. Dengan tenaga yang ia miliki, ia pun mengguncang-guncang tubuh Ron yang berdiri di hadapannya.“Kau akan membawaku kembali ke bumi kan? Aku tidak pantas untuk mati kan?” tanya Ernest penuh harap.Sayang sekali Ron hanya menggelengkan kepala. Se
Ernest mendongakkan kepalanya begitu mendengar pernyataan dari Raja Langit. Tanpa berpikir panjang, ia pun mengangguk dan mengatakan bahwa ia akan menerima apapun syaratnya asal bisa kembali ke bumi.Saat ini yang ada dalam pikiran Ernest adalah menyelamatkana kedua buah hatinya dari tangan serakah Vanessa dan Ramford. Ia harus merebut kembali harta kekayaannya dan memberikan semuanya pada Olive dan Daniel, kedua orang yang paling berhak dalam mengelola harta kekayaannya kelak.“Apapun syaratnya Yang Mulia, saya akan melakukannya. Saya hanya ingin menyelamatkan anak-anak saya,” katanya.“Hmm, jadi kau benar-benar ingin menyelamatkan anak-anakmu? Kau tahu kalau kau kembali ke dunia, maka kehidupanmu tak akan lagi mudah?” tanya Raja Langit.“Selama itu bisa menyelamatkan kedua anakku maka aku tak akan mempedulikan apapun,” jawab Ernest mantap.Ra
“Suster … suster tolong suami saya, ia sama sekali tidak bergerak!” pinta Jade saat ia tiba di ruang perawat yang tampak subuk mengurus adiministrasi pasien.Ekspresi campur aduk tergambar jelas di wajah perempuan yang saat ini rambutnya tampak berantakan. Panik, sedih semuanya bercampur jadi satu. Perawat berkulit gelap di hadapannya mengangkat wajahnya dan menanggapi Jade.“Apa yang bisa kami bantu Nyonya? Tolong bicaralah pelan-pelan.”Jade mengambil napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Kemudian ia mengatakan pada perawat yang bertugas mengenai kondisi suaminya. Sebagai seorang perawat, tentunya tahu apa yang terjadi pada suami Jade. Namun ia mencoba untuk tidak membuat perempuan di hadapannya semakin panik dan sedih.“Tunggu sebentar Nyonya, saya akan memanggil dokter jaga untuk memeriksa keadaan suami Anda,” kata perawat itu dengan maksud membuatn
Lelaki yang terbaring itu merapatkan alisnya yang tebal dan menatap tajam ke arah dokter Harris yang baru saja menyapanya.“Hah memeriksaku? Bukankah barusan,-” Ernest yang berada di tubuh Max tak melanjutkan ucapannya.Dokter Harris pun tersenyum, ia seperti sudah mengambil kesimpulan kalau kecelakaan yang baru saja dialami oleh pasien di hadapannya. Dokter Harris menganggap pasiennya kali ini tengah mengalami shock akibat benturan yang terjadi di kepalanya, hingga berpikir aneh atau mungkin berhalusinasi.“Saya periksa dulu,” kata dokter Harris.Dokter yang rambutnya sudah mulai kelabu itu pun mulai melakukan pemeriksaan. Menempelkan stetoskop pada tubuh lelaki yang terbaring, kemudian memperhatikan monitor di sampingnya.“Semuanya normal, ini sangat aneh, kenapa bisa terjadi seperti ini?” gumamnya.“Apa ada masalah
Sadar telah membuat kesalahan Ernest pun memegangi kepalanya. Ia berpura-pura merasa pening hingga membuat perempuan yang tengah menungguinya bereaksi pada keadaannya dan melupakan apa yang baru saja ia ucapkan.“Sayang, ada apa?” raut kekhawatiran terlihat jelas di wajah bulat perempuan di sampingnya.“Tidak … tidak aku … aku hanya merasa sedikit pusing,” jawabnya berbohong.“Oh bagian mana yang sakit, apa perlu kupanggilkan dokter untukmu?” tawar Jade.“Tidak … tidak perlu, sepertinya aku harus istirahat.”“Kau yakin?”“Tentu aku yakin.”Max pun kemudian mencoba menoleh ke samping dan memejamkan kedua matanya. Ia belum siap untuk lama-lama melihat Jade di sampingnya. Bukan karena penampilan Jade, sebenarnya perempuan ini cukup menarik, meskipun
“Selamat datang di istana kita, sayang,” Jade membuka pintu rumah mungil yang berhasil mereka bangun sendiri.Rumah itu hanya satu lantai, dan memiliki satu buah kamar tidur dengan satu ranjang berukuran king size. Ruang keluarga terletak di depan kamar, yang dilengkapi dengan sebuah sofa panjang dan sofa single, serta televisi layar datar.Max berdiri mematung ketika Jade mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar. Perempuan bermata kelabu itu bermaksud untuk menyuruhnya beristirahat.“Eh di sini?” tanya Max yang tampak ragu-ragu.“Ya tentu saja di sini, bukankah kita biasa tidur di sini?” tanya Jade sambil tersenyum ke arah suaminya.Max masih saja diam, ia bingung apa yang harus ia lakukan. Ia berpikir sebaiknya ia tidur di sofa saja, tak mungkin dirinya tidur satu ranjang dengan perempuan asing. Tak mungkin juga ia yang tidur di kamar dan membi
Kedua anak kecil itu berjalan dengan kepala yang menunduk. Di depan mereka tampak seorang wanita bergaya sosialita dengan busananya yang mahal. Wanita itu tak sendiri, tapi seorang pria berjambang tipis merangkul pinggangnya yang ramping.“Hei cepat sedikit kalau jalan! Dasar kalian lamban!” seru pria yang merangkul pinggang ramping wanita sosialita itu.Wanita sosialita yang mengenakan gaun merah itu pun berbalik ke arah dan mengalungkan kedua tangannya pada leher pria yang bersamanya. Mereka sungguh terlihat romantis sekali.“Sayang, begitulah jika memiliki bibit dari pria bodoh yang tak berguna,” kata wanita itu sambil melirik ke arah kedua anak itu.“Ibu, kenapa bicara seperti itu? Kenapa belakangan ini Ibu selalu saja menghina ayah?” tanya anak yang perempuan.Wanita sosialita itu segera melepaskan tangannya dari leher pria di hadapannya.
Sekali lagi Max menghantam pohon yang ada di hadapannya, dan sekali lagi cekungan pada pohon itu pun muncul.“Ini gila, bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?” tanyanya sambil mengamati telapak tangannya yang terbuka.Saat mengayunkan pukulan kedua, Max tidak memukulnya dengan keras. Saat melakukan ini ia dalam keadaan sadar dan tidak emosi seperti saat pukulan pertama tadi.Sempat terpikir, pukulan pertama tadi mungkin saja sangat kuat karena dibarengi emosi yang membara di dada. Sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang sedang emosi atau tertekan akan muncul sesuatu kekuatan yang tak terduga. Untuk itulah ia mencoba untuk mengulangi apa yang dilakukannya pada pohon, dan ternyata hasilnya sama.Max mencoba untuk menebak-nebak darimana ia bisa mendapatkan kekuatan sedahsyat itu. Seorang petarung saja belum tentu bisa melakukan hal seperti ini, tapi dia bisa melakukan ini dengan mudah.