Bayi itu sudah agak besar, mengkin umurnya juga sudah satu tahun, akan tetapi sepertinya belum pandai berjalan. Aku coba gendong. Tiba-tiba bayi itu menangis, aku jadi panik, tangisannya terdengar sangat keras. Kucoba goyangkan badan layaknya orang gendong bayi. Akan tetapi bayi itu terus saja menangis."Bang, beli dulu susunya?" perintahku pada Bang Parlin."Susu apa?" "Aku mana tau, Bang," "Kasih air tajin aja," kata Bang Parlin. "Ini anak bupati lo, Bang, bukan anak petani," kataku kemudian.Ucok dan Butet memang tidak pernah minum susu kemasan saat bayi, mereka masih menyusui sampai dua tahun, setelah itu makan seperti biasa, tidak pernah minum susu formula atau susu pertumbuhan. "Udah, sini kugendong," kata Bang Parlin. Suamiku itu pun menggendong bayi satu tahun tersebut sambil bernyanyi. Nyanyiannya masih seperti dulu, ungut-ungut yang sudah dia modifikasi."Dari mana hendaknya ke manaDari Medan hendak ke PadangBagaimana hati tidak gundah gulanaAyah dan ibumu lagi berper
Entahlah, masalah seperti banyak berdatangan, Butet yang hendak ujian kesetaraan, Merry lagi yang tiba-tiba datang ngantar anak, sudah diantarnya minta diantar balik. Belum lagi Bang Parlin yang sepertinya ingin bantu semua orang. Kini dia membimbing Tugirin untuk berdzikir. Aku pernah dengar, zikir itu obat untuk jiwa yang gersang. Atau memang Bang Parlin mau mengobati Tugirin?HP Bang Parlin berbunyi lagi. Saat kulihat panggilan dari Merry lagi."Apa lagi maumu?" tanyaku kesal setelah menggeser tombol hijau."Aku mau bicara dengan Bang Parlin," katanya dari seberang."Mau bicara apa, bilang samaku saja," jawabku makin kesal."Aku hanya mau bicara dengan Bang Parlin," katanya lagi."Oh, kau mau memanfaatkan suamiku kan, kau tahu dia akan bantu orang yang butuh bantuan, sabar dulu, antri, Bang Parlinnya sekarang lagi membantu orang lain," kataku kemudian. Kesal juga pada suami, orang antri yang butuh bantuannya."Bu Nia, tadinya aku sudah ingin tinggalkan anakku saja, karena mau nyebr
Kami pulang ke rumah, dalam perjalanan Ucok yang menggendong anak Merry. Dia terus bermain bersama anak tersebut. "Yah, kok gak mirip Salsabila ya?" tanya Ucok."Ya iyalah, gak selalu mirip, memang kau mirip Butet?" jawab Bang Parlin."Butet mirip mamak, aku mirip ayah, la, ini mirip siapa?" kata Ucok lagi."Aku lalu memperhatikan wajah anak tersebut, memang tidak mirip Merry, tidak juga mirip mantan bupati."Anak itu gak harus selalu mirip, Cok," kata Bang Parlin.HP Bang Parlin bunyi, ada panggilan dari nomor tak dikenal, Bang Parlin menyuruhku untuk menerima panggilan tersebut. "Assalamualaikum, halo," salam dan sisapaku kemudian."Hallo, Bu, saya temannya Merry, disuruh jemput anak, tapi rumah ibu kosong, gak ada orang," katanya dari seberang."Oh, ya, tunggu, kami segera sampai," kataku kemudian."Baik, saya tunggu, terima kasih, Bu," ujar pria tersebut.Bang Parlin justru menghentikan mobil, katanya kami harus diskusikan lagi."Bagaimana, Dek, kita serahkan anak ini, atau kit
Aku bisa bernafas lega malam itu, dua masalah serius bisa teratasi dalam satu hari. Dalam hati aku salut sama suamiku itu, dia rela menyisihkan waktunya yang tak seberapa membantu masalah orang, yang bahkan bukan saudara. "Bang, itu Tugirin kok berubah drastis?" tanyaku saat kami berduaan di kamar."Abang juga tidak ngerti, Dek, yang Abang ajari dia sekaligus praktekkan mengembalikan miliknya yang hilang," kata Bang Parlindungan."Kok bisa berubah ya, tiba-tiba dia talak istrinya talak tiga," kataku kemudian."Zikir juga bisa menghilangkan pengaruh jin, Makin kita berzikir, setan akan makin menjauh," kata Bang Parlin."Apa hubungannya?""Gini lo, Dek, ilmu pelet itu lewat bantuan jin jahat, jadi zikir obatnya, orang yang selalu menjaga zikirnya, tidak bisa dipelet," "Maksud Abang Tugirin dipelet bininya?""Ya, begitulah kira-kira," "Wah, itu sekali zikir dua hasil, pelet pudar, istri kembali," kataku lagi."Ya, tepat sekali, tapi Abang jadi khawatir, Dek," kata Bang Parlin."Khawat
Kami justru ditinggalkan di rumah tersebut bersama Salsabila. Sebelum pergi, Mantan bupati itu masih berpesan pada anaknya supaya menuruti perkataan kami. Jadilah kami tinggal di rumah tersebut."Ini bisa menghemat pengeluaran kita, Bang, gak lagi bayar hotel," kataku pada Bang Parlin. Saat itu kami lagi memperhatikan Salsa dan Butet yang lagi belajar didampingi guru."Iya, juga, ya," sahut Bang Parlin."Bang, kira-kira Butet selepas ini nyambungnya sekolah di mana?" tanyaku kemudian."Entahlah, Dek, Butet ini terlalu pintar, sekolah pun payah dapat yang cocok," kata Bang Parlin."Benar juga ya, Bang, asal pakai terlalu, gak ada yang Bagus, terlalu pintar saja jadi begini," kataku lagi."Iya, Dek, cuma satu terlalu yang baik," "Apa itu, Bang,""Kamu itu terlalu gemuk,""Ish, Abang,""Itu pujian lo, Dek, ada ungkapan beginil, jangan mengaku sebagai suami sukses, jika belum bisa membuat istriy gemuk," kata Bang Parlin."Hahaha," di luar dugaan, guru Salsa dan Butet ternyata mendengar p
PoV MerryDitalak tiga justru membuat aku senang, ini saatnya bisa merdeka, setelah selama ini merasa terkungkung dengan banyaknya aturan suami. Akan tetapi anakku, ini akan jadi beban untukku, jika kutinggal bersama Salsa, bagaimana jika mereka tahu rahasia yang sebenarnya.Aku lalu teringat, Bang Parlin, dia orang yang selalu bisa dimintai bantuan. Dengan naik motor matic serta bawa anak, aku nekat pergi tengah malam. Paginya baru sampai, dari jauh sudah kulihat Nia hendak berangkat bersama anaknya. Aku memilih menunggu Bang Parlindungan sendiri. Bicara dengan Nia selalu tidak mengenakkan.Setelah Nia pergi aku langsung datangi rumah Bang Parlin, dia malah tak membiarkanku masuk rumah. Aku malah dibawa ke warung sarapan.Sambil sarapan, aku minta tolong pada Bang Parlin, akan tetapi dia kali ini tidak bisa bantu. Entahlah, aku makin kesal karena Nia datang ke warung tersebut. Gagal sudah rencana.Aku akhirnya pergi dari tempat tersebut. Saat di jalan, aku dapat telepon dari Wisnu."
Butet akhirnya selesai juga ujian kesetaraan tersebut. Kami mendampingi Butet setiap hari sampai selesai. Setelah selesai ujian, kami rencananya mau pulang. Karena sudah hampir seminggu Ucok sendirian di rumah. Akan tetapi Ayahnya Salsa belum pulang."Sepertinya masih lama ini, uangku sudah terlanjur dikuras orang itu, butuh waktu untuk mengurusnya." Begitu jawaban Ayah' Salsa saat kutelepon."Tolong jangan tinggalkan Salsabila di rumah sendirian ya," kata pria itu lagi."Iya, Pak," kataku akhirnya.Aku selalu heran pada Salsabila ini, ayahnya mantan bupati, ibunya mantan anggota DPRD, tentu banyak saudaranya. Kenapa selalu ke kami dititipkan. Padahal rumah lama mereka masih ada, ada ART-nya lagi. "Kita bahwa ke desa saja Salsabila, Dek?" tanya Bang Parlin."Sebenarnya bukan tidak mau, Bang, tapi Ucok?" jawabku kemudian.Memang aku selalu khawatir dengan Ucok dan Salsabila jika berada dalam satu rumah. Ucok sudah jelas menunjukkan kesukaannya pada Salsabila, aku selalu khawatir setan
Memang selalu ada saja hal yang terjadi yang sampai mengaitkan dengan Rara, kuakui itu, akan tetapi sungguh aku tidak suka cara Bang Parlin bilang cewek cantik. Kadang jadi ingin juga membalas Bang Parlin, akan tetapi entah kenapa mantanku semua bak hilang ditelan bumi, tak ada hal yang membuat aku teringat, tak ada juga yang pernah menghubungi. Padahal mantanku sebelas orang. Sedangkan Bang Parlin cuma satu, itu pun tak layak disebut mantan. Menurut cerita yang sering kudengar, mereka tidak pernah jadian. Bang Parlin masih diam, biasanya dia akan melancarkan jurus ngelesnya, akan tetapi kali ini dia diam."Mantanku sebelas orang lo, Bang, tampan semuanya, pasti juga punya kenangan semua, akan tetapi tidak ada yang kukenang, tidak ada yang terbayang-bayang, karena apa, Bang? Karena sudah ada Abang," kataku kemudian."Udah, Dek, gak usah cerita mantan," kata Bang Parlin."Abang yang duluan, segala yang terjadi selalu dihubungkan dengan Rara sudah meninggal pun orangnya masih terus d