Dengan sweater crop top yang memperlihatkan sebagian perut ratanya, Bening memasuki restoran dengan menahan pusing di kepala. Celana jeans kulot ditambah sneaker berwarna merah yang senada dengan sweaternya, membuat penampilan Bening yang sporty, sekaligus seksi itu, menjadi perhatian beberapa pengunjung restoran yang ada di sana. Terutama, para pria yang benar-benar mengagumi juga menatap liar pada lekukan tubuh yang terlihat sempurna itu.
Kalau bukan untuk mengurus masalah rumah warisan, Bening tidak akan mau repot-repot datang ke restoran untuk menemui Rohit dengan tergesa seperti sekarang. Lebih baik ia tidur dan beristirahat di rumah, karena suhu tubuhnya yang masih saja naik turun, meskipun sudah memeriksakan diri ke dokter malam tadi.
Sejak kemarin, Bening juga tidak mengangkat telepon dari Christ sama sekali. Bening juga enggan membuka dan membaca chat dari pria itu. Untuk saat ini, Bening hanya ingin menenangkan diri, dari semua masalah yang menimpa hati dan p
Rencana cuti yang akan digunakan Bening untuk melakukan solo traveling, ternyata tinggallah rencana. Selain demam, patah hatinya tersebut akhirnya menyebabkan gadis itu terkena penyakit maag. Banyak pikiran dan stress, ditambah tidak teraturnya asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh Bening, membuat asam lambung gadis itu naik.Alhasil, jatah cuti yang ada, benar-benar dipakai untuk beristirahat di rumah.Sementara itu, setiap pagi dan sore hari, Ruri melaporkan kalau mobil Christ selalu terparkir tidak jauh dari rumah. Ketika Ruri sempat bertemu dan berbicara dengan pria itu, ia menyampaikan kalau Bening tengah mengambil cuti dan pergi Bali. Sesuai dengan yang telah diperintahkan sang majikan kepadanya. Walaupun Ruri yakin, kalau Christ sama sekali tidak percaya dengan ucapannya. Hal itu terbukti, dengan adanya mobil Christ yang setiap hari selalu menyempatkan datang untuk mengamati.Sampai akhirnya seminggu berlalu, dan kesehatan Bening pun juga mulai berangs
Keduanya hanya saling berdiam diri ketika sudah berada di dalam lift. Tidak saling bertegur sapa, maupun melempar perdebatan seperti biasanya. Pun sampai lift berdenting dan pintu bergeser dengan sempurna, baik Bening juga Aga, masih bungkam dengan pikiran masing-masing. Mereka pun masih berjalan dalam diam, meskipun berdampingan. Sampai akhirnya Bening sampai di meja kerjanya dan duduk di sana. Serta Aga yang terus saja masuk menuju ruang kerjanya dalam kesunyian yang ada. Sekitar setengah jam sebelum rapat redaksi pagi di mulai, Bening mengetuk pintu ruangan Aga yang terbuka. Kemudian, Bening melangkah masuk, ketika pria itu sudah mempersilakannya. “Ada apa?” tanya Aga mengalihkan wajah pada Bening dan baru memperhatikan dengan seksama, kalau wajah gadis itu masih terlihat sedikit pucat dan pipi yang tampak tirus. Tidak ada lagi senyum datar, yang memperlihatkan lesung pipi gadis itu, ketika Bening menghadap Aga seperti sekarang. Jika dilihat dari s
Bening membaca dokumen yang diberikan Rohit kepadanya dengan seksama. Mengangguk tipis berulang kali, karena seluruh isinya sudah sesuai dengan permintaan Sinta. "Saya kasih salinannya dulu ke kamu, ya, Ning," ucap Rohit di sela-sela keterdiaman Bening yang tengah serius membaca isi surat wasiat dengan teliti. "Tolong perlihatkan dulu ke bu Sinta, dan kalau fix, kita bisa langsung cari waktu besok untuk tanda tangan. Biar semua cepat clear." "Kalau besok, pas jam makan siang aja gimana, Pak? Saya nggak enak kalau mau izin lagi," pinta Bening meletakkan beberapa lembar berkas yang telah dibacanya di atas meja. Mengembalikan dokumen tersebut ke dalam map, lalu menutupnya. “Kalau memang fix, langsung kabari saya, dan besok pas jam makan siang kita ketemu,” angguk Rohit setuju. Ia juga tidak ingin membuang-buang waktu karena permasalahan ini juga telah tertunda karena Rohit harus ke luar kota. Sementara Sinta, ingin urusan yang ada hanya ditangani oleh Rohit send
Roda empat Christ akhirnya berhenti di depan pagar rumah Bening. Ada rasa hampa dan tidak terima jika hubungan yang sudah terjalin selam tujuh tahun lantas berakhir begitu saja. Sampai saat ini pun, hatinya masih terpaut pada Bening seorang. Kendati sudah dua tahun ia mencoba menjalani semua dengan Chika, tapi Christ tidak mendapatkan chemistry sama sekali. Christ sudah mencoba dan mencoba, tapi hatinya tetap kembali pada Bening. “Kita sama-sama tahu, kalau kita masih saling cinta, Ning,” ujar Christ mencoba kembali meyakinkan. “Tapi, kita harus berhenti Christ,” balas Bening sudah membuka sabuk pengamannya. “Mama kamu benar, kalau hubungan kita nggak akan pernah maju kalau salah satu nggak ada yang mau mengalah.” “Ada jalan lain, Ning.” Christ sudah menimbang semua hal, tinggal menunggu persetujuan Bening, maka semua akan terlaksana. “Kita bisa pergi ke Singapur, menikah di sana, Atau, kita bisa pindah dan tinggal di sana sekalian.” Bening ya
Seberapa pun kerasnya Bening menahan senyumnya di depan Sinta, tetap saja wanita tua itu tahu, kalau perasaan sang cucu kini sedang berbunga-bunga. “Belum gajian, kan?” sindir Sinta. “Atau lagi dapat arisan?” Akhirnya, wajah yang masih terlihat pucat itu meringis lebar, dan meletakkan sendoknya sebentar untuk meminum air hangatnya. “Gimana suratnya tadi, Ti? Sudah dibaca semua?” Bening mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Sinta mengangguk kecil dengan penuh rasa curiga, jika Bening telah menyembunyikan sesuatu darinya. “Sudah oke. Jadi, nanti tolong hubungi pak Rohit, biar Uti bisa tanda tangan semuanya besok siang.” Bening balas mengangguk. “Oke, Ti, habis makan aku langsung telepon, pak Rohit.” Keduanya kembali menikmati makan malam dengan beberapa perbincangan kecil nan hangat. Namun, ketika makan malam telah selesai, Sinta melihat ada sesuatu yang terselip di jemari tangan kiri cucunya itu, ketika hendak membawa piring dan gelas
Bening hanya bersedekap di sofa. Menatap datar pada sang papa, dan ibu tiri yang sedang berada di samping ranjang pasien. Kedua orang itu tengah mencari berjuta perhatian dengan tidak tahu malu. Bening sampai muak karena mendengar kalimat-kalimat manis yang terlontar dari mulut keduanya yang sudah datang ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Semalam, Bening langsung membawa Sinta ke rumah sakit dengan bantuan taksi. Ia tidak mau mengambil resiko, dengan hanya membiarkan wanita tua itu hanya berada di rumah setelah pingsan di pelukannya. Di saat-saat seperti ini, hanya satu yang Bening takutkan, yakni Sinta akan meninggalkannya untuk selamanya. Bening sama sekali tidak bisa membayangkan, kalau hal tersebut sampai terjadi di hidupnya. Kendati, semua hal itu pasti akan menimpa kepada semua mahkluk ciptaanNya. Tidak berapa lama kemudian, kedatangan Mala sedikit memecah perhatian Ilham dan istrinya. Mala tidak lupa menyapa sepasang suami istri itu terlebih dahu
Meskipun hanya beberapa kali melihat, tapi Aga sudah mengenal mobil yang terparkir tidak jauh dari pintu lobi kantornya dengan baik. Lantas, yang membuatnya semakin heran ialah, Aga melihat Bening keluar dari mobil tersebut. Sejurus kemudian, Aga juga melihat Bening melambai dengan senyum kecil, untuk melepas kepergian sedan berwana hitam yang meninggalkan area parkir gedung SM.Begitu mobil tersebut menjauh dan Bening pun terlihat berjalan pelan menuju pelataran kantor, Aga keluar dari roda empatnya. Membanting pintunya dengan kasar, lalu berjalan untuk menyusul Bening dan menyamakan langkahnya.“Diantar mantan pacar, Ning?”“Hm,” gumam Bening terus saja berjalan memasuki lobi dengan lesu dan juga menunduk pilu. Kepalanya terlalu penat karena memikirkan Sinta yang masih saja tidak memb
“Maksudnya … Bapak mau jadiin saya selingkuhan gitu?” tanya Bening lalu kembali menggigit bibir bawahnya begitu kuat, karena rasa gugup yang mendadak melanda dirinya. Wajah Aga yang masih berada tepat di depannya, membuat jantung Bening melonjak tidak karuan. “Nggak ingat, sama istrinya di rumah?” Aga menatap manik jernih itu untuk beberapa saat, kemudian mengerjap. Pertanyaan Bening barusan seolah menamparnya bolak balik dengan telak. Aga baru menyadari kalau dirinya saat ini masihlah memiliki seorang istri. Sudah terbiasa mengurus diri sendiri dan tidak pernah menghabiskan quality time bersama keluarga, membuat Aga seketika melupakan semuanya. Bahkan, putra satu-satunya yang dimiliki Aga pun, belakang ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama kakek neneknya daripada bersama dirinya dan sang istri. “Atau, Bapa