Share

Sangkar Pernikahan
Sangkar Pernikahan
Penulis: Catatannurhayati

Dipaksa Menikah

“Abi akan menjodohkan kamu dengan anak teman Abi!” Ucapan itu seolah menjadi petir di siang bolong untuk Salwa, gadis yang baru berusia dua puluh tahun. 

“Apa? Menikah? Aku tidak mau menikah, Abi. Aku masih ingin menikmati masa remaja aku. Lagian Abi tahu sendiri kalau aku ini masih kuliah. Jadi, aku tidak mungkin mau menikah saat ini,” jawab Salwa sambil menatap ayahnya yang duduk tepat di hadapannya. 

“Abi tidak minta persetujuan kamu. Abi hanya ingin memberitahukan kamu kalau nanti saat keluarga mereka datang, kamu jangan pernah menolak lamaran itu.”

“Abi tidak bisa seenaknya memaksa aku untuk menikah. Aku ini belum siap untuk menikah dan aku juga belum ada pikiran untuk menikah dalam usia muda.”

“Kita tidak bisa membatalkan perjodohan kamu dan anak teman Abi itu. Soalnya ini sudah jadi kesepakatan Abi dengan teman Abi. Abi tidak mungkin langsung mengatakan batal setelah kami sepakat.”

“Lalu maksud Abi, aku yang harus langsung mau menerima perjodohan ini? Enggak! Aku tidak mau menerimanya. Aku tidak mengenal dia, bahkan aku tidak tahu namanya siapa.” 

“Dia Zidan. Dia adalah laki-laki tampan yang bekerja di sebuah perusahaan besar dan juga pengelola pesantren. Abi yakin nanti jika kalian sudah bertemu, pasti kamu akan jatuh cinta padanya.”

“Aku tetap tidak mau, Abi. Aku belum siap untuk menikah saat ini. Aku masih mau melanjutkan kuliah aku dan aku juga masih ingin meraih mimpi aku. Aku tidak mau semua itu berakhir hanya karena aku memutuskan untuk menikah muda.”

“Abi tidak minta kamu untuk berhenti kuliah dan menghancurkan mimpi kamu. Abi hanya meminta kamu menikah dulu. Lagian kamu masih bisa kuliah setelah kamu menikah dan nanti kamu juga bisa gapai mimpi kamu.”

“Tidak semudah itu, Abi. Aku itu tidak mungkin bisa membagi waktu aku untuk kuliah dan juga menjadi ibu rumah tangga. Aku akan kewalahan dan aku takut kalau nanti yang menjadi suami aku tidak mengizinkan aku untuk kuliah. Bagaimana kalau seperti itu?” 

“Kamu pokoknya harus tetap menikah dengannya. Abi tidak mau mendengar alasan kamu supaya bisa menolak pernikahan ini. Kalau tidak mau menikah dengan dia, maka sebaiknya kamu pergi dari rumah ini dan kamu lupakan Abi dan keluarga ini. Abi tidak butuh anak yang suka membangkang seperti kamu ini!” 

Seketika air mata Salwa mengalir deras. Ancaman yang diberikan oleh ayahnya itu benar-benar membuat hatinya hancur. “Kenapa Abi tega mengusir aku hanya karena Abi mau aku menikah dengan anak teman Abi itu?” tanyanya sambil menatap ayahnya yang masih terlihat kesal. 

“Abi mah kamu dapat yang terbaik dan menurut Abi dia itu anak yang pantas menjadi menantu Abi dan sebagai suami kamu. Abi mohon sama kamu untuk menerima perjodohan ini.” 

Seketika Salwa terdiam sambil menundukkan kepalanya. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Pikirannya kini telah kacau dan hatinya juga telah hancur. 

“Abi tidak punya banyak waktu untuk mendengar penolakan kamu itu. Abi mau kamu jadi anak yang baik dan menurut pada permintaan Abi ini. Abi tidak akan mungkin membiarkan kamu jatuh pada orang yang salah. Abi yakin kamu akan bahagia jika menerima perjodohan ini.” 

“Aku tetap tidak mau, aku tidak mau!” tolak Salwa sambil beranjak pergi dari ruang keluarga itu menuju ke dalam kamarnya. 

“Salwa, dengarkan Abi dulu. Kalau dalam waktu dua puluh empat jam kamu tidak menerima perjodohan ini, Abi akan meminta kamu untuk pergi dari rumah ini. Dengarkan itu!” teriak pak Ahmad dari lantai pertama itu. 

Tangan Salwa langsung menutup telinganya dan duduk di balik pintu kamarnya yang dia kunci rapat-rapat. Baru pertama kalinya ayahnya bersikap seperti itu padanya dan itu membuatnya sangat hancur. Salwa tidak melihat cahaya lagi untuk masa depannya setelah dia tahu kalah ayahnya menjodohkan dia dengan laki-laki yang bahkan dia tidak kenal sama sekali. 

“Apa ini, Ya Allah? Kenapa Engkau memberikan aku mimpi yang sangat tinggi untuk masa depanku, tapi Engkau sendiri yang membuat aku jatuh hingga semangat aku hancur seperti ini. Kenapa semua ini harus aku yang mengalaminya? Kenapa? Kenapa harus aku?” cerca Salwa sambil melempar semua benda yang ada dalam kamarnya. 

Usai pembicaraan dengan ayahnya mengenai perjodohan itu, Salwa sama sekali tidak menampakkan wajahnya di depan ayahnya ataupun keluarganya. Hampir satu hari satu malam dia mengurung diri seorang diri dalam kamarnya. Pada saat itu pikirannya tidak karuan. Dia tidak bisa berpikir yang baik-baik mengenai perjodohan itu. Dia hanya membayangkan jika nanti dia menikah maka dia akan hidup selamanya dalam rasa tertekan, dalam rasa terpaksa, dan akan terasa terkurung seperti seekor burung dalam sebuah sangkar. 

“Nak, buka pintunya, sayang. Ini Umi.” Ucapan itu terdengar sangat jelas menggema di depan kamarnya dan disertai dengan pintu yang terus diketuk namun, Salwa tidak menjawab apalagi membuka pintunya. 

“Salwa, dengarkan ini. Kalau kamu masih bersikap seperti anak kecil seperti ini, Abi tidak akan segan-segan untuk mengusir kamu dari rumah ini. Kamu itu hanya diminta untuk menikah saja, bukan untuk kerja keras. Lagian sekarang ataupun nanti, kamu akan tetap menikah dan itu tidak akan ada bedanya,” ucap pak Ahmad yang ternyata juga ada bersama dengan istrinya itu. 

“Abi bisa saja bicara seperti itu, tapi yang menjalani rumah tangga itu aku. Aku yang akan merasakan bagaimana menikah dengan orang yang tidak aku cintai, bahkan tidak aku kenal sama sekali. Menikah itu satu kali seumur hidup dan menikah itu adalah ibadah paling panjang. Bukankah itu yang Abi ajarkan padaku tentang pernikahan?” sahut Salwa dengan diiringi tangis yang tersedu-sedu. 

“Nak, dengarkan kami. Kami itu hanya ingin memberikan kamu yang paling baik dan menurut kami, Zidan itu anak yang paling baik dan dia pantas untuk menjadi suami kamu,” sahut ibunya dengan nada yang begitu lirih. 

“Aku mohon jangan paksa aku, Umi. Aku tidak mau menikah saat ini. Aku akan menikah kalau aku sudah menyelesaikan kuliah. Aku mau mencari jalan dulu untuk meraih mimpi aku dulu. Aku mohon!” pinta Salwa sambil terus menangis. 

“Kalau kamu bersikukuh tidak mau menikah dengan laki-laki pilihan Abi, maka kamu bisa membereskan pakaian kamu malam ini dan besok pagi kamu bisa angkat kaki dari rumah ini,” ujar ayahnya dengan nada yang sangat kesal. 

Setelah mengatakan itu orang tuanya langsung pergi dan seolah mereka tidak menghiraukan bagaimana perasaan anaknya saat itu. “Apa aku harus nekat pergi dari sini? Kalau aku pergi dari sini, aku harus pergi ke mana?” Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam  pikiran Salwa hingga dia merasa kalau kepalanya mau pecah saat itu juga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status