Tetesan-tetesan air masih betah menempel di patung TB Simatupang dan patung Liberty Manik berwarna emas yang berdiri gagah di pelataran Letter S. Sebagian tetesan-tetesan air itu jatuh ke podium patung. Warung kecil di dalam mobil hitam yang sudah dimodifikasi berada di salah satu sudut pelataran. Pemilik warung terkantuk-kantuk berselimut hijau gelap tebal berbulu. Pemandangan kota sumbul dari atas sini sangat indah walau sedikit tertutup kabut. Kami duduk di bawah saung beton lumayan besar di tingkat atas bukit Letter S. Sehingga semuanya terlihat jelas. Tempat ini dinamakan Letter S karna jalan menurun di depan bukit ini berkelok seperti huruf S. Disamping bukit ada pintu masuk bagian belakang taman TWI berhiaskan gapura besar melengkung dibagian atasnya, bertuliskan Taman Wisata Iman Dairi. Di bukit ini biasanya tempat insan-insan muda yang sedang jatuh cinta berbincang-bincang setelah atau sebelum berjalan-jalan ke dalam taman. Pohon-pohon hijau rimbun dan tinggi
Sepanjang obrolan setelah dia datang, aku kebanyakan hanya diam saja. Sesekali menimpali kalau namaku disebut atau ikut tertawa ala kadarnya. Shaniar yang sudah terserang virus cinta pada kak Adam -dia pasti tidak akan melewatkan kesempatan duduk bersampingan dengan kak Adam- terlihat biasa saja dan malah ikut-ikutan heboh. Pembicaraan seperti berpusat pada si Nenek Tapir karna dia sangat heboh. Suaranya melengking di buat-buat seimut mungkin. Pengaturan!. Gesturnya juga seperti ingin menguasai semua perhatian orang-orang disekelilingnya. Setidaknya itu yang kulihat dan rasakan. Pembicaran ini menajdi sangat membosankan. Aku jadi tidak tenang berada di tengah-tengah ini semua.Aku sangat tidak menyukai kehadirannya tapi mungkin karna itulah aku bisa mencermati alasan dia ada di sini. Dia menceritakan betapa bahagianya dia hujan sudah turun dan bisa menyusul kami. Bahagianya semakin bertambah saat dia bertemu rombongan kak Adam di tengah perjalanan dan berhasil membujuk mereka
Tapi, esoknya dan hari-hari berikutnya sangatlah berbeda dari dugaanku. Rencanaku gagal total. Si Lesung Pipi berubah. Benar kata Shaniar, dia menjaga jarak bukan hanya pada Shaniar, kini juga denganku. Dia sudah kembali menjadi seperti anak populer lainnya. Sangat jauh di atas sana. Jarang terlihat di tempat-tempat biasa. Bahkan hanya berpapasan juga tidak pernah lagi. Aku menjadi sangat jarang berinteraksi langsung dengannya belakangan ini. Latihan drama yang kuharapkan bisa mendekatkanku lagi padanya juga tidak banyak membantu. Dia sering menhindariku ditambah lagi dia juga semakin seing tidak ikut latihan karena mengurus sesuatu. Kak Adamlah yang memberitahukan alasan mengurus sesuatu itu. Itu pun detailnya tidak mau dijelaskan olehnya. Aku dan ka Adam masih mnegobrol biasa meski tidak sedekat kemarin-kemarin. Itu juga pasti karna interaksi kami di drama ini. Kalau tidak, mereka berdua sudah jelas-jelas menghindariku dan Shaniar.Terutama dia. Kak Bownie masih meman
Ditengah-tengah teriknya matahari siang di kota Sidikalang ini, gladi resik dilaksanakan. Hari H tinggal dua hari lagi. Sudah hampir dua bulan lebih kami latihan dan aku pribadi berharap ini semua cepat berakhir. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Hampa. Hari-hari sudah mulai seperti biasa lagi bagiku. Sudah mulai terbiasa dengan semua ini. Meski tetap saja, hampa. Sebagian kelompok pengisi acara sudah berada di aula. Aula tempat kami dulu pernah berkumpul untuk bersepeda bersama. Tempat dimana dia pernah merasa terusik karna aku lebih memuji temannya dari pada dia. Aula dimana jadi titik start renggangnya kisah singkat itu. Untuk mengusir kebosanan sebelum acara dimulai, aku memilih duduk di taman aula dan membaca kembali buku kumpulan kata-kata motivasi dari para tokoh dunia yang diberikan Rio pada hari ulang tahunku tahun lalu, dari pada membaca kertas-kertas naskah yang usang keriting ini. Rio memberikan ini agar aku bisa lebih temrotivasi lagi mengubah gaya hi
"Terimakasih saya ucapkan pada anak-anak kami yang sudah berlatih keras untuk acara ini. Saya mengucapkan terimakasih juga untuk pembimbing-pembimbing dan segenap orang yang membantu acara ini berhasil nantinya. Saya sangat senang karna kemajuan dari tiap-tiap bagian mengalami kenaikan yang signifikan seperti tabel permintaan terhadap buku tulis di tahun ajaran baru hahaha...." lelucon pak Arga tidak ditanggapi baik oleh sebagian kami yang hadir disitu. Ketegangan saat gladi resik yang baru saja dilakukan tadi masih tersisa banyak di benak kami masing-masing terutama padaku yang sempat melakukan kesalahan beberapa kali. Aku sama sekali tidak dapat menerka bagian mana yang lucu dari lelucon pak Arga itu. Pikiranku sudah jauh menerawang berharap waktu di putar kembali ke saat adengan dimana aku menjadi bahan bisik-bisikan dari siswa-siswa lain tadi. Ingin rasanya menarik diriku dari sana, membuang jauh keujung dunia dan tidak kembali lagi. Baru kali ini aku merasakantremor
"Emang harus seperti apa lagi, sih, biar kelihatan bagus?” ucapku pada pensil kuning yang kutemukan di aula tadi. “Kalau memang kemampuanku cuma segitu kenapa harus dipaksa? Benar-benar menyebalkan!” Disaat semua orang sudah pulang, aku tertahan lebih lama karena harus mendengarkan nasihat-nasihat dari ibu Gempal. Kesalahan fatal diatas panggung tadi menjadi garis merah evaluasi kali ini. Aku melakukan latihan ekstra dan special dengan ibu Gempal. Hanya berdua dengannya. Sungguh romantis sekali. Tatapannya di setiap gerakan dan dialog menjadi bumbu-bumbu romantis lainnya. Cut!...Cut!...Cut!...tidak terhitung jumlah kata-kata romantis Cut! yang diucapkannya. Panggian sayangnya sudah berubah dari "nak" menjadi "boru hasianku...."tak lupa dengan nada emosi tertahannya. Kami sudah memiliki pembicaraan intens romantis selama latihanprivat tadi. Hingga akhirnya dia lelah sendiri begitu juga denganku. Sensasi memalukan di atas panggung
Entah apa yang terjadi. Entahlah bagaimana aku memaknai semua ini. Si Lesung Pipi tidak berhenti saat kami sudah berada dekat rumahku. Rio memandang aneh padaku dari warung kopi di dekat rumahku tempat dia dan teman-temannya biasa nongkrong saat dia, si Lesung Pipi, malah memacu pedal gasnya, memutar arah membawaku ke sini. Di sini. Ketempat kami sedang duduk berdua ini. Kikuk, canggung, tidak tahu harus berbuat apa. Di warung bakso yang penuh legenda. Warung bakso mang Inyung. Saat Plang nama "Bakso isi Cinta" yang tertempel di atas gapura pagar warung bakso itu menyambutku, aku sudah tenggelam seutuhnya dalam lautan kekalutan. Lautan itu muncul lagi entah dari mana. Kegelisahan itu muncul lagi memaksaku terdiam, memaksaku untuk berubah kebingungan. Walau pun aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk tenang, tapi dibawah meja, kakiku sedikit gemetar. Tidak menyangka dia akan memberhentikan motornya tepat di parkiran waru
Kau bagai siluet di depan sinar senja. Siluet yang menjauh dan berubah menjadi titik hitam kecil hingga menyatu dengan sinar senja itu. Air mata ini ketika melihatmu menjauh tetap tidak bisa hilang bekasnya, aku rasa, sampai kapan pun. Menjauhlah, menjauh dan menjauh. Biarkan aku yang bodoh ini menangis lagi, lagi dan lagi hingga aku menemukanmu kembali nanti. Saat ini kau masih ada dalam ingatanku. Saat ini jalan itu masih membekas di memoriku. Saat ini aku sudah tidak bisa menghapusnya lagi. Kepada atmosfir itu yang merasuk benar-benar ke dalam jiwa, tidakkah dia sudah terlalu lama di sana? Tidak ada lagi yang bisa dia lekatkan. Semua sudah ada dalam balurannya. Aku sudah terlalu lemah menjadi inangnya.
Aku...sungguh-sungguh tidak menyangka akan mendengar tepuk tangan semeriah ini. Aku tidak menyangka ayahku yang duduk di deretan tengah bersama bunda dan adikku mengacungkan kedua jempolnya. Ibuku bertepuk tangan gembira dan bangga membisikkan sesuatu ke orang lain disamping dan belakangnya. Rio menerbangkan kecupan perfecto padaku. Mereka menorehkan senyum termanisnya untukku. Yang paling tidak kusangka, ibu Gempal tersenyum haru sambil berdiri bertepuk tangan meriah untuk kami yang sedang berdiri diatas pentas sambil bergenggaman tangan dengan mata yang hampir meneteskan air mata melihat sambutan itu. Tidak sadar aku melepaskan genggaman tanganku dan melambai kepada ayah, bunda dan Rio, dibalas dengan lambaian bangga mereka. Pemain yang lain pun mengikuti aksiku dan melambai pada keluarga mereka masing-masing. Aku melihat si Lesung Pipi melambai pada seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi dibarisan kedua. Wanita yang terlihat sangat bijaksana itu me