Arnold menatapnya tajam, tetapi dalam sekejap, sesuatu dalam dirinya seperti tersadar. Ia bisa merasakan tubuh Emily yang sedikit gemetar, wajahnya yang pucat, dan sorot matanya yang tidak lagi menunjukkan perlawanan—hanya ketakutan. Arnold mengembuskan napas kasar, lalu perlahan melepaskan genggamannya. Emily segera mendorong tubuh Arnold dengan sekuat tenaga hingga pria itu terdorong ke belakang. Dengan cepat, ia merapatkan jubah tidurnya, lalu bangkit dan mundur menjauh. "Keluar!" suara Emily bergetar, tapi tatapannya penuh dengan kebencian. Arnold masih duduk di tepi kasur, menatap Emily dengan mata yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam hatinya yang berkecamuk, tapi ia tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Emily mengatupkan bibirnya erat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Aku bilang keluar, Arnold!" kali ini suaranya lebih keras, nyaris berteriak. Tak pernah sebelumnya Emily bersikap seperti ini. Arnold mengepalkan tangannya, l
Sarah mengetuk pintu kamar Emily dengan ragu. Dentingan halus itu terdengar begitu kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan. Di dalam, Emily masih bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada tempat tidur. Napasnya masih belum stabil, sisa isakan tadi masih terasa di dadanya. Saat ketukan kedua terdengar, Emily menghela napas dalam. Dengan berat hati, ia akhirnya bangkit. Langkahnya lambat saat menuju pintu, seakan ada beban tak kasat mata yang menariknya kembali ke tempatnya semula. Sesampainya di depan pintu, Emily tak langsung membukanya. Sama seperti saat Arnold datang sebelumnya, ia lebih dulu mengintip lewat lubang kecil. Di luar, berdiri seorang wanita dengan wajah penuh kehangatan yang sudah terlalu familiar baginya—Sarah. Namun, melihatnya saat ini justru membuat Emily semakin ragu. Haruskah ia membuka pintu? Jika tidak sekarang, Sarah pasti akan tetap mencarinya, bukan? Emily menggigit bibirnya, lalu cepat-cepat menghapus sisa air mata yang mungkin masih m
Matahari menyengat ketika Emily dan Sarah melangkah berdampingan meninggalkan hotel. Tak seperti biasanya, tak ada ketegangan di antara mereka. Tidak ada sindiran tajam atau tatapan penuh perhitungan. Untuk pertama kalinya, mereka terlihat akur. Emily sendiri tidak tahu pasti bagaimana perasaannya. Ia lelah, itu sudah jelas. Namun, di balik kelelahan itu, ada sedikit harapan yang mulai tumbuh—harapan untuk terbebas dari Arnold, dari kehidupan yang semakin menyesakkan ini. Begitu tiba di rumah, Sarah membuka pintu lebih dulu dan memberi isyarat agar Emily masuk. Emily menurut, melangkah masuk tanpa banyak bicara. Rumah itu sunyi, seolah memberi mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan. Sarah menatap Emily sejenak sebelum berkata dengan nada meyakinkan, "Istirahatlah. Aku akan mengabarimu kalau uangnya sudah siap." Emily mendongak, menatap Sarah dengan mata lelah. Tidak ada pertanyaan, tidak ada keraguan. Hanya sebuah anggukan pelan yang ia berikan sebagai jawaban. Pikiran
Langkah Emily tertahan di depan pintu. Jantungnya masih berdegup kencang. Arnold berdiri di ambang pintu kamar Sarah, wajahnya dingin seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—auranya lebih gelap, lebih mengancam. Padahal, menurut Sarah, laki-laki itu seharusnya berada di luar kota. Dia tidak pernah pergi. Emily menahan napas, pikirannya berputar cepat. Apa ini semua jebakan? Atau Sarah yang telah melakukan kesalahan? Emily menoleh ke belakang, ke tempat Sarah berada. Matanya membelalak. Yang lebih mengejutkan dari kehadiran Arnold adalah kondisi Sarah. Wanita itu berdiri dengan tubuh sedikit goyah, rambutnya berantakan, dan sudut bibirnya pecah—berdarah. Matanya menyiratkan keterkejutan dan ketakutan yang jarang terlihat darinya. Emily merasakan tenggorokannya mengering. Ada apa ini? Pikiran itu berulang kali terngiang di benaknya. Hanya beberapa menit lalu, Sarah masih begitu tenang, begitu yakin dengan rencana mereka. Tapi sekarang? Ia terlihat seolah
Saat malam tiba, Emily keluar dari rumah melalui pintu belakang dengan mengendap-endap. Ia sudah memutuskan untuk meninggalkan Arnold dan semua hal tentangnya. Saat Arnold kembali untuk menemui Emily, ia dikejutkan oleh kenyataan bahwa istrinya telah menghilang. Di atas meja, ia menemukan surat kontrak pernikahan yang ditinggalkan begitu saja, beserta sepucuk surat yang ditulis langsung oleh Emily. > Dear Tuan Arnold yang terhormat, Maafkan aku yang tidak lagi bisa berada di sisimu. Saat kau membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi jauh. Aku mohon, kasihanilah kedua orang tuaku. Lepaskan mereka, Tuan! Arnold meremas surat itu hingga remuk tak berbentuk. Matanya memerah menahan emosi yang meluap. Sarah, yang melihat suaminya dalam keadaan marah, segera mendekatinya. "Ada apa, Hon? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya dengan nada khawatir. Arnold tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke balkon, menyalakan cerutunya, dan menarik napas dalam-dalam, membiarkan asap tembakau menari di
Setahun berlalu, waktu terasa begitu cepat. Emily, yang kini tak memiliki siapa pun lagi, akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari persembunyiannya. Uang simpanannya telah habis. Mau tidak mau, ia harus mencari pekerjaan untuk menyambung hidup. Sebenarnya, Emily adalah salah satu lulusan terbaik di universitas tempat ia menimba ilmu. Namun, karena tidak membawa serta ijazahnya, ia hanya bisa mencari pekerjaan seadanya. "Aku harus segera mendapatkan pekerjaan!" gumamnya, sambil memindai satu per satu tulisan yang terpajang di depan pertokoan yang ia lalui. Biasanya, banyak lowongan kerja yang ditempelkan oleh agen pencari kerja di depan toko maupun halte bus. Namun, hingga setengah hari berjalan, Emily belum juga menemukan lowongan pekerjaan yang menerima calon pekerja tanpa ijazah. "Lelah sekali… istirahat sebentar!" ucapnya pelan saat melihat sebuah halte bus yang sepi. Emily duduk di bangku halte, membujurkan kakinya yang terasa penat. Hanya ditemani sebotol air mineral ya
Tuan Raymond memindai Emily dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu tersenyum. "Siapa namamu?" tanyanya sambil memilin-milin janggutnya yang panjang. "E-Emily, Tuan!" "Emily, nama yang cantik! Kau sudah tahu apa pekerjaanmu di sini?" Emily mengangguk mantap. "Oke, kau diterima! Dera, bawa Emily ke ruang kostum, pilihkan seragam yang ukurannya cocok untuknya!" "Baik, Tuan!" Dera lalu membawa Emily menuju ruang kostum, dan mereka berdua berganti pakaian di sana. "Perfect!" Dera tersenyum lebar melihat Emily yang tampak seperti seekor kelinci putih dengan kostum barunya. "Ayo kita turun!" Dera dan Emily bergabung bersama teman-teman yang lain. Mereka menunggu di ruangan dengan pencahayaan minim. Melihat Emily yang gugup, Dera memberinya suntikan semangat. "Tidak usah takut, Emily. Aku juga awalnya seperti kamu!" bisik Dera. Satu per satu rekan kerjanya dipanggil masuk, termasuk Dera. Hanya tersisa beberapa orang saja di ruang tunggu. Emily semakin gugup. Tangannya m
Arnold lantas berdiri dan berjongkok di hadapan Emily yang masih duduk bersimpuh. "Setahun kau pergi mulutmu semakin tajam, Emily!" Alih alih marah, Arnold malah tersenyum tipis. Dari posisinya sekarang, Arnold bisa melihat jelas keindahan tubuh Emily yang hanya dibungkus oleh baju ketat dan rok mini. Kaos berkerah sabrina yang dikenakannya membuat bagian lehernya yang putih bersih terpampang nyata, bagian dadanya pun terlihat menyembul. Arnold berkali kali menelan salivanya dengan bersusah payah, bayangan kemolekan tubuh istri keduanya kembali terlintas dalam benaknya. Wangi tubuhnya yang manis, lembutnya kulitnya, semuanya terasa nyata dan seakan baru saja dia menyentuhnya. "Apa kau tidak merindukan sentuhanku, Emily?" Arnold menurunkan tangannya mengusap bibir Emily dan turun hingga ke bagian dadanya, membuat Emily menegang untuk sesaat. "Untuk apa kau meninggalkan rumah kalau hanya untuk bekerja di tempat seperti ini? Aku bahkan bisa membayarmu seratus kali lipat!"
Arnold menoleh sejenak ke arah Emily yang tampak sibuk dengan laptopnya.Maaf, Emily belum bisa kumiliki sepenuhnya. Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja? Tapi melihat Emily yang tampak acuh padanya, Arnold kembali berpikir untuk menjauh sementara waktu, seperti permintaan Emily barusan.“Suruh dia tunggu, aku akan segera ke kantor!”Ia menutup teleponnya, lalu menghampiri Emily.“Sayang, aku pergi dulu. Aku akan kembali saat jam makan siang. Kamu sarapan dulu, nanti sakit.”Arnold mengecup puncak kepala Emily dan mengusap pipinya sebelum beranjak pergi.Setelah kepergian Arnold, Emily menutup laptopnya dan menatap langit-langit. Dia tidak rela Arnold pergi menemui Yolanda. Namun, dia juga tidak bisa melarangnya.“Kenapa perasaanku tidak enak? Yolanda sepertinya menyukai Arnold…”Emily bangkit dari duduknya dan bergegas keluar, berharap Arnold belum pergi.Saat Emily keluar dari pintu belakang, mobil yang dikendarai Arnold tampak mundur perlahan.Arnold, yang melihat Emily b
"Untuk apa meminta maaf?" tanya Emily datar. Ia memejamkan mata, bahkan tidak sudi membalas pelukan suaminya."Aku salah. Aku minta maaf karena memberikan kacamata Sarah kepadamu.""Sudah berapa lama kau bercerai dengannya?" tanya Emily lagi.Arnold mengerutkan kening, tampak bingung dengan pertanyaan itu."Jawab!" desak Emily tak sabar."Kurang lebih setahun."Arnold hanya mengira-ngira. Ia tidak ingat persis—atau lebih tepatnya, tidak ingin mengingatnya."Kau masih mencintainya?"Arnold cepat-cepat menggeleng. "Aku hanya mencintaimu, sungguh!""Lalu kenapa kau masih menyimpan barang-barangnya, kalau sudah tidak mencintainya?!"Emily mendorong tubuh Arnold hingga pelukannya terlepas, lalu kembali menuju mobil."Sayang, tunggu!"Arnold mengejar Emily yang sudah membuka pintu mobil. Emily segera masuk dan membanting pintu. Terpaksa, Arnold ikut masuk karena Emily benar-benar dalam suasana hati buruk."Kau mau kita pulang ke rumah?""Mm," jawabnya singkat.Arnold melajukan mobil, mening
Yolanda bergidik ngeri saat membayangkan kejadian terakhir ketika ia tanpa sengaja memakan seafood. Seluruh tubuhnya gatal dan muncul ruam kemerahan; ia bahkan kesulitan bernapas waktu itu.Yolanda menggeleng lalu berpamitan pergi ke kamar kecil."Sayang, malam ini menginap di rumah Mama lagi, ya. Kerabat Papa dan Mama akan pulang besok, jadi masih ada satu malam lagi untuk kita berkumpul di rumah," ucap Nyonya Ruby.Emily mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa tidak nyaman bersama Tante Mandy dan Yolanda. Namun, karena mereka tidak sering datang ke London, Emily berusaha bersabar.Lima belas menit berlalu. Tiga orang pelayan datang membawa troli berisi makanan dan dengan sigap menyusunnya di atas meja.“Kemana Yolanda? Kenapa dia belum juga datang?” tanya Nyonya Ruby, menoleh ke arah toilet.Tak lama kemudian, Yolanda muncul dengan langkah gontai.“Yolanda, kau kenapa? Apa kau sakit?” tanya Nyonya Ruby cemas.“Perut Yola sakit, Tante. Bolehkah Yola pulang duluan?” rengeknya dengan
Tidak ingin berdebat, Emily memilih untuk mengabaikan perkataan Yolanda dan tetap bersikap baik padanya.“Terima kasih sudah mengingatkanku, Adik Ipar,” ucap Emily sambil mengulas senyum manis, lalu menutup pintu kamarnya.Yolanda hendak membuka kembali pintu kamar, namun Emily sudah keburu menguncinya.“Kau!” geram Yolanda, lalu menendang pintu hingga membuatnya memekik kesakitan.“Aww... wanita sialan. Awas saja kau!”Dengan emosi yang tertahan, Yolanda kembali ke kamarnya sambil terpincang-pincang karena jempol kakinya bengkak.“Berani sekali dia mengabaikanku! Awas kau, Emily!” geramnya sembari membanting pintu kamar.Sementara itu, di kamarnya, Emily bergegas membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket, aroma percintaan semalam bahkan masih tercium samar.Emily mengendus pundaknya, wangi maskulin dari parfum Arnold masih menempel di kulitnya. Sesaat ia memejamkan mata sambil menghirup aromanya. Benaknya kembali dipenuhi slide demi slide adegan panas mereka semalam. Sentuhan Arnold
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.
Mama tidak tahu Arnold suka warna apa, anak itu tidak pernah menolak saat Mama membelikannya dasi maupun kemeja, semua warna dipakainya.""Hmm, itu– Arnold suka warna merah dan hitam, Ma." Emily tahu saat Arnold memujinya ketika menggunakan pakaian dengan dua warna itu."Nice. Dua warna itu memang warna favorit, elegan dan menantang! Bungkus semuanya!" titahnya kepada Pramuniaga. Bukan hanya merah dan hitam tapi ada juga yang berwarna Navy dan Hijau botol dan warna lainnya."Ma, ini terlalu banyak!" tolak Emily halus. "Kau harus memakainya setiap malam agar suamimu tidak melirik wanita lain. Kau tahu, suami yang terpuaskan di rumah, tidak akan melirik wanita lain saat berada di luar."Emily tersenyum mendengar perkataan Nyonya Ruby. Mungkin ada benarnya tapi kembali lagi kepada orangnya. Kalau aslinya tidak setia, mau sepuas apa pun di rumah, pasti akan merasa kurang terus.Setelah membeli 'kado' untuk Arnold, Emily dan Nyonya Ruby makan siang bersama. Mereka menikmati santap siang d
Wanita yang ingin merebut gaun Emily tadi akhirnya melepaskan gaunnya dan menghampiri Nyonya Ruby. "Tante!" sapanya dengan wajah sumringah. Sudah lama mereka tidak bertemu, terakhir saat Arnold menikah dengan Sarah. Setelah itu Yolanda tidak pernah lagi ke London. "Yolanda, kau bersama siapa? Mana ibumu, Nak?" Yolanda langsung memeluk Nyonya Ruby dan mengecup pipi kanan dan kirinya, mereka terlihat sangat akrab. "Mama ke toilet, Tante sendirian? Dimana Kak Arnold?" tanyanya sambil menengok ke belakang Nyonya Ruby. Tidak ada siapa siapa. "Tante tidak sendirian, Tante bersama menantu Tante!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Emily. Ekor mata Yolanda mengikuti kemana arah tangan itu terulur, dia sedikit shock saat menyadari wanita yang disebut tantenya menantu adalah wanita yang sama yang berebut gaun dengannya barusan. "Menantu? Istri Nicho?" tanyanya memastikan. Arnold baru bercerai, belum setahun lebih tepatnya, jadi tidak mungkin sudah menikah lagi, pikir Yolanda.