Home / Mafia / Sentuhan Panas Tuan Mafia / 1. Dijual di Aula Lelang

Share

Sentuhan Panas Tuan Mafia
Sentuhan Panas Tuan Mafia
Author: Callista_ Ivan

1. Dijual di Aula Lelang

last update Last Updated: 2025-08-27 15:34:53

“Ahh, Ohh! Sentuh tubuhku lebih dalam, Sayang.”

“Nikmat sekali!”

Desahan demi desahan terdengar dari segala penjuru aula lelang mewah itu. Bukan desahan yang indah di telinga, melainkan suara rakus, haus, memuakkan, dan penuh nafsu.

Aroma menguar di udara, campuran antara parfum mahal, alkohol, dan cairan tubuh manusia. Kombinasi itu membuat perut Anne Valerie terasa mual.

“Lepaskan aku dari sini! Siapa kalian?” Anne berteriak saat dirinya didudukkan di belakang panggung. 

“Melepaskanmu? Itu mustahil. Hahaha!” Suara tawa para pria itu membuat Anne semakin ketakutan, apalagi saat salah satu dari mereka mencengkeram rahangnya untuk membuat Anne meratapnya. “Untuk apa kami susah payah menculikmu kalau hanya untuk melepaskanmu?” 

Gadis berusia 25 tahun itu menciut. Air mata sudah membasahi pipinya yang mulus.

Ia sangat takut, karena kini, beberapa pria yang sedang duduk mengitarinya tengah menatapnya dengan liar.

“Lihatlah, gadis ini cantik sekali! Masih perawan pula. Dia pasti akan laku mahal,” ucap pria berbadan besar yang menculiknya kemarin. Suaranya terdengar bangga seolah ia baru saja menemukan berlian.

Pria yang lain pun menimpali sambil menyeringai. Matanya tak henti menatap tubuh molek Anne yang nyaris tak tertutup, dan hanya dibalut sehelai kain tipis tembus pandang di bahunya.

“Benar. Kulitnya pun bersih dan mulus, tubuhnya juga sangat indah. Pria-pria kaya itu pasti akan saling bunuh demi bisa menyentuhnya.”

Anne menggigit bibirnya sampai berdarah. Kedua tangannya terikat di belakang, bahkan pergelangannya membiru akibat tali kasar. Kepalanya masih terasa sedikit berdenyut akibat kejadian tadi malam.

Ia ingat betul bahwa semalam ia masih berada di rumah kosnya yang kecil. Lelah setelah lembur di kafe, ia hanya ingin tidur. Akan tetapi, suara langkah di koridor tiba-tiba terdengar. Belum hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba wajahnya sudah ditutup oleh sebuah kain hitam yang menguarkan aroma sangat menyengat hingga membuat Anne pusing dan kehilangan kesadaran.

Setelah tersadar, ia sudah berada di tempat ini. Tempat yang lebih menyeramkan dari mimpi buruk mana pun.

Di sini sebuah tirai beludru merah memisahkannya dari dunia luar. Di balik sana, cahaya lampu kristal bergantung dan suara gelas beradu terdengar jelas. Tiba-tiba seorang pria berjas putih dengan wajah yang terlihat ramah, menyibakkan sedikit tirai itu.

“Lihat baik-baik, Manis. Inilah panggungmu,” bisiknya sambil menyeringai.

Anne memaksa matanya untuk menatap ke luar dan seketika itu ia langsung terbelalak.

Di kursi-kursi mewah yang melingkari panggung, ia melihat orang-orang yang sedang bercinta tanpa rasa malu sedikit pun.

Di pojok ruangan, ada seorang pria yang sedang asyik menjilat paha seorang wanita. Dan di atas panggung, tampak seorang pria tengah dilelang dalam keadaan telanjang. Tubuhnya dirantai, dan merangkak seperti anjing. Ada seorang wanita bertopeng berdiri di belakangnya dengan cambuk di tangan. Senyumnya kejam, tapi begitu liar.

“Ini … tempat macam apa ini?” Suara Anne bergetar ketakutan.

Suara tawa dan tepuk tangan terdengar dimana-mana. Rintihan klimaks bersahutan dengan suara desahan di seluruh ruangan.

“Huek!” Perut Anne terasa mual.

Tempat ini … benar-benar sangat mengerikan!

Tiba-tiba, tirai beludru merah itu disibak kasar. Cahaya lampu sorot menyilaukan matanya. Dua pria berbadan besar dan berpakaian serba hitam, datang mencengkeram lengannya dengan kekuatan yang membuat pergelangannya memutih.

“Cepat ikut!”

“Tidak mau! Tolong!” tangisnya terisak, tapi tenggelam di tengah denting gelas kristal dan musik instrumental yang mengalun dari panggung sebelah.

Tak ada yang peduli padanya.

Anne diseret maju dengan paksa. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, napasnya terputus-putus. Dan sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, ia sudah berdiri di tengah panggung besar itu.

Kini ratusan pasang mata menatapnya dengan takjub. Para pria itu terpukau dengan keindahan Anne.

Sepasang mata bening miliknya memantulkan cahaya lampu. Bulu matanya yang lentik dan panjang melengkung sempurna. Kulitnya putih pucat seperti porselen, kontras dengan rambut hitam legam yang jatuh liar di bahunya. Bibirnya merah alami, dan tampak sedikit bergetar.

Ditambah tubuh indahnya yang nyaris tak tertutup dan terlihat begitu seksi, membuat semua pria di ruangan itu merasa ingin memilikinya.

Aula itu hening sejenak.

Sebelum kemudian meledak dengan suara sorakan tak tahu malu dari para pengunjung.

Lalu tak lama, terdengar orang-orang mulai menawarkan harga untuknya.

“Tiga ratus juta!”

“Lima ratus!”

“Enam ratus juta untuk si perawan! Aku akan berpesta dengannya malam ini!”

Tubuh Anne membeku. Air matanya menitik semakin deras.

Angka-angka itu seperti peluru yang meledak satu demi satu di telinganya dan menembus dadanya. Harga dirinya benar-benar hancur, seolah-olah ia bukan manusia, dan hanya barang mewah yang bisa dibeli.

Tangan-tangan pun terangkat. Mata-mata lapar melahap tubuhnya dari ujung rambut hingga jemari kakinya. Seorang pria di barisan depan bersiul panjang, sementara di sisi lain, seorang pria lain mulai membuka resleting celananya. Tangannya bergerak ritmis, wajahnya memerah saat menatap Anne dengan mata penuh hasrat kotor.

Kaki Anne melemas. Tangisnya tergugu, dan tangannya berusaha menutupi anggota tubuh yang terbuka. Ia benar-benar merasa kesulitan untuk bernapas.

“Tolong! Siapa pun, bawa aku pergi dari sini!”

Namun, semua pria di sana hanyalah pria hidung belang yang butuh pelampiasan nafsu. Tak akan ada yang menolong Anne, membuat harapan gadis itu sirna. Sekalipun ada, pasti pria itu tidak jauh beda dari–

“Dua miliar.”

Aula itu mendadak sunyi. Semua menoleh ke asal suara.

Tepat di balkon paling atas, seorang pria berdiri tegap seorang diri. Tubuhnya tinggi kekar. Setiap garis tubuhnya terbingkai rapi oleh jas hitam mewah yang tampak dibuat khusus untuknya. Mata hazelnya menyala di bawah kilau lampu, nampak tajam seperti pisau.

“Dia milikku. Antar ke mansionku setelah ini. Dalam keadaan terikat!” perintah pria itu dengan suara dingin, dan tak menerima penolakan.

Bisik-bisik pun pecah di seantero aula.

“Ya Tuhan, itu .…”

“Itu Leon Dominic, pria yang paling ditakuti di sini!”

Jantung Anne seakan berhenti berdetak. Ia bahkan pernah mendengar namanya. 

“Leon Dominic, si penguasa pasar gelap. Pria yang rumor kekejamannya membuat pengusaha besar pun bertekuk lutut.”

---

Beberapa menit kemudian, Anne dibawa turun panggung. Tangannya masih diikat di belakang punggung. Tidak peduli betapa kuatnya Anne melawan, pihak pelelangan jelas lebih kuat dari segi kuasa maupun kekuatan.

Baru setelahnya, ia dibawa menuju ke sebuah mansion mewah milik Leon Dominic.

Lorong menuju ruang pribadi Leon terasa panjang dan sunyi. Lampu gantung kecil di langit-langit memantulkan cahaya hangat, sangat kontras dengan dinginnya udara di sekitar.

Langkah mereka terhenti di depan pintu besar berwarna hitam pekat, dengan ukiran halus di bingkainya. Seorang pengawal menekan interkom.

“Kami datang. Membawa gadisnya.”

Tak lama pintu besar itu pun terbuka perlahan.

Udara hangat menyeruak, menyapu kulit Anne yang dingin. Aroma maskulin yang pekat menusuk hidung. Campuran asap cerutu mahal, kayu cedar, dan sesuatu yang samar-samar–

Aroma seks!

“Masuk!” Suara pria itu begitu dalam dan penuh kuasa.

Anne melangkah masuk dengan kaki gemetar.

Begitu tiba di dalam ruangan, ia melihat Leon Dominic duduk di kursi besar yang menghadapnya. Kakinya terbuka lebar. Tubuh tegapnya tampak begitu santai. Satu tangan menggenggam gelas berisi cairan amber berkilau, sedangkan satu tangan lain menyentuh bibirnya seolah sedang menilai sesuatu. Matanya tak pernah lepas dari tubuh Anneyang tampak polos, tapi juga seksi.

“Tutup pintunya. Biarkan dia sendiri bersamaku.”

“Baik, Tuan!”

Klik!

Pintu tertutup rapat, hilang sudah jalan keluar Anne.

Gadis itu berdiri ketakutan di hadapan Leon. Tangannya yang sudah dilepaskan kini terkulai di sisi tubuhnya, meremas gaun tipis transparan yang nyaris tidak bisa menutupi tubuhnya.

Tubuh setengah telanjangnya masih tak bisa membuat mata Leon berkedip.

“Tuan, aku–”

“Buka bajumu!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mas Author Ganteng
Wow Leon!!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Tuan Mafia   44. Trauma Luka Lama

    Sudah beberapa hari sejak kejadian hari itu, Anne belum pernah bertemu Leon lagi. Setiap hari, hanya Lina yang menemaninya. Gadis itu masih tampak lemah, tapi jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Lina yang mengurus semua keperluannya dari mulai makan, minum obat, sampai menemani jalan sore di taman belakang mansion.Semua itu tentu dia lakukan atas perintah dari Leon. Majikannya itu bahkan sudah memberikan bonus besar untuk Lina, agar ia melayani Anne dengan baik, dan merahasiakan tentang rencana Leon dari siapa pun.Sedangkan Leon, ia benar-benar menepati ucapannya. Ia tidak mendekati Anne sama sekali, meskipun setiap hari ia tetap mengawasinya dari jauh. Ia tahu setiap langkah Anne, tahu jam tidurnya, bahkan tahu kapan Anne mulai bisa tersenyum sedikit lagi. Ia hanya tidak bisa menatapnya langsung.Tapi selama itu pula, diam-diam Leon terus mengirimkan hal-hal kecil dan kejutan untuk Anne.Ia mengirimkan bunga segar di meja makan. Kotak cokelat di dekat ranjang. Dan kali ini, ada

  • Sentuhan Panas Tuan Mafia   43. Maaf Membuatmu Terluka

    “Anne, tenang dulu. Aku tidak akan menyakitimu.” Leon mengulurkan tangannya hendak meraih tangan Anne.“Pergi!”Suara napas Anne masih tersengal-sengal. Tatapannya liar, seperti binatang yang baru saja keluar dari jerat. Ketika Leon hendak mendekat, tiba-tiba gadis itu menjerit lagi dan meraih benda apa pun yang bisa dijangkaunya di atas nakas.“Jangan dekati aku!”Prang!Tanpa peduli pada infus yang masih menancap di punggung tangannya, Anne melempar vas bunga itu tepat ke arah Leon. Pecahannya beterbangan dan nyaris mengenai wajah pria tampan itu.“Anne, hentikan!”“Keluar!” teriak Anne histeris. Suaranya pecah, parau, penuh amarah dan ketakutan.Leon tak bergerak. Tatapan matanya membeku, antara kaget, merasa bersalah, dan tak percaya. Ia hanya mampu menatap gadis itu lekat-lekat.“Aku tidak akan menyakitimu lagi, Anne. Aku janji.”Namun, Anne sudah terlalu jauh dalam ketakutannya. Tubuhnya gemetar hebat, dan wajahnya penuh air mata. Ia menutup telinganya dan meringkuk di pojok ran

  • Sentuhan Panas Tuan Mafia   42. Gantian Aku Membersihkan Tubuhmu

    “Hey budak, kenapa kau tidak bangun juga? Apa kau tidak ingin melayani Tuanmu ini, hah?” Leon menatap wajah Anne lekat-lekat.Sudah dua hari berlalu sejak kejadian di ruang bawah tanah itu, dan Anne belum juga sadar. Tubuh gadis itu masih lemah, wajahnya pucat seperti sosok yang tak bernyawa. Berbagai peralatan medis masih terpasang di sisinya.Sementara itu di sisi ranjang, Leon masih setia duduk menunggunya di sana. Lingkar hitam mengitari matanya karena dua malam penuh ia tak tidur. Hanya sesekali Leon terpejam, tapi setelah itu ia akan terbangun kembali.Suara alat medis berdenting pelan di antara sunyi. Leon menatap jarum infus yang menetes lambat, seolah menghitung detik demi detik harapan yang tersisa untuk gadis itu.“Hey, bangun,” gumamnya lirih sambil menggenggam tangan gadis itu yang terasa dingin. “Aku tidak tahu harus marah atau takut kehilanganmu.”Ia menghela napas panjang, lalu memanggil pelan.“Lina!”Lina yang sejak tadi sedang berdiri di depan pintu, kini segera mas

  • Sentuhan Panas Tuan Mafia   41. Mencemaskan Si Budak Lemah

    Suara Leon menggema ke seluruh ruangan lembap itu, memantul di dinding batu yang dingin dan berlumut. Ia segera berlari dan berlutut di samping tubuh Anne yang tergeletak tak bergerak. Wajah gadis itu sudah tampak sangat pucat.“Anne, bangun! Kau dengar aku?” teriak Leon lagi dengan suaranya yang serak.Tangannya gemetar ketika menyentuh pipi Anne yang terasa sangat dingin. Ia menepuk-nepuk pipi Anne perlahan, tapi tidak ada reaksi sama sekali.Dada Leon rasanya sesak, seperti ada batu besar yang menindihnya. Napasnya tersengal, dan matanya menatap lekat pada luka di kepala gadis itu.Darah sudah mengering, membentuk garis gelap di pelipis. Di sebelahnya, sudut meja batu juga tampak berlumur darah segar yang mulai mengering.“Anne, dia membenturkan kepalanya sendiri?” tanya Leon pada dirinya sendiri dengan gemetar.“Apa yang kau lakukan, Bodoh.” Leon berbisik, suaranya hampir tak keluar.Ia kembali menepuk-nepuk wajah Anne dengan panik dan berharap ada sedikit gerakan, helaan napas, a

  • Sentuhan Panas Tuan Mafia   40. Anne, Tidak!

    Dada Leon berdebar sangat kencang dan terasa sesak. Ia menatap layar itu sangat lama. Rahangnya mengeras, giginya gemeretak, dan jemarinya mengepal hingga buku jarinya memutih.“Apa maksudnya ini? Permainan apa?” gumamnya dengan suara bergetar oleh kebingungan dan amarah yang terpendam.Kalut menguasai pikirannya. Tanpa berpikir panjang, Leon segera menekan tombol panggil interkom di meja kerjanya.“Jonathan, ke kamarku sekarang. Dan panggil Dev juga.”Tak butuh waktu lama, ketukan pelan terdengar di pintu. Jonathan masuk lebih dulu dengan langkap tegapnya, diikuti seorang pria berjaket hitam dengan laptop di tangan. Dev, sang hacker andalan kepercayaan Leon.“Tuan Leon, apa yang terjadi?” tanya Jonathan dengan hati-hati.Leon melemparkan ponselnya ke meja. Ia memegang dagu dan menopang sikunya di pegangan kursi.“Baca sendiri.”Jonathan dan Dev mencondongkan tubuh untuk membaca pesan di ponsel Leon. Dev menatap layar ponsel itu dengan alis terangkat naik.“Pesan anonim, tanpa ID peng

  • Sentuhan Panas Tuan Mafia   39. Hukuman untuk Penghianat (21+)

    “Akh, sakit!” pekik Anne meronta-ronta, tetapi tangannya tetap dicengkeram kuat oleh Martha.Suara langkah sepatu Martha bergema di lorong bawah tanah yang lembap. Tangannya masih setia mencengkeram lengan Anne dengan kasar, dan menyeret gadis itu menuruni tangga batu.“Ayo cepat ikut! Tidak usah banyak melawan!” sentak Martha kasar.“Lepaskan aku, Martha! Aku tidak salah apa-apa!” jerit Anne yang masih terus berusaha melepaskan diri. Tapi Martha justru menariknya lebih keras.“Diam!” bentak Martha. “Kau pikir Tuan Leon akan memaafkanmu setelah kau menghancurkan kepercayaannya? Kau sudah mengkhianati Tuan Leon, dan kau masih berani-berani bilang kalau kau tidak bersalah?”Anne terus saja menangis karena dibentak oleh Martha, yang kini sudah menyeretnya semakin kasar.Tak lama, mereka pun akhirnya tiba di ruang gelap beraroma apek, di mana dindingnya lembab dan lantainya basah. Martha membuka pintu ruangan itu dengan kasar.Suasana sangat mencekam, dan gelap pekat. Tubuh Anne gemetar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status