Home / Fantasi / Solomon Legacy / Bab 7 Goa Jepang Dan Misterinya

Share

Bab 7 Goa Jepang Dan Misterinya

Author: Langit Biru
last update Last Updated: 2021-12-08 20:16:07

Motor yang dikendarai Tarun terus melaju ke arah Dago atas. Mereka melewati jalan layang surapati. Jembatan besar tersebut berdiri memayungi bawah mereka.

Keduanya terus jalan lurus, menyusuri jalan ir H Juanda yang panjang. Di sisi kiri kanan jalan tampak deretan toko besar nan megah. Jalanan ramai lancar, beberapa kali motor mereka bertemu gerombolan anak anak sekolah yang menyesak masuk ke dalam angkot. Atau berdiri ditepian jalan bergerombol.

Motor terus melaju. Kini kiri dan kanan mereka sudah masuk ke dalam daerah perhotelan ir H juanda. Udara mulai terasa dingin, dan jalanan terlihat seolah menghijau karena deretan pohon tinggi di beberapa ruas jalan.

Motor mereka berhenti di persimbangan lampu merah antara jalan Dipati Ukur dan Siliwangi. Tidak sampai satu menit, lampu merah sudah berubah hijau, Tarun melajukan motornya dengan sedikit perlahan dan agak menepi.

Motor tersebut masuk ke dalam restoran McD yang berdiri gagah dipersimpangan. Parkiran motor padat dan beberapa anak anak berseragam yang sama dengan mereka memenuhi dalam restoran.

“Kamu mau mengajakku makan?”

“Makan siang. Kamu enggak suka McD?”

Rain mengangkat bahu, rasanya terlalu mewah kalau latihan mereka adalah makan di McD bukan?

“Jangan khawatir, “ ucap Tarun sambil menutup jok motor dan menguncinya. “Aku yang traktir.”

“Wah, terimakasih…” ucap Rain dengan seringai antara bingung, senang dan merasa tidak enak.

“Kita butuh tenaga. Amunisi. “ ucap Tarun sambil mendorong pintu kaca, mendahulukan dirinya dan memberi jalan untuk Rain lewat lebih dulu.

“Padahal kan enggak perlu di McD.” Jawab Rain.

“Memang tidak perlu sih, Cuma ini kepikiran aja ketika lewat. Lapar juga.”

Keduanya masuk ke dalam antrian. Harus menunggu sekitar sepuluh menit sampai keduanya bisa berada di depan pelayan McD yang memberi senyum ramah dan menawarkan beberapa paket untuk keduanya.

Lima menit kemudian keduanya sudah berjalan membawa nampan berisi makan siang. Tarun memesan lebih banyak dari Rain, bahkan dengan sengaja membungkus tiga buah burger.

“Kau akan makan semuanya?” Tanya Rain sambil melirik ke arah plastic siap bawa.

“Ini juga masih kurang.” Jawab Tarun.

“Serius?”

“Nanti kita mampir ke mart terdekat. Harus beli roti, cokelat, permen dan minuman.”

Rain mengernyitkan keningnya, heran namun berusaha menahan diri untuk tidak bertanya. Selesai mereka makan, sesuai ucapan Tarun. Keduanya mampir di minimart terdekat. Tarun membeli empat botol minuman air mineral, empat botol minuman energy, lima roti cokelat, sebungkus besar permen, makanan ringan dan dua batang cokelat silverqueen.

“Banyak amat?” timpal Rain

Tarun tersenyum sambil memasang helmnya kembali. Meletakkan seplastik besar belanjaannya di bagian depan motor, bergelantungan bersama tas miliknya. Rain mengharapkan jawaban lucu dari Tarun, tapi lagi lagi cowok keriting tersebut hanya melempar senyum rahasia. Motor mereka kembali melaju, berjalan lebih ke atas lagi.

Motor tarun memasuki kawasan Hutan Lindung Taman hutan raya djuanda. Suasananya lengang dan sunyi. Terdengar desau angin dan gemerisik daun yang bergoyang. Pohon pohon dihutan tersebut tinggi dan besar.

Rain turun dan melepas helm sambil mengamati sekitar. Keningnya berkerut, dan ada perasaan konyol ketika mereka tiba ditempat tersebut.

“Ngapain kita disini?” Tanya Rain yang akhirnya tidak bisa menahan perasaan penasaran sejak dari mulai perjalanan.

“Yah, rekreasi.” Jawab tarun santai.

“Yang bener saja dong!” sergah Rain kesal.

Tarun mengambil ransel tasnya,memasang ke punggung dan membawa sekantong besar makanan yang dibelinya di mini market tadi.

“Hei, Ayo. Dinikmati saja. Sambil latihan kita menikmati alam.” Ucap Tarun dengan seringai misterius.

Rain sebenarnya ingin melayangkan protes, namun urung dan memilih mempercayai Tarun.

Keduanya masuk kedalam taman tersebut. Disambut langsung dengan jalan setapak dan pohon yang berjajar. Ada beberapa orang yang berdiri di beberapa tempat. Mereka sepertinya juga penjelajah, atau mungkin mahasiswa. Namun suasana tetap terasa sepi. Udara begitu bersih. Aroma hutan lekat sekali dipenciuman Rain.

“Kamu pernah ke sini kan?”

Rain menggeleng.

“Serius?” Tanya Tarun terperangah.

Rain mengangkat bahu, lalu kemudian memperhatikan sekitar. Ada suara burung bercuit indah, ditemani dengan sinar matahari yang bersinar malu malu terhalang dedaunan pepohonan nan tinggi. Jalanan berundak dan menurun, tampak lumut berwarna hijau tua di sela sela batu. Rain mengikuti Tarun yang terus turun ke bawah.

Keduanya sampai di sebuah lekuk goa yang menganga dengan liang mata raksasa tanpa bola mata. Tarun mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. Dua buah senter kecil. Dia menyerahkan satu senter pada Rain.

“Kita masuk ke dalam yuk.”

“Itu goa?”

“Iya. Goa jepang.” Jawab tarun, “Di dalam gelap banget. Tidak ada jendela, atau celah untuk masuk sinar matahari. Kita perlu senter. Goa ini terkenal sebagai tempat tinggal para romusha dulu di masa penjajahan Jepang. Juga dijadikan penjara.”

“Seram…” ucap Rain. “Pasti dulu banyak yang mati di dalam ya?”

“Ya, begitulah.”

“beneran?!”

“Iya, beneran.”

Rain mengusap sisi lengannya, merasakan bulu bulu halus ditangannya berdiri.

“Jangan dipikirkan.” sahut Tarun sambil mengibaskan tangannya. Dia menatap kea rah Rain yang alisnya tampak berkerut. Tersenyum lucu karena wajah Rain saat takut terlihat manis dimatanya.

Keduanya berdiri di depan liang goa. Terdengar suara sedikit ramai. Rain menghidupkan senter. Bau tanah liat, bercampur dengan bau lembab langsung menguar. Senter menyala, namun hanya bisa menerangi jalan mereka saja, tidak bisa menerangi sekitar.

Tarun berjalan di samping Rain. Tanpa dinanya, goa yang disangka lengang justru padat orang. Di beberapa bagian terlihat beberapa orang bergerombol, terutama di pintu pintu liang goa lain yang bentuknya mirip lekukan pendek.

Goa jepang ini terdiri dari beberapa lekukan liang lain yang seolah menyatu. Seolah goa terbagi dari beberapa cabang, walau cabangnya tampak memendek bahkan buntu.

Setiap lekukan yang mirip kamar kamar bekas romusha tersebut tampak berdiri beberapa orang. Ada dua atau tiga orang. Mereka tidak mengenakan senter. Tapi terlihat santai bercengkrama dalam gelap.

Bau lembab bertambah dengan bau seperti nasi basi, dan ada aroma melati yang kuat. Baru sekitar lima belas langkah Rain merasa pusing dan lemas, Rain menghentikan langkahnya dan mencoba menarik napas panjang panjang. Udara terasa pengap dan Rain merasa dadanya sesak dan kesulitan bernapas. Keringat dingin ikut mengucur.

“Tarun…..” Rain terengah. Tarun menghentikan langkahnya. Rain memegang dadanya, rasa sesak lebih mencengkram perasaannya, seolah oksigen disekitar mereka terhisap habis oleh kehampaan.

“Rain, kontrol” bisik Tarun pada Rain.

Kontrol? kontrol apa? Ingin Rain berteriak pada Tarun. Namun suaranya tercekat. Rain Cuma merasa seolah-olah dia akan berhenti bernapas dan merupaya mengingatkan dirinya untuk terus bernapas. Rain terjatuh. Tarun memegangnya.

“Hei!” seru Tarun.

“Pengap…” bisik Rain karena dia semakin merasa kesulitan bernapas.

Tarun mengambil tangan Rain, mengalungkan dilehernya dan menyeret tubuh Rain ke luar goa. Sinar matahari seolah membutakan mata yang agak lama dalam gelap. Udara pengap yang dirasakan Rain perlahan menghilang. Berganti dengan bau hutan dan daun yang lembut dan segar. Semakin jauh langkahnya meninggalkan liang pintu goa, semakin himpitan rasa sesak itu memudar. Berganti dengan efek lemas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Solomon Legacy   Bab 56 Sementara Ini

    “Apa saya harus menagih pada si tukang tidur itu lagi?” tanya Rain pada Amelia.“Ya, kamu kan bendahara kelas ini.” Jawab Amelia tersenyum. Dia selalu merasa geli kalau mendengar omongan Rain yang terlihat paling enggan berhadapan dengan si tukang tidur, Tarun.“Kamu saja deh Mel.” Ucap Rain enggan.“Apaan sih, bulan lalu kamu kan nagih sendiri, malah kelihatannya setelah itu kalian jadi dekat.”“Saya? Dekat sama tukang tidur itu?….ooow, please deh.”“Oh, jadi salah ya? Padahal bulan lalu ada yang ngasih bocoran kamu jalan pulang sekolah bareng Tarun dan tampak akrab. Sering juga aku lihat dia curi curi pandang ke arahmu lho.”“Kapan?! Jangan ngarang ya Mel. Udah, deh daripada dengerin halukamu, mending saya ke sana, nagih tukang tidur itu.” Rain segera beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah meja Tarun. Gadis itu menolak untuk m

  • Solomon Legacy   Bab 55 Ifrit

    Langit membuka tangannya, sinar berwarna merah menyala dan kemudian melesat ke arah jin ifrit, jin tersebut langsung menghilang dan berpindah pada sisi lainnya. Tangan jin tersebut yang melar ditariknya kembali dan digunakan untuk menyerang Langit dengan cara meliuk dan berubah menjadi tajam dalam sekejap. Laki-laki tersebut langsung membuat tameng dimensi untuk menangkis lengan runcing tersebut. Terdengar suara benda beradu yang dasyat.Aji segera mengambil posisi berdiri, dan kemudian berlari. Diikuti Tarun dari belakang. Jin ifrit melihat keduanya berlari, tampak tidak senang, lalu mengulurkan satu tangannya lain yang bebas. Tangan tersebut menyentak, kemudian melar dan bergerak sangat cepat mengejar punggung Tarun.Langit segera membuka tangannya dengan cepat. Sebuah benda merah terlontar dari ujung telapak tangan Langit dan menyelubungi Tarun, Aji dan Rain tepat sebelum tangan runcing tersebut menyentuh punggung Tarun. Ketiganya terkurung dalam membran merah milik

  • Solomon Legacy   Bab 54 Aji dan Langit

    “Apa tuan menginginkan kedua orang ini dibunuh?” tanya Razel sambil mendekat ke arah jin tersebut.“Apakah kau menginginkan mereka mati?” mahkluk tersebut bertanya kembali pada Razel.“Buatku, mereka sudah tidak berguna.”“Begitukah? Kalau begitu kau pun sama Nak.” Mendadak makhluk tersebut menusuk perut Razel. Razel mendelik, antara tidak percaya, dan rasa sakit. Tangannya mendekap perutnya yang ditusuk oleh makhluk tersebut. “Bagiku, kau pun sudah tidak diperlukan lagi.”Razel terjatuh sambil mengerang, wujudnya berubah perlahan. Dari atas kepalanya muncul tanduk yang panjang seperti tanduk rusa. Cuping hidungnya membesar. Lalu, kedua kakinya berubah menjadi seperti kaki kuda. Dalam keadaan kesakitan, razel tidak bisa mempertahankan bentuk penyamarannya dan memperlihatkan bentuk aslinya.“Sudah aku katakan Nak, hidup selama ribuan tahun akan membuatmu lebih bijaksana. Tidak mungkin

  • Solomon Legacy   Bab 53 Penghianat

    “Ah, ternyata diantara kalian bertiga masih ada yang tetap jernih.” Jin raksasa tersebut menyahuti.“Bocah, jangan pengaruhi Rain. dia harus menyelesaikan ini sesuai rencana!” Razel menghardik Tarun dengan kesal.Rain memandang ke arah Tarun, Tarun menggeleng. Lalu, dipandangnya Razel yang memberi isyarat untuk segera melakukan sesuai yang dikatakan jin raksasa tersebut. Hati gadis tersebut ditimpa keraguan.“Saya pikir ucapan Tarun ada benarnya,” ujar Rain perlahan. “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi bila mahkluk sebesar itu dilepaskan ke permukaan. Pasti ada alasan tersendiri mengapa mahkluk tersebut dikurung di sini, bukan?”“Rain. kita sudah sejauh ini, tidak ada jalan mundur kembali!”“Selalu ada!” sentak Tarun, “Pilihan untuk mundur selalu ada, dan Rain berhak memutuskan untuk itu!”Razel mengeram marah, lalu kemudian dia melompat dan memukul Tarun.

  • Solomon Legacy   Bab 52 Melepaskan Beast

    “Tapi penjelasanmu tidak menjawab pertanyaanku?”“Sedikit banyak sudah terjawab wahai gadis manusia. Namun, memang kenyataan bahwa aku terkurung disini bukan karena kehendakku pribadi. Nah, cukup penjelasannya dari pertanyaanmu, sekarang kau jelaskan yang kau sebut smartphone itu.”“Baiklah,” ucap Rain mengalah. Dia memandang ke arah Tarun dan berbisik. “Ru, pinjamkah saya Hp.”Tarun membalas bisikannya, “Bukannya kamu punya?”“Ketinggalan di rumah.”Tarun kemudian mengeluarkan hanphone dari tas ranselnya dan menyerahkannya pada Rain. Rain mengambil handphone tersebut dan menaikkan tangannya sambil memperlihatkan handphone tersebut.”Kau lihat ini,” tunjuk Rain sambil mengacungkan hanphone milik Tarun. Dari balik jeruji, satu tangan jin tersebut menjulur, dengan kuku jarinya yang besar makhluk tersebut mengambil handphone yang disodorkan oleh Rain.&ld

  • Solomon Legacy   Bab 51 Permainan

    Tarun dan Rain memandang dengan terperangah. Sekitar jarak lima meter, Razel memunggungi mereka. Dihadapan razel, dan juga mereka terdapat sebuah jeruji besi raksasa. Tinggi jeruji itu hampir sebesar gerbang yang mereka masuki.“Itu apa? Jeruji besi?”“Seperti itulah.” Sahut Razel ketika dia mendengar suara Rain dari belakang.“Sebesar itu?” Tarun tidak bisa menahan diri untuk bertanya.“Ya. Bayangkan, jeruji sebesar ini, kira kira apa yang dikurung di dalamnya?” ucap Razel masih dalam kondisi memunggungi kedua remaja tersebut.“Apa ini yang kita cari? Bom yang kalian bilang itu?”“Aku bahkan tidak bisa membayangkan bahwa ini yang akan kita temukan.” Komentar Rain.“Benar, kita tidak bisa membayangkannya. Tapi apapun itu, itulah warisan ribuan tahun yang sedang kita cari.” Jawab Razel.Mendadak sebuah tangan besar bergerak menyentuh jeruji besi

  • Solomon Legacy   Bab 50 Lorong Neraka

    “Ayo kita masuk Rain!” ucap Razel sambil mengamit tangan Rain. Membran yang menyelimuti keduanya bergerak maju menuju pintu gerbang.“Sebentar, kita cari Tarun dulu!” Sergah Rain, karena mengkhawatirkan teman satu kelasnya itu.Rain menggerakkan tangannya. Lalu dari gelombang yang berputar putar di sekitar pintu, membran yang menyelimuti tubuh Tarun muncul. Rain langsung menarik membran tersebut mendekat, lalu menyatukan dengan membran miliknya.Tarun mengusap kepalanya yang terasa sakit, ketika Rain menyergapnya dengan pelukan lega.“Syukurlah, kamu selamat Ru! Saya cemas pas pintu gerbang tersebut terbuka dan kamu terlempar dari lubang kunci itu.” seru Rain. kecemasan yang semula membuncah hilang ketika mendapati Tarun selamat.Tarun kembali teringat, ketika jaring terakhir menghilang, dan pintu raksasa itu bergerak membuka, tubuhnya terpelanting karena hentakan pintu dan ikut terbawa pusaran di sekitar pintu.

  • Solomon Legacy   Bab 49 Gerbang

    Tarun berhasil mendekati asal cahaya tersebut dan juga menemukan Rain dan Razel berdiri pada sesuatu yang bersinar. Itulah asal cahaya tersebut. Dihadapan ketiganya sebuah gerbang raksasa dengan pendar cahaya berwarna emas. Gerbang itu berdiri kokoh tanpa penyangga.Rain menengok ke arah Tarun, lalu kemudian tangannya digerakkan. Perlahan membran yang menyelimuti ketiganya menyatu pelan pelan dan kini ketiganya berada dalam satu membran yang sama.“Apa itu?” tanya Tarun ketika ketiganya sudah terkumpul dalam satu membran sehingga bisa berkomunikasi.“Sepertinya gerbang.”“Bukan hanya sepertinya Rain, itu memang gerbang. Gerbang suci.” Sahut Razel, masih memandangi gerbang di hadapan mereka.“Untuk ukuran gerbang, itu sangat besar.” Ucap Tarun.“Kira kira tingginya 10 meter.” Sahut Rain.“Seperti yang disebutkan dalam buku. Gerbang suci, gerbang antara dunia jin dan duni

  • Solomon Legacy   Bab 48 Perjalanan

    Rain memasukan perbekalan mereka ke dalam ransel yang dibeli Razel (atau dicuri). Makanan, hanphone, senter, tabung oksigen kecil dan robekan buku kuno tentang peta lokasi solomon legacy.Mereka memiliki benda tersebut setelah Tarun mengusulkan agar Razel membelanjakan beberapa barang persiapan sebelum mereka melakukan perjalanan. Saat itu, Tarun sudah tidak mau ambil pusing dari mana barang itu akan tersedia, saat ini mereka tidak memiliki banyak pilihan.“Kita berangkat?” tanya Rain.“Kamu siap Rain? kondisimu.”“Yang terbaik saat ini.”“Konsentrasi pada tujuan kita. Ini seperti membuka ruang kosong dan melakukan pindah dimensi secara cepat. Jangan lupa, lapisi dimensi supaya bisa tahan tekanan air, karena yang kita hadapi adalah tekanan bawah laut.”Rain menutup matanya. Lalu, dari seluruh tubuhnya keluar bentuk asap berwarna hijau, asap itu bergerak dinamis, semakin besar dan semakin meluas

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status