Share

Bab 7 Goa Jepang Dan Misterinya

Motor yang dikendarai Tarun terus melaju ke arah Dago atas. Mereka melewati jalan layang surapati. Jembatan besar tersebut berdiri memayungi bawah mereka.

Keduanya terus jalan lurus, menyusuri jalan ir H Juanda yang panjang. Di sisi kiri kanan jalan tampak deretan toko besar nan megah. Jalanan ramai lancar, beberapa kali motor mereka bertemu gerombolan anak anak sekolah yang menyesak masuk ke dalam angkot. Atau berdiri ditepian jalan bergerombol.

Motor terus melaju. Kini kiri dan kanan mereka sudah masuk ke dalam daerah perhotelan ir H juanda. Udara mulai terasa dingin, dan jalanan terlihat seolah menghijau karena deretan pohon tinggi di beberapa ruas jalan.

Motor mereka berhenti di persimbangan lampu merah antara jalan Dipati Ukur dan Siliwangi. Tidak sampai satu menit, lampu merah sudah berubah hijau, Tarun melajukan motornya dengan sedikit perlahan dan agak menepi.

Motor tersebut masuk ke dalam restoran McD yang berdiri gagah dipersimpangan. Parkiran motor padat dan beberapa anak anak berseragam yang sama dengan mereka memenuhi dalam restoran.

“Kamu mau mengajakku makan?”

“Makan siang. Kamu enggak suka McD?”

Rain mengangkat bahu, rasanya terlalu mewah kalau latihan mereka adalah makan di McD bukan?

“Jangan khawatir, “ ucap Tarun sambil menutup jok motor dan menguncinya. “Aku yang traktir.”

“Wah, terimakasih…” ucap Rain dengan seringai antara bingung, senang dan merasa tidak enak.

“Kita butuh tenaga. Amunisi. “ ucap Tarun sambil mendorong pintu kaca, mendahulukan dirinya dan memberi jalan untuk Rain lewat lebih dulu.

“Padahal kan enggak perlu di McD.” Jawab Rain.

“Memang tidak perlu sih, Cuma ini kepikiran aja ketika lewat. Lapar juga.”

Keduanya masuk ke dalam antrian. Harus menunggu sekitar sepuluh menit sampai keduanya bisa berada di depan pelayan McD yang memberi senyum ramah dan menawarkan beberapa paket untuk keduanya.

Lima menit kemudian keduanya sudah berjalan membawa nampan berisi makan siang. Tarun memesan lebih banyak dari Rain, bahkan dengan sengaja membungkus tiga buah burger.

“Kau akan makan semuanya?” Tanya Rain sambil melirik ke arah plastic siap bawa.

“Ini juga masih kurang.” Jawab Tarun.

“Serius?”

“Nanti kita mampir ke mart terdekat. Harus beli roti, cokelat, permen dan minuman.”

Rain mengernyitkan keningnya, heran namun berusaha menahan diri untuk tidak bertanya. Selesai mereka makan, sesuai ucapan Tarun. Keduanya mampir di minimart terdekat. Tarun membeli empat botol minuman air mineral, empat botol minuman energy, lima roti cokelat, sebungkus besar permen, makanan ringan dan dua batang cokelat silverqueen.

“Banyak amat?” timpal Rain

Tarun tersenyum sambil memasang helmnya kembali. Meletakkan seplastik besar belanjaannya di bagian depan motor, bergelantungan bersama tas miliknya. Rain mengharapkan jawaban lucu dari Tarun, tapi lagi lagi cowok keriting tersebut hanya melempar senyum rahasia. Motor mereka kembali melaju, berjalan lebih ke atas lagi.

Motor tarun memasuki kawasan Hutan Lindung Taman hutan raya djuanda. Suasananya lengang dan sunyi. Terdengar desau angin dan gemerisik daun yang bergoyang. Pohon pohon dihutan tersebut tinggi dan besar.

Rain turun dan melepas helm sambil mengamati sekitar. Keningnya berkerut, dan ada perasaan konyol ketika mereka tiba ditempat tersebut.

“Ngapain kita disini?” Tanya Rain yang akhirnya tidak bisa menahan perasaan penasaran sejak dari mulai perjalanan.

“Yah, rekreasi.” Jawab tarun santai.

“Yang bener saja dong!” sergah Rain kesal.

Tarun mengambil ransel tasnya,memasang ke punggung dan membawa sekantong besar makanan yang dibelinya di mini market tadi.

“Hei, Ayo. Dinikmati saja. Sambil latihan kita menikmati alam.” Ucap Tarun dengan seringai misterius.

Rain sebenarnya ingin melayangkan protes, namun urung dan memilih mempercayai Tarun.

Keduanya masuk kedalam taman tersebut. Disambut langsung dengan jalan setapak dan pohon yang berjajar. Ada beberapa orang yang berdiri di beberapa tempat. Mereka sepertinya juga penjelajah, atau mungkin mahasiswa. Namun suasana tetap terasa sepi. Udara begitu bersih. Aroma hutan lekat sekali dipenciuman Rain.

“Kamu pernah ke sini kan?”

Rain menggeleng.

“Serius?” Tanya Tarun terperangah.

Rain mengangkat bahu, lalu kemudian memperhatikan sekitar. Ada suara burung bercuit indah, ditemani dengan sinar matahari yang bersinar malu malu terhalang dedaunan pepohonan nan tinggi. Jalanan berundak dan menurun, tampak lumut berwarna hijau tua di sela sela batu. Rain mengikuti Tarun yang terus turun ke bawah.

Keduanya sampai di sebuah lekuk goa yang menganga dengan liang mata raksasa tanpa bola mata. Tarun mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Dua buah senter kecil. Dia menyerahkan satu senter pada Rain.

“Kita masuk ke dalam yuk.”

“Itu goa?”

“Iya. Goa jepang.” Jawab tarun, “Di dalam gelap banget. Tidak ada jendela, atau celah untuk masuk sinar matahari. Kita perlu senter. Goa ini terkenal sebagai tempat tinggal para romusha dulu di masa penjajahan Jepang. Juga dijadikan penjara.”

“Seram…” ucap Rain. “Pasti dulu banyak yang mati di dalam ya?”

“Ya, begitulah.”

“beneran?!”

“Iya, beneran.”

Rain mengusap sisi lengannya, merasakan bulu bulu halus ditangannya berdiri.

“Jangan dipikirkan.” sahut Tarun sambil mengibaskan tangannya. Dia menatap kea rah Rain yang alisnya tampak berkerut. Tersenyum lucu karena wajah Rain saat takut terlihat manis dimatanya.

Keduanya berdiri di depan liang goa. Terdengar suara sedikit ramai. Rain menghidupkan senter. Bau tanah liat, bercampur dengan bau lembab langsung menguar. Senter menyala, namun hanya bisa menerangi jalan mereka saja, tidak bisa menerangi sekitar.

Tarun berjalan di samping Rain. Tanpa dinanya, goa yang disangka lengang justru padat orang. Di beberapa bagian terlihat beberapa orang bergerombol, terutama di pintu pintu liang goa lain yang bentuknya mirip lekukan pendek.

Goa jepang ini terdiri dari beberapa lekukan liang lain yang seolah menyatu. Seolah goa terbagi dari beberapa cabang, walau cabangnya tampak memendek bahkan buntu.

Setiap lekukan yang mirip kamar kamar bekas romusha tersebut tampak berdiri beberapa orang. Ada dua atau tiga orang. Mereka tidak mengenakan senter. Tapi terlihat santai bercengkrama dalam gelap.

Bau lembab bertambah dengan bau seperti nasi basi, dan ada aroma melati yang kuat. Baru sekitar lima belas langkah Rain merasa pusing dan lemas, Rain menghentikan langkahnya dan mencoba menarik napas panjang panjang. Udara terasa pengap dan Rain merasa dadanya sesak dan kesulitan bernapas. Keringat dingin ikut mengucur.

“Tarun…..” Rain terengah. Tarun menghentikan langkahnya. Rain memegang dadanya, rasa sesak lebih mencengkram perasaannya, seolah oksigen disekitar mereka terhisap habis oleh kehampaan.

“Rain, kontrol” bisik Tarun pada Rain.

Kontrol? kontrol apa? Ingin Rain berteriak pada Tarun. Namun suaranya tercekat. Rain Cuma merasa seolah-olah dia akan berhenti bernapas dan merupaya mengingatkan dirinya untuk terus bernapas. Rain terjatuh. Tarun memegangnya.

“Hei!” seru Tarun.

“Pengap…” bisik Rain karena dia semakin merasa kesulitan bernapas.

Tarun mengambil tangan Rain, mengalungkan dilehernya dan menyeret tubuh Rain ke luar goa. Sinar matahari seolah membutakan mata yang agak lama dalam gelap. Udara pengap yang dirasakan Rain perlahan menghilang. Berganti dengan bau hutan dan daun yang lembut dan segar. Semakin jauh langkahnya meninggalkan liang pintu goa, semakin himpitan rasa sesak itu memudar. Berganti dengan efek lemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status