Kalian Tim Alsha atau Alma??? Jadi siapa yang akan bertunangan dengan Dito ya??? 🤔
Sejak malam itu, Alsha tak lagi bertemu dengan Dito. Alma yang menggantikan posisinya seperti sebagaimana yang seharusnya. Meski Dito merasakan perubahan pada diri Alma, ia sudah terlanjur berjanji untuk melamar gadis itu. Alsha hanya bisa menatap dari balik jendela kamarnya saat Dito dan Alma jalan bersama setiap malam. “Kak Dito, apakah kamu tidak merindukan aku? Apakah kamu tidak bisa melihat jika Kak Alma bukanlah aku?” Tanpa terasa air mata mulai mengalir kembali membasahi wajah Alsha. Gadis itu menumpahkan segala perasaannya ke dalam sebuah buku diary. “Mungkin cinta memang tak harus memiliki. Harusnya sejak awal aku tidak mengikuti kekhilafan hati ini.” Mungkin Alsha memang menyesali perbuatannya, tetapi tidak dengan cinta yang sudah terlanjur bersemayam di hatinya. Meski begitu, Alsha sudah yakin akan keputusannya untuk bisa melupakan cinta pertamanya itu. Alsha meraih ponselnya. Ia menghapus semua foto-foto kenangannya bersama Dito. “Aku harus bisa melupakan Kak Dito.
Satu setengah tahun kemudian. “Hai calon adik ipar. Tumben ngajakin ketemuan,” ucap Alma kepada Marco—kekasih Alsha sekaligus mantan pacarnya tersebut. Tiba-tiba saja Marco meminta Alma menemuinya di sebuah kafe. Kafe itu letaknya berada di dekat dengan apartemen milik Alma yang dibelikan oleh Dito. “Kamu apa kabar, mantan?” Bukannya menjawab pertanyaan Alma, Marco justru menggodanya dengan sebuah pertanyaan. Lelaki itu sepertinya masih memiliki rasa kepada Alma. Hanya saja memilih untuk mengalah karena tidak ingin mengecewakannya. “Seperti yang kamu lihat. Aku sedang bad mood. Aku merasa jika Dito sengaja menjauhiku. Dia lebih betah kerja di luar kota tanpa menghubungiku sama sekali. Dan di saat aku memintanya untuk segera menikahiku, dia selalu memiliki sebuah alasan.” Marco tergelak. Ia menertawakan mantan pacarnya yang terlihat sangat lemah. Padahal dulu Alma tidak pernah merasa segalau itu. Lelaki itu kemudian meraih tangan Alma dan ia letakkan di atas punggung tangannya agar
Sepasang lengan kekar memeluk Alsha dari belakang begitu erat. Gadis itu bisa merasakan deru napas seorang lelaki pada tengkuk lehernya. Dan sesaat kemudian mengecupnya beberapa kali. “Sayang ... aku kangen,” lirih dengan suara berat penuh hasrat. Alsha bisa mencium aroma alkohol yang sangat tajam. Alsha sangat mengenali suara itu. Suara yang begitu ia rindukan beberapa tahun terakhir ini. Gadis itu segera memutar tubuhnya. Tubuhnya menegang seketika. Tatapan mata penuh kabut gairah tengah memperhatikannya. “Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, Alma.” Dengan cepat tangan lelaki itu mendorong tubuh Alsha. Lalu mulai mendekatkan bibirnya dan saling bertukar saliva. ‘Kak Dito, dia menyebut nama Kak Alma? Pasti dia mengira jika aku ini adalah Kak Alma,’ batin Alsha menjerit. ‘Bodoh! Tentu saja Kak Dito memanggil nama kekasihnya!’ Alsha merasa kesal sendiri. Bisa-bisanya ia berharap Dito akan mengenalinya. Alsha ingin memberontak. Tetapi tubuhnya berkata lain. Entah mengapa gadis
“Kenapa Mas Amar sampai sekarang belum pulang juga?” keluh Rania seorang diri.Wanita itu berjalan dengan resah di dalam kamarnya. Ia sudah tidak sabar menanti kedatangan suaminya.Selesai mempersiapkan segalanya, Rania sengaja memakai sebuah pakaian tipis nan seksi atas rekomendasi dari sahabatnya. Ia juga menggunakan parfum dengan aroma yang sangat menggoda.Wanita itu ingin memberikan kejutan kepada sang suami di hari ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga tahun. Ia juga sudah mengirimkan sebuah pesan untuk Amar agar pulang cepat malam ini.Rania berusaha menenangkan perasaannya. Ia mulai bercermin kembali dan menambah sedikit lipstik merah terang pada bibirnya. Kemudian mengurai rambut panjangnya.Untuk kesekian kali Rania mengecek ponselnya. Namun tetap saja tidak ada balasan pesan dari Amar meski pesan tersebut telah berwarna biru bertanda centang dua.“Apakah mungkin Mas Amar masih sibuk di kantornya? Sampai-sampai tidak sempat membalas pesanku.”Rania berusaha tetap setia me
Kedua mata mereka saling bertemu. Rafka memandangi kecantikan wajah kakak iparnya meski tidak memakai make up sama sekali. Wanita itu tampak cantik alami dengan rambut panjangnya yang masih terlihat sedikit basah."Ra—Rafka. Maafkan, aku." Tergagap Rania mengatakannya. Ia semakin merasa salah tingkah di hadapan Rafka."Baiklah. Kamu bisa bangun sekarang. Tubuhmu berat juga rupanya." Rafka tersenyum smirk. Ia justru senang bisa menggoda Rania.Rania terkejut. Ia segera berdiri tegak berusaha menjauhkan dirinya dari sang adik ipar."Kamu beristirahatlah. Aku ke luar dulu," pamit Rania kemudian."Rania, tunggu!" tahan Rafka.Rania pun berbalik badan. "Bisakah kamu memanggilku dengan sebutan kakak?"Sejak pertama kali Rania menikah dengan Amar, tidak pernah Rafka memanggilnya dengan sebutan kakak ipar. Lelaki itu selalu menyebut nama karena usia Rania memang jauh di bawahnya."Of, course. Tapi aku lebih suka memanggilmu Rania.""Em ... sudahlah. Itu tidak penting. Aku harus segera ke dapur
Rania memilih untuk meninggalkan Rafka yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu kembali ke dapur untuk membuatkan sarapan suaminya."Rania, tunggu aku!" teriak Rafka kemudian.Rafka menyusul kepergian Rania. Ia berdiri di samping wanita yang sedang sibuk dengan wajan dan spatula."Kenapa kamu diam saja dibentak-bentak seperti itu? Lawan Ran, jika kamu memang benar."Rafka berbicara panjang lebar. Ia ingin Rania menjadi wanita tangguh. Sehingga tidak diinjak-injak oleh suaminya sendiri."Kamu apa-apaan sih, Ka! Seharusnya kamu tidak menjadi kompor. Biar dia saja," ungkap Rania sambil melirik ke arah kompor di depannya. Ucapan yang seharusnya lucu, tetapi terdengar garing di telinga adik iparnya."Rania, Rania, kamu masih sama saja seperti dulu. Sangat lugu dan polos." Rafka berucap dengan tenang. Menyandarkan tubuhnya di dekat dinding dapur."Hm, aku hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada.""Oh, ya. Apa kamu ingat dulu kamu sangat cupu dan cengeng. Kamu merengek meminta per
Kotak merah dengan sebuah kalung emas yang sangat cantik ada di dalamnya. Rania hingga ternganga melihatnya."Cantik sekali kalung ini. Apakah Mas Amar sengaja ingin memberikan kejutan untukku? Ternyata aku salah menilainya. Mungkin dia menunggu waktu yang tepat."Dengan sangat hati-hati Rania mengembalikan kotak merah itu ke dalam laci. Ia sampai lupa dengan niat awalnya yang ingin mencari ikat rambut.Jantung Rania mendadak berdebar dengan hebat. Ia menantikan sang suami bersikap manis dan lembut kembali seperti dulu di saat awal-awal pernikahan mereka."Sebaiknya aku fokus bersih-bersih dan merapikan rumah saja."Sepanjang hari seperti itulah pekerjaan Rania. Ia harus memastikan agar rumah tempat tinggalnya selalu bersih dan rapi. Apalagi rumah itu adalah rumah tumpangan dari Rafka."Ngomong-ngomong soal, Rafka. Kenapa dia mau kembali ke rumah ini, ya? Apa benar ia sedang putus cinta?"Rania berceloteh seorang diri. Rupanya suasana rumah itu tak lagi sama setelah kemunculan adik ipa
"Ran, kamu kenapa? Tidak suka dengan hadiahnya? Atau—"Rafka hendak melanjutkan kalimatnya, tetapi Rania segera menyahut ucapan itu."Ikat rambut itu hadiah dari Mas Amar. Tapi kamu malah menghilangkannya," sahut Rania cepat. Wanita itu selalu berusaha merawat barang-barang pemberian suaminya. Meskipun hanya sekedar ikat rambut sekalipun.Rafka terdiam. Ia berusaha meminta maaf kepada Rania berkali-kali sampai wanita itu mau memaafkannya."Aku benar-benar minta maaf, Ran. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu bersedih."Setelah memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan, Rania menjawab ucapan Rafka dengan cepat."Aku bercanda, Rafka. Kamu tidak perlu meminta maaf." Terpaksa Rania harus berbohong. Ia tidak ingin membesar-besarkan masalah yang ada. Apalagi jika sudah berhadapan dengan Rafka yang tidak jarang bersikap keras kepala.Rafka pun tersenyum smirk. Sebenarnya ia tahu semuanya. Dan ia sengaja membuang ikat rambut Rania yang dibelikan oleh suaminya.Rafka berdiri dar