Emily merebahkan dirinya di kasur empuk kediaman Arlen, setelah menerima tawaran untuk menjadi kekasih pura-pura bosnya demi membuat Arnold marah. Emily tidak bisa lagi mundur dari permainan yang akan mereka mainkan. "Ke mana angin akan membawaku, aku pasrah saja!" gumamnya sembari menatap langit-langit kamar. Baru saja matanya hampir terpejam, suara ketukan pintu kamarnya sontak membuat Emily membuka matanya kembali. Tok tok tok Emily mendengus pelan sebelum bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Dia membuka pintu dengan sedikit malas, tapi ekspresinya langsung berubah begitu melihat sosok yang berdiri di hadapannya. "Tuan!" serunya, sedikit terkejut. Arlen berbalik, menatap Emily dengan tatapan teduh. Pria itu hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek selutut, tampilan kasual yang justru semakin menonjolkan ketampanannya. Emily menelan ludah tanpa sadar. "Kau sudah mau tidur?" tanya Arlen. "Bisakah kita berbicara sebentar?" Emily mengangguk tanpa
Arlen menggeleng, dia tidak melanjutkan kata-katanya. "Tidak ada kata seandainya, yang ada sekarang hanyalah berjuang untuk mendapatkannya!" Arlen sudah menentukan pilihannya. Dan apa yang sudah Arlen pilih, maka tidak bisa diganggu gugat. Hingga tengah malam, Arlen masih betah menatap langit-langit kamarnya, bosan hanya berbaring, Arlen memilih beranjak menuju balkon dan duduk santai ditemani sebatang rokok. Bertemankan udara dingin, Arlen menghabiskan malamnya sendirian. Emily terjaga ketika mendengar alarm handphonenya berbunyi, dia mengaturnya pukul 5 pagi. Emily menggeliat dan meraba-raba nakas untuk mematikan handphonenya. Karena masih pagi, Emily berjalan jalan ke lantai bawah, para pelayan tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Karena kemarin pulang sudah sore dan Emily hanya turun ketika makan malam, Emily belum berkenalan dengan para pelayan. Saat Emily menuruni anak tangga, dua pelayan tampak berbisik. "Kekasih, Tuan Muda. Cantik ya!" "Iya, tapi
Napasnya memburu, wajahnya merah padam saat melihat Arlen tengah mengalungkan lengannya di leher Emily sambil mengecup puncak kepalanya singkat. Arlen lalu tersenyum, Emily tampak nyaman berada dalam dekapan Arlen. Dia tidak tampak terganggu walaupun sedang mengetikkan sesuatu di keyboardnya. Seakan tidak terpengaruh dengan kehadiran Arnold. Dua insan tersebut tampak tersenyum bahagia. Sesekali Arlen berbisik dan membuat Emily tersipu. Entah rayuan macam apa yang dibisikkan Arlen. Hati Arnold semakin mendidih melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dunianya terasa runtuh, tidak pernah rasanya sesakit ini. Dan penyesalan itu semakin membuatnya sesak. "Tuan!" Panggilan Mike seketika membuat Arlen yang tengah menatap layar menoleh. Dia tampak kaget saat melihat Arnold. Berpura-pura kaget lebih tepatnya karena dia sudah tahu akan kedatangan Arnold. Selang beberapa saat kemudian, Emily ikut menoleh. Tidak ada ekspresi yang ditunjukkannya, wajahnya tampak datar, pa
'Sayang? Emily memanggilnya sayang? Apa aku salah dengar?' Jantung Arnold kembali terasa diremas-remas. Ketua divisi perencanaan berdiri dan mulai menjelaskan rancangan yang sudah mereka buat melalui layar proyektor. Arnold tampak tidak fokus, dia mencerna satu demi satu kejadian hari ini sambil sesekali mencuri pandang ke arah Emily dan Arlen. Mereka berdua tampak serius menatap layar, tapi Arnold bisa menebak bahwa Arlen memainkan tangannya di bawah meja. Tidak terlihat namun ekspresi wajah Emily menunjukkan segalanya. "Shit!" Arnold terbakar api cemburu, Emily adalah istrinya kenapa Arlen dengan lancang merengkuhnya bahkan memberikan kecupan di puncak kepalanya. Apa hubungan mereka? Tidak tahan lagi dengan keadaan yang semakin menghimpitnya, Arnold berdiri dan meminta izin ke kamar kecil. Arnold tidak takut kalau harus masuk penjara karena melukai Arlen, tapi Arnold menjaga perasaan Emily. Selama ini Arnold menyakitinya dan Arnold tahu tidak mudah bagi Emily un
Emily berbalik dan memajukan tubuhnya mendekat tanpa melepaskan genggaman tangannya dengan Arlen. "30 menit, kau hanya punya waktu 30 menit!" Emily menatapnya tajam. "Oke, tiga puluh menit. Kita sekaligus makan siang!" Tidak masalah bagi Arnold, yang penting Emily mau berbicara dengannya. Tidak peduli wanita di depannya ini menatap dengan jutaan kebencian, asalkan Emily mau memberinya waktu, Arnold sudah sangat bersyukur. "Aku tidak ma-" "Ayo kita berangkat sekarang!" potong Arnold. Arnold tidak ingin mendengar penolakan kali ini. Diraihnya tangan Emily namun Emily dengan cepat menepisnya. "Aku bisa jalan sendiri!" "Aku yang akan mengantarkan Emily!" Arlen akhirnya buka suara, dia tentu tidak akan membiarkan Emily pergi bersama Arnold. "Tidak perlu, aku suaminya!" gertak Arnold. "Aku kekasihnya!" Tantang Arlen tanpa ada rasa takut sedikitpun. "Sudah, cukup!" Emily merasa malu karena sejak tadi mereka menjadi pusat perhatian beberapa karyawan yang ada di sekitar
Emily mengerjapkan matanya demi memastikan bahwa yang ada di depannya benar-benar Arlen. Dan ya, ini memang Arlen. Dia bersungguh sungguh, tidak sedang bersandiwara. "Arlen!" Emily akhirnya memberanikan diri memanggil namanya. "Ya, Sayang," Arlen mengusap pipi Emily sambil tersenyum manis kepadanya. Wanita mana yang tidak bahagia diperlakukan seperti ini, disayangi dengan sepenuh hati. Tapi bagaimana dengan Emily, apa dia bahagia menerima perlakuan lembut Arlen padanya? Tentu saja dia bahagia namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam rasa sesak menghimpitnya. Emily menunduk dalam, air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung. "Hei, kenapa kau menangis!" Arlen meraih dagu Emily dan mengangkatnya hingga mata mereka kembali bertemu. "Kenapa kau menangis? Apa yang membuatmu bersedih?" Arlen mengusap kedua pipi Emily dan merangkulnya. Detak jantung Emily mendadak berdebar kencang. Seumur hidupnya, baru kali ini Emily mendapat pelukan hangat dari seorang laki-
Mobil yang ditumpangi Arnold sudah memasuki basement parkir SBC. Robert segera memarkirkan mobilnya. Arnold yang duduk di kursi depan bersiap hendak keluar namun baru saja membuka pintu mobilnya, tampak dari jauh, dua orang yang sangat familiar terlihat keluar dari lobby menuju ke arah mereka. Mata Arnold terpaku, dia kembali menutup pintunya dan menatap kedua orang yang semakin dekat. "Emily!" Bahasa tubuh keduanya menyiratkan bahwa mereka berdua nyaman satu sama lain. Arlen sesekali menoleh ke arah Emily sambil tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. "Kalau dulu bersaing dengan Arlen bukanlah hal yang sulit untukku, tapi sekarang…." Arnold hanya bisa memendam rasa cemburu yang teramat sangat saat melihat Emily bersama Arlen. CEO SBC itu terlihat sangat perhatian kepada Emily, berbanding terbalik dengan sikap Arnold yang bisanya hanya memberinya rasa sakit. "Anda punya hak untuk membawa Nyonya Emily kembali, Tuan," ucap Robert tegas. "Dengan paksaan? Dia akan sem
Tanpa basa basi, Arlen langsung ke intinya. Arnold tersenyum, dia sudah menduga bahwa kedatangan Arlen di sini pasti ada hubungannya dengan Emily. "Kalau aku tidak mau melepaskannya, apa kau akan memaksaku?" Arnold menyeringai, Arlen pasti sangat frustasi hingga nekat mendatanginya hanya untuk meminta Arnold melepaskan Emily. "Aku tidak akan memaksamu, aku melakukan ini karena aku tahu Emily tersiksa dengan statusnya. Jadi kalau kau benar-benar mencintainya seperti yang kau bilang, maka lepaskan dia." "Tidak akan!" Arlen menghela nafasnya dalam, dia lantas berdiri sambil mengangguk. "Baiklah, kalau kau tidak mau melepasnya dengan sukarela, maka sampai jumpa di pengadilan!" Arlen berlalu meninggalkan Arnold yang menggeram kesal, bisa-bisanya laki-laki itu mengintimidasinya. "Kau sudah ikut campur terlalu dalam Arlen, aku terima tantanganmu. Kita akan bertemu di pengadilan!" Arlen meninggalkan Maurer Corp dengan rasa kecewa. Dia boleh kalah dan menyerah saat Arnold
Yolanda bergidik ngeri saat membayangkan kejadian terakhir ketika ia tanpa sengaja memakan seafood. Seluruh tubuhnya gatal dan muncul ruam kemerahan; ia bahkan kesulitan bernapas waktu itu.Yolanda menggeleng lalu berpamitan pergi ke kamar kecil."Sayang, malam ini menginap di rumah Mama lagi, ya. Kerabat Papa dan Mama akan pulang besok, jadi masih ada satu malam lagi untuk kita berkumpul di rumah," ucap Nyonya Ruby.Emily mengangguk, meskipun sebenarnya ia merasa tidak nyaman bersama Tante Mandy dan Yolanda. Namun, karena mereka tidak sering datang ke London, Emily berusaha bersabar.Lima belas menit berlalu. Tiga orang pelayan datang membawa troli berisi makanan dan dengan sigap menyusunnya di atas meja.“Kemana Yolanda? Kenapa dia belum juga datang?” tanya Nyonya Ruby, menoleh ke arah toilet.Tak lama kemudian, Yolanda muncul dengan langkah gontai.“Yolanda, kau kenapa? Apa kau sakit?” tanya Nyonya Ruby cemas.“Perut Yola sakit, Tante. Bolehkah Yola pulang duluan?” rengeknya dengan
Tidak ingin berdebat, Emily memilih untuk mengabaikan perkataan Yolanda dan tetap bersikap baik padanya.“Terima kasih sudah mengingatkanku, Adik Ipar,” ucap Emily sambil mengulas senyum manis, lalu menutup pintu kamarnya.Yolanda hendak membuka kembali pintu kamar, namun Emily sudah keburu menguncinya.“Kau!” geram Yolanda, lalu menendang pintu hingga membuatnya memekik kesakitan.“Aww... wanita sialan. Awas saja kau!”Dengan emosi yang tertahan, Yolanda kembali ke kamarnya sambil terpincang-pincang karena jempol kakinya bengkak.“Berani sekali dia mengabaikanku! Awas kau, Emily!” geramnya sembari membanting pintu kamar.Sementara itu, di kamarnya, Emily bergegas membersihkan diri. Tubuhnya terasa lengket, aroma percintaan semalam bahkan masih tercium samar.Emily mengendus pundaknya, wangi maskulin dari parfum Arnold masih menempel di kulitnya. Sesaat ia memejamkan mata sambil menghirup aromanya. Benaknya kembali dipenuhi slide demi slide adegan panas mereka semalam. Sentuhan Arnold
Arnold menoleh ke belakang. Dilihatnya Yolanda berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur super tipis, hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. "Lampu kamarmu mati?" tanyanya sambil menatap lurus ke arah wajah Yolanda. Arnold menghindari melihat ke bawah karena, bagaimanapun juga, dia laki-laki normal. Yolanda mengangguk sambil tersenyum. "Aku akan menghubungi kepala pelayan untuk mengganti bohlamnya. Masuklah ke kamar dan ganti pakaianmu!" Arnold berbalik dan meninggalkan Yolanda begitu saja, membuat wanita itu gusar setengah mati. Dia sudah berpenampilan semenarik mungkin, namun Arnold malah mengabaikannya. "Aku rasa tubuhku jauh lebih bagus dari Emily. Kau bergegas pergi karena tidak tahan melihat tubuhku yang indah ini, bukan?" gumamnya pelan sambil menatap punggung lebar Arnold yang semakin menjauh. Yolanda tersenyum miring. Awal yang bagus, batinnya. Ia pun masuk kembali ke kamarnya, sedangkan Arnold mempercepat langkah. Ia tidak ingin berlama-lama di luar, takut istrinya ke
Semua mata menoleh ke arah asal suara. Arnold berdiri dengan wajah memerah, kedua tangannya terkepal sempurna di sisi tubuhnya. “Arnold!” Wajah Mandy mendadak pucat, begitu pula Yolanda. Ia langsung mencubit pinggang mamanya saking takutnya. “Jangan asal bicara kalau tidak tahu apa-apa!” Suara Arnold terdengar berat dan serak, rahangnya mengeras. “Coba katakan sekali lagi, Tante bilang apa?” tanyanya pelan namun penuh penekanan. Arnold berjalan menuju tempat Emily berada. Tatapannya tajam, siap mencabik siapa pun yang berani mengatai istrinya. “Kamu salah paham, Arnold. Tante tidak bermaksud seperti itu!” Suara Mandy bergetar. Walaupun masih muda dan hanya keponakan, Arnold sangat disegani oleh om dan tantenya. “Arnold tidak tuli, Tante!” Emily menggeleng pelan. Ia tidak ingin pesta kejutan ulang tahun Arnold diwarnai perdebatan antara tante dan keponakan—terlebih penyebabnya adalah dirinya. “Tante bisa jelaskan!” “Tidak ada yang perlu dijelaskan. Aku harap Tante mau memint
"Berlebihan bagaimana, bukankah ini sangat cantik?"Nyonya Ruby menarik pergelangan tangan Emily dan membawanya menuju tempat tidur king size milik Arnold.Di atas tempat tidur dihiasi dengan kelopak mawar merah berbentuk hati. Di samping kanan kirinya terdapat lampu hias berbentuk lilin yang membentuk huruf A dan E. Lilin aromatherapy di atas nakas."Dan yang paling penting ini."Nyonya Ruby membuka lemari pakaian Arnold dan mengambil sesuatu dari sana."Tada! Karena baju pesta mu berwarna merah, maka pakaian tidurnya yang warna hitam saja. Hmm, perfect!" ucapnya sembari menyerahkan baju dinas yang kemarin dibelikannya untuk Emily."Ah, kenapa Mama yang tidak sabar ingin segera malam. Kamu istirahat saja dulu, nanti kalau MUA nya datang , Mama akan memanggilmu!"Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily yang mematung sambil memegangi lingerie yang hanya terdiri dari 2 piece terpisah, sangat tipis dan Emily tidak yakin ini bisa menutupi asetnya dengan benar.Terdengar helaan nafas berat.
Mama tidak tahu Arnold suka warna apa, anak itu tidak pernah menolak saat Mama membelikannya dasi maupun kemeja, semua warna dipakainya.""Hmm, itu– Arnold suka warna merah dan hitam, Ma." Emily tahu saat Arnold memujinya ketika menggunakan pakaian dengan dua warna itu."Nice. Dua warna itu memang warna favorit, elegan dan menantang! Bungkus semuanya!" titahnya kepada Pramuniaga. Bukan hanya merah dan hitam tapi ada juga yang berwarna Navy dan Hijau botol dan warna lainnya."Ma, ini terlalu banyak!" tolak Emily halus. "Kau harus memakainya setiap malam agar suamimu tidak melirik wanita lain. Kau tahu, suami yang terpuaskan di rumah, tidak akan melirik wanita lain saat berada di luar."Emily tersenyum mendengar perkataan Nyonya Ruby. Mungkin ada benarnya tapi kembali lagi kepada orangnya. Kalau aslinya tidak setia, mau sepuas apa pun di rumah, pasti akan merasa kurang terus.Setelah membeli 'kado' untuk Arnold, Emily dan Nyonya Ruby makan siang bersama. Mereka menikmati santap siang d
Wanita yang ingin merebut gaun Emily tadi akhirnya melepaskan gaunnya dan menghampiri Nyonya Ruby. "Tante!" sapanya dengan wajah sumringah. Sudah lama mereka tidak bertemu, terakhir saat Arnold menikah dengan Sarah. Setelah itu Yolanda tidak pernah lagi ke London. "Yolanda, kau bersama siapa? Mana ibumu, Nak?" Yolanda langsung memeluk Nyonya Ruby dan mengecup pipi kanan dan kirinya, mereka terlihat sangat akrab. "Mama ke toilet, Tante sendirian? Dimana Kak Arnold?" tanyanya sambil menengok ke belakang Nyonya Ruby. Tidak ada siapa siapa. "Tante tidak sendirian, Tante bersama menantu Tante!" ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Emily. Ekor mata Yolanda mengikuti kemana arah tangan itu terulur, dia sedikit shock saat menyadari wanita yang disebut tantenya menantu adalah wanita yang sama yang berebut gaun dengannya barusan. "Menantu? Istri Nicho?" tanyanya memastikan. Arnold baru bercerai, belum setahun lebih tepatnya, jadi tidak mungkin sudah menikah lagi, pikir Yolanda.
Emily beranjak dari duduknya sambil membawa nampan berisi piring kosong. Lama-lama di dekat Arnold bisa membuatnya darah tinggi, jadi menghindar lebih baik daripada harus bertengkar untuk sesuatu yang tidak jelas. "Sayang, tunggu dulu!" Arnold bergegas mengejar Emily setelah menarik jas dan tas kerjanya. Dengan langkah kakinya yang lebar, secepat kilat Arnold sudah berada di sisi Emily. "Jangan bilang kau marah lagi padaku?" tanya Arnold penuh selidik. Lebih tepatnya Arnold takut istrinya marah lagi karena perkataannya barusan. "Aku marah kalau kau menuduhku berselingkuh." "Aku tidak menuduhmu, aku hanya menceritakan fenomena yang sekarang sering terjadi. Tapi aku percaya kamu," ucapnya sembari memeluk Emily dari belakang. Emily menoleh, Arnold pun tidak melewatkan kesempatan mengulum bibir ranum itu. "Syukurlah!" jawab Emily singkat, setelah Arnold melepaskannya. Emily melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk meletakkan piring kotornya, sementara itu Arnold menunggunya di
Arnold semakin merapatkan tubuhnya ke arah Emily. Hanya handuk yang melilit di pinggangnya, mempertegas keintiman yang memanas di antara mereka. "Karena sudah menolakmu," bisik Emily lirih, penuh penyesalan. "Kau ingin meminta maaf untuk itu?" gumam Arnold, matanya menyala penuh gairah. "Bagaimana kalau kau membayarnya pagi ini?" lanjutnya seraya menggigit pelan cuping telinga Emily. Seketika tubuh Emily menegang. Sensasi yang merambat cepat dari telinganya ke seluruh tubuh membuatnya menggigit bibir bawah agar desahannya tak lolos keluar. Ia tahu, ia takkan bisa menolak terlalu lama. Melihat Emily memejamkan matanya, Arnold menurunkan bibirnya ke rahang halus istrinya, mengecup perlahan. “Arnold!” desah Emily akhirnya pecah, napasnya tercekat oleh gelombang rasa yang mulai menguasainya. Dengan lembut tapi pasti, Arnold mengangkat tubuh Emily dan menurunkannya perlahan ke atas tempat tidur mereka. Ia kembali mengecupi leher jenjang yang begitu ia kagumi, jemarinya mulai bergerak