Share

Bab 4

"Nadin! Nadin! Keluar kamu, Nadin!"

Tiba-tiba ada seseorang yang menggedor pintu sambil memanggil-manggil namanya, Nadin dan Sintia spontan terkejut, Nadin tahu dengan jelas siapa yang menggedor pintu kamarnya, makanya mentalnya kini benar-benar terpukul.

Seorang wanita paruh baya dengan tubuh tambun dan bibir bergincu merah membara sudah membuka pintu dengan kasar, karena pintu kamar juga tidak terkunci. 

"Nadin, ini sudah batas akhir pembayaran kost kamu. Sekarang cepat bereskan semua barangmu. Kau pikir aku tidak butuh makan? Aku darimana lagi punya uang buat makan kalau bukan dari pembayaran kost kalian? Sekarang cepat keluar dari kost ini, kamar ini sudah ada yang menyewa, orang itu bahkan sudah membayar biaya sewa selama satu tahun. Tempat ini bukan tempat tinggal gratisan ya, sekarang kukasih waktu setengah jam untuk membereskan barangmu, sejam lagi yang nyewa mau menempati kamar ini!" Wanita itu berbicara dengan lugas dan sinis, kedua tangannya bahkan bertengger di kedua pinggangnya.

"Iya, Bu Rumintang. Maaf jika selama ini saya punya salah sama ibu."

"Tidak usah basa-basi, cepat bereskan barangmu!" 

Dengan langkah arogan, Bu Rumintang yang selama ini bersikap ramah dan baik hati pada anak kost-nya, kini wajahnya tampak masam dan menyeramkan, semua keramah tamahannya luntur entah kemana, dia hanya akan bersikap ramah pada mahasiswa yang tidak pernah telat membayar kost, uang memang bisa mengendalikan kebaikan dan keramahan seseorang. 

Tanpa menunggu lagi, Nadin segera membereskan barang-barangnya. Sintia yang juga berada di sana juga turut membantu, gadis itu bahkan segera berlari ke toko sembako dekat kost mereka untuk membeli kardus kosong untuk tempat barang-barang Nadin.

Semua barang Nadin sudah di masukkan ke dalam kardus, ada lima kardus bekas bungkus mie instan yang sudah dibawa ke kamar Sintia untuk sementara. Tidak butuh waktu lama membereskan barang-barang gadis itu, karena barangnya juga sedikit.

Semua pakaian Nadin yang sedikit itu cukup dimasukkan dalam dua kardus, terus terang, gadis miskin itu bahkan tidak memiliki koper untuk tempat pakaiannya, satu kardus berisi diktat dan buku kuliah, satu kardus untuk alat tulis dan perlengkapan mandi dan cuci, satu kardus lagi peralatan makan, dua piring, dua gelas dan dua sendok, ada beberapa mangkun dan baskom kecil terbuat dari plastik.

Selama ini Nadin memang memasak sendiri untuk makanannya sehari-hari, tetapi kompor, wajan dan kuali meminjam milik Sintia, gadis itu yang memiliki peralatan memasak justru jarang masak, dia lebih suka memakan lauk pauk yang dibelinya di rumah makan.

"Jadi kau menemui Zaki?" tanya Sintia 

"Ya, jadi."

"Kau serius mau menerima tawarannya untuk menikah dengannya?"

"Ya, mau bagaimana lagi. Cuma itu jalan satu-satunya, kalau ada jalan lain aku gak bakalan menerima tawarannya."

"Tapi, Din. Menikah itu bukan mainan, menikah itu sesuatu yang serius dan sakral."

"Kau ini gimana sih, Sin? Dari kemarin perasaan kamulah yang terus ngomporin aku agar mau menerima lamaran Zaki. Kok sekarang malah kamu yang ragu-ragu?"

"Iya, aku hanya mengkuatirkan dirimu, Bestie. Aku hanya bisa berdoa semoga kamu bahagia."

"Iya, aku pergi dulu, lelaki itu mungkin sudah menungguku, ini sudah lebih dari sejam."

****

"Kau terlambat. Kau pikir aku tidak punya kerjaan? Menunggumu kayak orang bego di sini," ujar Zaki terlihat kesal.

"Kalau gak mau nunggu ya udah pergi aja sana, lagian siapa sih di sini yang butuh bantuan? Kayaknya bukan akulah!"

Zaki menghembuskan napasnya dengan berat, dia harus mengatur emosinya, dia tidak boleh mudah marah seperti ini, bisa-bisa gadis ini tidak Sudi menikah dengannya. Lelaki itu menatap Nadin yang masih berdiri di hadapannya dengan mendongakkan kepalanya.

"Duduk di sini, kenapa berdiri terus?" Lelaki itu mengarahkan dagunya ke samping. 

Dengan berat hati, Nadin duduk di samping lelaki itu, duduk di undaan tangga perpustakaan, sungguh tempat yang jauh dari kata elegan, bahkan jauh dari kata pantas untuk membicarakan lamaran, apalagi pernikahan. Tapi apalah daya, Nadin memang hanyalah gadis miskin sekarang, walau ayahnya memiliki poperty dan kekayaan yang tidak sedikit, tetapi kekayaan itu hanya dinikmati oleh istri barunya dan anak-anak wanita itu, bukan untuk Nadin yang notabene anak kandungnya.

"Bagaimana? Sudah kaupukirkan penawaranku kemarin?" tanya lelaki itu dengan nada yang serius.

"Ya, sudah."

"Terus, apa keputusanmu!"

"Ya, kuterima tawaranmu untuk menikahiku. Sepertinya hubungan ini cukup membuat kita menguntungkan satu sama lainnya."

"Baiklah kalau gitu, kita buat perjanjian pranikah. Kita hanya menikah selama setahun saja, sudah itu kita berpisah dan hidup masing-masing."

"Apa? Kau serius? Jadi kita hanya nikah kontrak? Kau tahu ajaran agama nggak sih? Nikah kontrak itu haram hukumnya!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status