Share

5. Adegan Anu

Happy Reading

***

"Lagi ngobrol apa?" tanya Andrian setelah dia kembali dari toilet dan bergabung bersama dua perempuan yang diajak makan siang. Melirik sekilas pada sang sekretaris. "Kamu baik-baik saja, Tar? Kenapa wajahmu menjadi pucat?"

"Saya baik-baik saja, Pak." Tari duduk dengan gelisah.

"Segera makan, kamu paling nggak bisa nahan lapar," perintah Andrian ketika pelayan telah meletakkan makanan yang dipesannya tadi. Mengambil piring yang terhidang di depan sang istri, si bos memotong daging steak. Setelah selesai, Andrian menyodorkan kembali pada Nina. "Makanlah, Bun."

Nina tersenyum, Andrian memang tak berubah. Walau hadir Nurmalita di tengah pernikahannya. Lelaki itu tetap bersikap manis dan romantis padanya. Hal yang dilakukan Andrian tak luput dari pengamatan Tari.

Si sekretaris makin bingung. Pasangan di depannya sangat aneh. Bagaimana bisa, si nyonya besar tetap bersikap ramah dan si bos tetap memperlakukannya dengan sangat manis.

Pada beberapa kasus yang terjadi, jika si lelaki memiliki dua istri, maka tak akan pernah terjadi kedamaian serta keromantisan seperti yang terlihat sekarang. Pasangan yang berpoligami sering kali cek-cok dan adu mulut.

"Ayo makan, Tar," suruh Nina memutus lamunan dan keheranan Tari. "Pak Andri sengaja memesan makanan berbeda untukmu. Katanya, kamu tidak akan kenyang kalau makan tanpa nasi. Jadi, tadi Ibu pesankan chicken katsu with carbonara untukmu."

"Terima kasih, Bu," jawab Tari gugup. Pasangan itu tengah menatapnya saat ini. "Benar yang dikatakan Pak Andri."

"Sini saya potongin ayamnya, Tar."

Ucapan Andrian membuat Tari dan Nina mendelik. Tidak bisakah lelaki itu, bersikap biasanya saja. Saat ini ada istrinya di antara mereka.

"Kalian kenapa lihatnya gitu?" tanya Andrian tanpa rasa bersalah sama sekali. Tangannya sudah terulur untuk mengambil piring sang sekretaris.

"Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri. Silakan makan saja," ucap Tari. Merasa tak enak hati ketika melihat tatapan Nina.

"Ya, sudah. Cepat makan dan habiskan."

Setelah insiden itu, mereka bertiga makan dalam diam. Walau masih sangat canggung, Tari berusaha makan dengan tenang karena memang sudah sangat lapar. Sementara Nina, selalu melirik suaminya yang terlihat mengamati sang gadis.

Perempuan itu masih belum bisa mengartikan tatapan Andrian pada Tari. Oleh karena, dia tidak melihat nafsu dari sorot mata si suami. Nina menggelengkan kepala, tidak mungkin suaminya berani bermain apa dengan gadis berjilbab seperti Tari.

Makan siang itu, membuat Nina tahu bagaimana sejatinya Andrian. Dia bukan lelaki yang selalu memandang perempuan dengan napsu semata.

*****

Semilir angin menerbangkan ujung hijab, menutup muka ayu, Tari melengkungkan garis bibir ke atas. Dari tempatnya saat ini, angin berembus cukup kencang. Suasana seperti ini sering dia alami ketika jam makan siang tiba.

Tengah asyik menikmati makan siang, samar suara isakan mengusik indera pendengarannya. Tari merapikan hijab dan bergerak mencari sumber suara. Matanya awas menatap sekeliling, tak ada siapa pun di rooftop kantor ini.

Tanpa membunyikan hight heels, dia menyusuri seluruh rooftop. Suara isakan itu semakin terdengar jelas di ujung kanan tempat Tari berdiri. Tak terlihat  siapa pun di sana, hanya sebuah tangki penampungan air yang cukup besar. Mungkinkah ada seseorang di balik tangki tersebut? Jika ada, maka jelas tidak akan terlihat olehnya.

Tari mencopot sepatu, langkahnya berjinjit mendekati seseorang yang sedang menangis. Sejengkal lagi, dia bisa melihat siapa orang yang sedang menangis itu dan ketika mengetahui seketika mulutnya menganga tak percaya. Perempuan itu adalah istri pertama bosnya.

Nina terus meratap dan menangis tanpa menyadari ada seseorang yang telah mengetahui keberadaannya. Gumaman lirih terdengar oleh gadis itu.

Mengapa kamu tega melakukan ini, Mas. Aku tak mempermasalahkan pernikahan rahasia kalian, tetapi tunjukkan etika yang baik di depan semua karyawanmu. Kalian bisa melakukannya di hotel yang paling mahal, tetapi haruskah hal itu dilakukan di kantormu? Bodoh! Perempuan itu menjambak rambutnya sendiri. Begitulah ungkapan hati si nyonya besar.

Tari membekap mulutnya dengan kedua tangan. Dia tak percaya seorang nyonya besar ada di tempat seperti ini. Pikirannya sempat bertanya, mungkinkah Nina sama sepertinya. Berusaha untuk menghindari sesuatu.

Seakan tersadar bahwa ada seseorang yang tengah mengamati, Nina menengok ke belakang. Tari bersembunyi di balik tangki air yang tidak terjangkau oleh pandangan Nina secepat yang dia bisa. Setelah memastikan keamanannya, Tari melenggang pergi.

Napasnya memburu seperti maling yang akan tertangkap. Tari memutuskan untuk kembali ke ruangannya saja. Niat untuk makan siang di rooftop seperti hari-hari biasa diurungkan. Bekal makanan yang dibawa tidak dihabiskan.

Tari berjalan dengan napas tersengal-sengal. Gadis itu memelankan langkah saat melewati ruangan Andrian, berusaha menghindari sang atasan. Namun, dia malah menemukan kejadian ganjil dari ruangan itu. Pintunya yang tak tertutup rapat membuat suara-suara aneh tertangkap jelas.

Penasaran, dia mendekat ke arah ruangan Andrian, tatapannya mengarah pada kegiatan dua orang di dalam sana. Desah manja sang istri muda membuat Tari merinding. Apa yang sebenarnya terjadi?

Dari celah pintu yang terbuka itu, Tari bisa melihat sedikit aktivitas keduanya. Mereka sedang memadu kasih. Tak peduli masih di kantor, keduanya sangat menikmati permainan yang dilakukan.Pinggang Andrian bergoyang membentuk tarian kenikmatan tersendiri. Suara desahan Lita bak penyanyi yang memberikan semangat pada sang atasan.

Rasa mual menyerang bagian tubuh Tari. Perutnya dikocok hebat melihat adegan tak pantas yang tertangkap inderanya. Walau mereka adalah sepasang suami istri dan halal melakukan kegiatan itu, tetapi hal tersebut tidaklah pantas dilakukan di tempat terbuka seperti sekarang. Bak bertemu hantu, dia berlari sekencang mungkin meninggalkan kegiatan panas mereka.

Pantas Ibu Nina tadi berkata seperti itu, ternyata ini yang mereka lakukan. Benar-benar seorang pelakon drama terbaik. Selalu manis pada setiap perempuannya. Tari mengumpat dalam hati.

Sampai di lantai bawah, Tari menuju pos satpam. "Pak, saya ikut ngadem di sini boleh, tidak?"

"Eh, Mbak Tari. Boleh, silakan!" Satpam yang sudah setengah baya itu duduk di depan pos, sementara Tari masuk ke dalamnya.

"Terima kasih, Pak." Tari duduk dan membuka botol minum. Napasnya masih ngos-ngosan. Setelah cukup tenang, dia membuka kotak bekal dan mulai memasukkan ke mulut.

"Sama-sama. Tumben, Mbak, makan di sini?"

"Iya, Pak," jawab Tari tanpa penjelasan lebih lanjut.

Tari melirik jam tangan. Sepuluh menit lagi, waktu istirahatnya habis. Dia dengan cepat melahap bekal yang dibawa, tetapi ingatannya melayang pada kejadian tadi. Alhasil makanan yang sudah masuk ke perutnya memberontak keluar. Tari berlari ke kamar mandi yang terletak di belakang pos. Dia mengeluarkan semua isi perut yang baru saja diisi.

"Mbak Tari kenapa? Sakit?" tanya satpam.

"Tidak, Pak. Mungkin karena saya telat makan, jadi mag saya kambuh."

"Oh. Jangan sampai telat kalau begitu, Mbak! Kirain lagi itu?" Si satpam berkata dengan senyum penuh sindiran.

"Maksud Bapak apa? Saya hamil?" Tari berkata terus terang dengan nada sedikit emosi.

"Iya, Mbak. Maaf jika saya berpikiran seperti itu. Kabar yang beredar tentang Mbak Tari saat ini menjadi penyebabnya." Satpam dengan perawakan sangar karena jambang yang memenuhi seluruh wajahnya itu terlihat sedikit ketakutan.

"Astagfirullah. Saya tidak seperti bayangan mereka, Pak. Apa yang rekan-rekan katakan itu tidak benar. Saya dan Pak Andri tidak ada hubungan apa pun." Tari menarik napas panjang berusaha menetralkan emosinya yang mulai tersulut. Rasa mual itu hilang setelah dia mengeluarkan isi perutnya.

"Iya, Mbak. Saya percaya orang seperti Mbak Tari tidak mungkin melakukannya. Jangan sampai kejadian seperti Ibu Lita, ya, Mbak!"

"Kenapa memangnya, Pak?" Tari memicingkan mata. Gosip apa lagi yang akan didengar kali ini.

"Ah, Mbak pasti tahu lah kisah mereka." Setelah berkata seperti itu, si satpam kembali bertugas dan Tari masuk ke kantor untuk kembali bekerja.

Di depan lif Tari berpapasan dengan Andrian dan Lita. Dia menempel erat pada sang atasan, persis seperti lintah yang tengah menghisap darah. Tari membuang muka, dia tidak ingin menyaksikan kemesraan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status