Suasana berlanjut hening setelah kepergian Tyas. Asti masih menunggu penjelasan Aditya, atas apa yang baru saja terjadi.
“Kamu yakin, akan memenuhi undangan mbak Tyas?” Aditya bangkit dari kebisuannya.
“Sebenarnya saya masih bingung, Mas. Sedari tadi semuanya berjalan seperti adegan yang sangat asing di benak saya. Mas Aditya juga belum pernah bercerita sedikit pun tentang mbak Tyas dan orangtua Mas Aditya. Mas kenalkan saya sebagai calon istri, sedangkan saya sama sekali tidak mengenal keluarga Mas Aditya.
“Kemudian, saya baru tahu juga, Mas Aditya tidak tinggal bersama orangtua. Terlalu banyak cerita yang sangat asing untuk saya, Mas. Apakah Mas Aditya berkenan memberikan saya kebenarannya?” pinta Asti.
“Aku mohon maaf. Aku baru sadar, aku bersikap sangat egosi selama ini. Kamu selalu terbuka tentang keluarga kamu, sedangkan aku sebaliknya,” ujar Aditya. “Oke berarti waktunya sudah tiba. Apakah saya bisa mendengarkan semua ceritanya?” sambung Asti.<
Tatapan enam orang itu terbuka lebar. Pria-pria itu menelan ludah, serentak. Kalimat Indah seperti menghentikan detak jam dinding Liebe Box. Terasa tidak ada kehidupan. Semuanya berubah kaku. Pria-pria itu lanjut menatap serius Rakha. Mereka tampak menunggu jawaban pria itu. Dona terus tersenyum. Dia pun tidak menyangka, Indah akan menjadi wanita penuh percaya diri hari ini. Belum lagi, Indah dan Rakha punya masa lalu yang tidak baik. “Tidak usah dijawab sekarang!” jelas Indah. “Aduh!” Sikap rekan-rekannya serentak kecewa. Mereka ingin mendengarkan langsung jawaban Rakha, namun kalimat Indah membuyarkan harapan mereka. Giliran Yusuf yang menatap serius Dona. Dona yang mendapati tatapan yang begitu dalam, mulai berpikir maksud tatapan itu. Dona akhirnya mengerti. Dia tersenyum lagi. “Ada yang cemburu, ya?” ucapnya, sambil tersenyum. Yusuf tidak merespons. Dia masih menatap Dona, menunggu jawaban atas tata
Pukul delapan malam, Aditya ditemani Asti sudah terlihat di apartemen Indah. Berselang tak begitu lama, Rakha pun tampak sudah hadir. “Terima kasih atas kehadirannya semua, malam ini. Perlu aku perjelas, ini dokumen-dokumen yang harus diselesaikan dalam dua hari ini,” ungkap Indah menunjuk tumpukan proposal proyek yang sedari pagi membebani pikirannya. Rakha menoleh ke Aditya. “Apakah kamu siap, Bung?” tanyanya. “Pasti!” sahut Aditya, penuh semangat. “Tunggu, tunggu,” sela Asti. “Bapak-bapak perlu tahu dulu, informasi apa yang kami butuhkan. Agar hasilnya bisa dipahami lebih mudah dan keputusan yang diambil bisa adil untuk semua.” “Serius banget sih, Sayang,” goda Aditya, menarik Asti dalam pelukannya. Rakha dan Indah yang mendapati sikap Aditya, hanya bisa tersenyum, geli. “Ehm, gak kenal tempat ya,” singgung Rakha. “Hanya depan kalian berdua. Makanya, segera punya pasangan,” ujar Aditya. Lagi, menggoda Rakha dan Indah.
Asti berdiri terpaku, setelah mendapati sosok di depan pintu. Aditya menyusul istrinya. “Mama,” ujar Aditya, terkejut. Asti tak kalah kaget. Bertemu dengan ibu suaminya selalu menghadirkan ketegangan, yang membuat lidahnya kaku. Tidak tahu menempatkan diri. Aditya yang paham, langsung menggandeng tangan istrinya. “Masuk, Ma,” pinta Aditya, bersikap santun. Dewi melangkah masuk ke dalam apartemen anaknya. Sorot matanya tak seperti biasa. Dia terlihat lelah, wajahnya tidak sesempurna biasanya. Hening. Asti menuju dapur menyiapkan minuman. “Mama, apa kabar?” Aditya memecah sunyi. “Mama, baik. Sehat. Kamu dan Asti apa kabar?” sambung Dewi. “Baik, Ma,” jawab Aditya. Tak berselang lama, Asti sudah kembali dengan secangkir teh hangat. Dihidangkannya dan duduk di samping suaminya. “Mama ke sini….” Dewi menghentikan kalimatnya. Terdengar berat setiap kata yang diucapkannya. “Sering-seringlah main ke rum
Indah berdiri membatu. Wajahnya tak sanggup memandang pria yang terlihat begitu lemah di hadapannya. “Masuk, Indah,” pinta Dimas. Dimas lantas duduk di sofa, diikuti Indah dan Adrian. “Adrian sudah cerita beberapa hari yang lalu, bahwa kamu datang mencari saya. Tapi, seperti yang Adrian sudah sampaikan, saya lagi berduka. Hidup saya kehilangan gairah sejak ibu pergi untuk selama-lamanya,” lanjut Dimas, matanya berkaca-kaca. Ingatan tentang sang istri kembali membawa keharuan yang tak berjeda. Kasih sayangnya yang utuh, tampak dari roman wajah dan matanya yang tak kunjung melahirkan cahaya, seperti yang biasa bersamanya. Indah tak lagi bisa menahan diri. Air matanya kembali mengalir, pelan. Napasnya sesak. Serasa seluruh ruang dalam dadanya tertutup tanpa cela. “P-pak, saya turut berduka cita….” Perasaan Indah berkecamuk duka. Dia tidak mampu mengangkat wajahnya. Dia terus menunduk, tak berani menatap Dimas. “Iya. Inilah keh
Tyas masih terpaku di hadapan Asti dan Aditya. Pembicaraan tentang restu orangtuanya pada pernikahan Aditya dan Asti, belum juga menemui titik terang. “Aku akan menuruti permintaan mama, Mbak. Beliau mengusirku dari rumah. Dan meminta aku tidak lagi menampakkan wajah di hadapannya. Aku patuh pada itu, Mbak!” jelas Aditya. “Tapi, papa kurang sehat, Dit. Dia ingin ketemu kamu dan istri kamu. Cobalah rendahkan gengsimu sedikit. Mbak mohon,” pinta Tyas. Aditya tidak menjawab. Dia mengalihkan pandangannya, mengelus-ngelus kakinya yang perbannya telah dilepas. Menurut dokter hanya butuh beberapa treatment lagi, Aditya sudah bisa keluar dari rumah sakit. “Apakah mama pernah mengatakan, dia menyesal atas sikap dan ucapannya tentang Asti?” sambung Aditya, mencari kepastian. Tyas terpaku. Dia tidak bisa memberikan kejelasan, karena semua hanya sekedar dugaannya saat ini. “Tuh kan. Mbak pun tidak bisa memastikan penerimaan mama. Aku t
Hendra duduk bersama Rizal di ruangannya. Terlihat sangat serius. “Apakah semua akan baik-baik saja?” tanyanya. “Aku akan mengupayakan, Indah tidak mendengar semua percakapan kita tadi, Pak,” sahut Rizal. “Jangan sampai COO beralih darimu. Jika Indah tak jadi bergabung dan dia kembali ke Big Land, semua selesai. Kamu pun kehilangan posisimu!” jelas Hendra. Pria itu berlalu dan meninggalkan Rizal di ruangannya. “Huff. Kenapa dia harus mendengar semuanya!” sesalnya pada dirinya sendiri. Rizal tampak berpikir. “Apakah mbak Intan, bisa kembali jadi penolongku sekarang?” gumamnya. --- Liebe Box Dona kembali menatap Indah dari jauh. Kembali, Indah duduk termenung sendiri di pojok ruangan Liebe Box. Menikmati suasana lebih sunyi Liebe Box di sore yang tak biasa. Dona mengambil secangkir kopi hitam dari Romi. Membawanya ke meja Indah. “Apakah kamu keberatan jika aku bergabung?” tanya Dona, menunggu jawaban. “Dud