Rasa cemburu ini makin membara saat Salsabila bersikap manja kepada pria tersebut. Dia bergelayut di lengan pria itu. "Baru ini nemu kepala desa semuda ini, bukankah calon kepala desa minimal dua puluh lima tahun?" kata pria itu lagi."Kalian mau bahas umur kepala desa ya, jauh-jauh ke mari?" kataku lagi."Aku mau investasi, Bang Ucok," jawab Salsabila."Kalau boleh minta tolong, tolong pertemukan kami dengan yang punya tanah itu, ada nomor telepon tertulis di situ tapi gak bisa dihubungi," kata Pria itu kemudian."Itu tanah bermasalah, gak akan dijual," kataku menegaskan. Aku tahu karena tanah yang mereka maksudkan adalah milik Pak Anggi, mungkin Pak Angga dulu memasang pengumuman dijual di situ, jadi belum sempat dicopot."Ya, Udah, kami permisi dulu, Bang Ucok," kata Salsabila seraya menggandeng tangan pria itu keluar.Aku memandangi mereka pergi dari kantor desa, laki-laki itu membuka pintu mobil untuk Salsa. Ada rasa cemburu, marah, ada rasa kasihan, ada juga rasa bersalah. Sals
PoV Nia Ada yang berubah dengan Ucok, dia seperti kehilangan semangat untuk lanjut kuliah, padahal dia sudah diterima di UI. Aku dulu sangat ingin kuliah di sana tapi tidak lolos. Dia lolos jalur undangan, yang konon dari kabupaten kami hanya anakku yang lolos jalur tersebut. Aku bangga. Akan tetapi tinggal daftar ulang dia sudah kurang semangat. Saat kucek di HP, daftar ulang waktunya hampir habis. "Bang, itu Ucok sepertinya malas daftar ulang," kataku pada Bang Parlindungan di suatu malam."Iya, Dek, sekarang dia sudah merasa dewasa, sebaiknya kita biarkan saja bagaimana maunya," kata Bang Parlin."Mana bisa begitu, Bang,""Jadi harus bagaimana lagi, Dek, dipaksakan tidak mungkin, kita hanya berdoa semoga dia memilih yang terbaik untuk hidupnya, seandainya kita berhasil memaksanya pun dia tetap tidak akan semangat," kata Bang Parlin."Karena apa kira-kira ya, Bang?""Perempuan, Dek, dulu Ucok anak yang cerdas dan penurut, setelah dia kenal Salsabila jadi begitu, buah memang tida
PoV UcokAku selalu kagum pada Ayah, ilmunya yang tinggi tapi rendah hati, jika sudah berzikir bisa membuat orang sakit perut. Akan tetapi kekagumanku berkurang ketika tahu ternyata Ayah ikut mendoakan. Bahkan bukan cuma doa dan zikir, Ayah yang ternyata menyuruh Salsabila datang. Jika selama ini ayah membuat pencuri sakit perut, kini aku yang dibuatnya sakit hati, teramat sakit, aku jadi patah hati.Salsabila datang lagi, akan tetapi aku enggan untuk menemui. Mereka bicara dengan ayah dan Mamak. "Kenapa Bang Ucok, Tante, tadi kami tanya dia, dia bilang tanah itu gak dijual, padahal dijual," terdengar Salsabila bicara."Kemarin memang tanah itu lagi sengketa, tapi sudah beres, Kok," kata Mamak kemudian."Oh, begitu, Tante, kami sudah tanya tadi, harganya sudah deal, besok pengukuran tanah," terdengar lagi Salsabila bicara. Gak nyangka dia ternyata serius beli tanah itu.Saat aku daftar kuliah biar dekat dengannya, dia justru datang ke mari, dengan cowok pula. Akan tetapi aku masih
PoV NiaUcok ternyata bisa juga merajuk, dia tak bicara sampai malam tiba. Saat kami ajak makan malam di luar, Ucok juga tidak mau ikut. Akan tetapi dia titip pesan supaya dibeli nasi goreng juga pada Butet."Bang, bagaimana lagi Ucok ini, Bang, aku takut dia makin tersesat," kataku Saat kami dalam perjalanan."Entahlah, Saat ini adalah saat-saat dia mencari jati diri, umurnya delapan belas tahun, di umur segitu tahap pergantian dari remaja ke dewasa, kita harus sabar, Dek," kata Bang Parlin."Padahal harapan kita sangat besar untuknya, dulu aku berharap dia mau kuliah di Mesir atau Maroko, kemudian jadi penerus pengelola pesantren, jadi kyai haji, harapan memang terlalu tinggi," kata Bang Parlin lagi."Gertak saja, Yah?" Butet tukang nguping itu tiba-tiba ikut bicara."Gertak bagaimana, Tet?""Bilang aja pesantren akan dijual karena yang diharapkan jadi pengurus justru lebih suka urus cewek," kata Butet lagi."Usul bagus, kita lihat dulu bagaimana tanggapan Ucok," jawab Bang Parlin.
PoV UcokTernyata orang tuaku menaruh harapan yang sangat besar padaku. Mendengar ayah berkata kalau saja beliau ingin aku jadi kiyai haji, aku merasa terharu. Apakah aku bisa? Setengahnya sudah, aku kini seorang haji, konon haji termuda di kabupaten ini, akan tetapi untuk jadi kiyai? Lagi-lagi aku harus angkat topi dan ucapkan salut pada ustadz Rizal, biarpun memimpin pesantren adalah impiannya, dia tidak langsung terima ketika ada yang tawarkan. Alasannya tidak enak padaku. Aku makin salut pada ustadz ini, dia memang satu tingkat di atasku. Hari itu jadwal Salsabila akan datang lagi, sebelumnya dia datang aku sudah kirim pesan lewat wa."Jika pria cepak itu ikut, pengukuran tanah tak akan kudampingi," begitu pesan yang kukirim."Dia hanya teman, lo, Bang Ucok," balas Salsabila."Aku tidak tanya dia siapa?" pesanku lagi."Oke, Bang, aku bawa notaris sekalian, biar urusannya cepat kelar," balas Salsabila."Okeh,"Pagi itu aku bangun lebih cepat, Salat Subuh dan masak sarapan sen
PoV UcokMamak justru seperti tak merasa bersalah, justru menantanglu untuk bicara semua yang kurasakan. Sebenarnya aku ingin meledak saja. akan tetapi aku justru tidak tahu harus bilang apa lagi."Entah bagaimana lagi menasehati kau, Cok," kata Ayah."Apa aku jahat, Yah?" tanyaku."Ayah capek, itu-itu saja masalahnya, pakai ini dan ini," kata Ayah lagi, selalu begitu, pakai otak dan hati."Ayah selalu bilang begitu, seakan-akan aku tidak punya otak, seakan-akan aku tidak punya hati," kataku lagi."Kamu punya, Cok, tapi pikiranmu melenceng, hatimu tercoreng, tapi Mamak tidak akan pernah capek, mamak akan terus menjagamu dari iblis itu," kata Mamak.Aku tak tahu harus bilang apa lagi, kembali ke kantor adalah pilihan, kantor kepala desa jadi tempatku merenung lagi. Butet datang, begitu sampai dia langsung marah-marah. Dia Masih berpakaian sekolah. "Kok gak dijemput aku, Bang?" tanyanya. "Oh, lupa, Tet, maaf, kau pun, ditelepon kenapa, dikirimkan pesan kan bisa," kataku membela diri.
PoV ButetSaat itu aku baru pulang sekolah , akan tetapi aku tak melihat Bang Ucok datang menjemput. Yang ada justru Bang Sandy, cukup terkejut juga, karena setahuku, dia tinggal d kota sekarang."Bang Sandy!" seruku kemudian."Aku tinggal sama ibu sekarang, kasihan ibu gak ada temannya," kata Bang Sandy sebelum aku sempat bertanya."Oh, Alhamdulillah, semua baik-baik saja," "Iya, Butet, aku sadar kini, mamak pun sudah berubah, tidak begitu mengekang lagi." kata Sandi lagi.HP -ku bunyi, ada panggilan dari mamak."Butet, dah datang si Ucok jemput kau?" tanya Mamak begitu telepon tersambung."Belum, Mak,""Dia lagi ngambek itu, belikan dulu dia nasi," kata Mamak lagi."Oh, iya, Mak,""Antar ke kantor desa," "Iya, Mak, kenapa lagi Bang Ucok?" "Masih hal yang lama,""Aku coba nasehati Bang Ucok ya, Mak," kataku lagi."Gak usah, Tet, nanti dia ngamuk sama kau,""Nggaklah itu, Mak, aku bawa teman," kataku kemudian.Akhirnya aku beli nasi bungkus dua, sengaja kubeli ikan asam padeh kesuk
PoV NiaUcok akhirnya minta maaf lagi, entah apa yang dikatakan Butet pada Anakku ini, dia tiba-tiba sudah mau daftar ulang. Kebetulan Butet pun libur panjang. Bang Parlin menyarankan kami antar Ucok ke Jakarta, sekalian jalan-jalan.Aku tentu saja senang sekali, karena Cantik masih bayi, juga aku yang baru pulih, Bang Parlindungan menyewa mobil mewah, yang di dalamnya bisa rebahan. Bang Parlin mengeluarkan uang dua kali lipat dari ongkos biasa biar dapat mobil mewah seperti ini. Di dalam mobil itu memang sangat leluasa, kami yang cuma empat orang, tapi kursinya ada delapan. Si sopir justru mencopot dua kursi yang di tengah, disulapnya jadi tempat tidur. Bahkan dalam mobil itu aku bisa mengikat ayunan untuk Cantik.Sebelum berangkat aku buatkan story wa di HP Bang Parlin dengan caption. "Otw raun-raun""Mau ke mana, Bang Parlin?" ada yang kirim pesan. Aku kenal pria yang kirim pesan tersebut. Dia teman lama Bang Parlin yang juga teman bisnis jual beli sapi. "Jakarta," balasku singkat