“Aku... hamil.” Kalimat itu terucap setelah Shera bersusah paya menahannya sejak tadi. Esok Albi harus kembali ke luar kota untuk mengikuti test kepolisian, seperti yang diinginkan keluarganya. Shera tidak bisa hanya diam dan menunggu Albi kembali, untuk memberitahu kehamilannya.
Saat itu pun senyum Albi merekah menatap Shera, seakan tidak ada rasa takut seperti yang Shera rasakan. Albi membingkai kedua pipi Shera dengan tangannya, sementara mata lelaki itu berbinar sangat senang.
“Kau serius, She? Kau tidak sedang berbohong?”
Bagaimana Shera bisa berbohong dengan keadaan yang sangat serius seperti itu? Dia memang mengandung setelah mereka melakukannya sebulan yang lalu, saat Albian pulang dari sekolah yang diikutinya. Dan karena itu pula Shera meminta Albi mengambil libur agar bisa berbicara empat mata dengan lelaki yang sudah tiga tahun menjadi kekasihnya.
“Aku takut, Bi. Jika ayahku mendengar ini... aku pasti mati,” ungkap Shera, mengingatkan Albi sekeras apa hati ayahnya. Tidak mungkin ada toleransi untuk Shera jika ayahnya sampai tahu kehamilannya.
Senyum Albi yang merekah pun mulai memudar. Dia sangat mengenal ayah dari gadis yang menjadi kekasihnya. Pria itu selalu mengingatkan agar hubungan asmara keduanya berjalan dengan semestinya tanpa mempermalukan keluarga. Jika ayah Shera tahu hal itu, sudah barang tentu akan membuatnya sangat berang. Tapi Albi sadar saat ini dirinya tidak mungkin menikahi Shera, Albian harus menuntaskan terlebih dulu sekolahnya sebelum menikahi Shera, sehingga tak ada halangan dari pihak keluarga.
“She, kau percaya aku mencintaimu sangat banyak? Aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Aku mohon, sampai kululusanku diumumkan, kuharap sabar menunggu. Aku akan segera menikahimu begitu aku dinyatakan lulus masuk kepolisian,” ucap Albi, menatap mata kekasihnya sangat dalam. Albi tidak pernah berbohong dalam hal apa pun, sehingga Shera sangat mempercayai kekasihnya sepenuh hati. Tak ada kebohongan di sorot mata Albian yang harus membuat Shera meragukannya.
Namun fakta yang terjadi, Albi kembali dengan calon istri dan melangsungkan pernikahan tanpa mengatakannya pada Shera.
***
Semua itu masih terekam jelas di ingatan. Shera tidak pernah melupakan janji yang Albi ucapkan mengatasnamakan janin yang ada di dalam perutnya. Shera ingat betul bagaimana Albi mengecup perutnya, meminta janinnya bersabar sebentar lagi demi masa depan mereka. Bahkan sampai detik ini, Shera tidak percaya Albi sudah mengkhianati kepercayaannya, juga ingkar janji pada janin mereka.
Kenapa harus bertemu kembali? Setelah tujuh tahun kenangan itu berusaha Shera lupakan, kenapa harus ada pertemuan diantara mereka lagi? Bukan hanya Albi, bahkan ada Vivia, istri Albian di sini. Vivi pula yang membuat Shera berada dalam situasi yang tidak Shera inginkan.
Apakah Vivi sengaja membuka kembali luka di dada Shera, dengan cara mempertemukan mereka?
Entah apa tujuan Vivi membuat Shera dalam kesulitan ini. Merelakan Albi menikah dengan Vivi saja sudah membuat dadanya sesak setiap kali teringat akan masa itu, tapi sekarang dia harus berhadapan dengan Albi, menyentuh tubuh lelaki itu untuk mengambil ukuran tubuhnya.
“Tolong angkat tangannya,” ucap Shera, hendak mengukur bagian dada Albi. Lelaki itu menurut seperti patung yang diberi baterai, mengangkat kedua tangan saat Shera meminta.
Ketika Shera melingkarkan tangannya di tubuh Albi, ada desiran yang sama dia rasakan. Desir kerinduan untuk memeluk Albi sangat kuat di dalam sana. Jika tidak mengingat betapa kejamnya lelaki itu mencampakkan Shera di masa lalu, mungkin Shera sudah melupakan bahwa kini ada Vivia di dekat mereka.
Belum lagi saat tatapan mereka saling bertemu, Shera tidak bisa menahan degupan jantung yang semakin membuncah di dalam sana. Wangi yang sama, Albian masih memakai parfum dengan wangi yang sama, yang dulu Shera pilihkan.
“Sudah selesai, Nona Shera?” Vivi datang ke dekat suaminya, memeluk lengan Albi mesra. Kala itu pun Shera seakan tertampar setelah sebelumnya hanyut akan wangi tubuh Albian.
“I-ya. Sudah.” Shera tergugup dan bergegas menuju meja, mencatat ukuran tubuh Albi di kertas yang sudah disiapkan. “Sekarang giliran Ibu Via.”
Vivi tertawa kecil, melepaskan rangkulannya dari lengan Albi. Kemudian perempuan itu berjalan ke arah Shera, menatap wajah Shera sangat dekat dengan sorot yang sulit diartikan.
“Tidak perlu. Aku tidak suka tubuhku disentuh orang yang bahkan tidak penting dalam hidupku.”
Kata-kata yang sangat menohok bagi Shera. Dia tidak penting bagi perempuan itu, padahal Vivi sendiri yang menginginkan jasanya untuk membuatkan gaun. Apakah Vivi tengah mengingatkan bahwa Shera adalah perempuan tidak berguna? Shera ingin membalas ucapan yang sangat merendahkannya sebagai seorang desainer, tapi hanya akan membuatnya terlihat menyedihkan.
“Maaf?” kata Shera, masih mencoba bersikap profesional. Andaikan Vivia tahu, Shera juga tidak pernah berharap bertemu dengan perempuan ini, apalagi sampai mengukur tubuhnya.
“Maksudku, aku sudah menyiapkan gaunku sebagai acuan untukmu. Tidak perlu repot mengukur,” ucap Vivi berbisik, wajahnya sangat mudah berubah dari yang tadinya penuh kebencian, sekarang sudah terlihat ramah dengan senyumnya.
Apa sebenarnya yang direncanakan perempuan ini? Ia meminta Shera datang mengambil ukuran tubuhnya, tapi kemudian menolak. Apakah sebenarnya Vivi tengah merencanakan sesuatu? Apa tujuan Vivi mengundang Shera ke tempat ini?
“Aku... aku mengandung anak Albi, sudah tiga bulan.”Kalimat itu meluncur dari bibir Shera, menjelaskan hubungannya dengan Albi. Berharap gadis di depannya mungkin akan mengerti dengan kondisinya saat ini. Shera sangat mencintai Albi, tak pernah ada keraguan di dalam cintanya.“Lantas, apa urusannya denganku?” Gadis bergaun pengantin itu menatap sinis pada Shera. “Kau yang mengandung, kenapa aku harus tahu?” ucapnya enteng. Hal itu membuat Shera seperti ingin mati detik itu juga.Namun, hinaan itu tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang harus dia pertahankan. Shera tidak keberatan menjatuhkan harga dirinya di depan gadis yang dia ketahui adalah calon istri dari kekasihnya.Shera menyatukan kedua tangan, bersimpuh di atas lututnya dan memohon di belas kasihan sang gadis.“Sebagai sesama perempuan, aku mohon... tolong batalkan pernikahan kalian, demi anak di dalam rahimku,” pinta Shera penuh permohonan.Rahang Vivi mengetat. Kedua tangan saling mencengkeram menunjukkan betap
Shera termenung menatap wine di depannya. Matanya memang tertuju pada gelas itu tapi pikiran sudah sejak tadi mengembara ke tempat lain. Segala pertanyaan di dalam benaknya tak satu pun mendapat jawaban atas apa yang baru saja dia alami.“Apa yang mereka inginkan? Bukannya mereka sudah hidup bahagia? Kenapa harus menggangguku di saat aku sudah berusaha keras melupakan segalanya?” bisik Shera, tangannya meraih gelas wine yang sudah diisi.Selama hidup di Australia, Shera sudah terbiasa dengan minuman yang mengandung alkohol. Dia sangat berubah, tidak seperti Shera yang dikenal lugu sebagai gadis Indonesia pada umumnya– yang tabu dengan hal-hal seperti ini. Bahkan terkadang dia sendiri tidak mengenali dirinya, sangat berbanding terbalik dengan keinginan sang ayah. Teringat dengan ayahnya, Shera seakan dibawa ke masa lalu. Saat sang ayah mendengar kabar kehamilan Shera, kala itu ayahnya tidak mau mendengar alasan apa pun dan menyuruh Shera mendesak Albi menikahinya. Tapi saat Shera dat
Pelukannya masih sama seperti dulu–hangat dan memberikan rasa nyaman. Shera sampai terlena oleh dekapan Albi yang begitu erat memeluknya dari belakang. Matanya terpejam menikmati sentuhan yang sudah lama tak dirasakan, bahkan Shera tak sadar bening hangat sudah meleleh dari sudut mata yang terkunci rapat.“Albi?” panggil Shera berbisik. Tak kuasa dia menahan rasa rindu yang sekian lama mengekang diri. Tapi di detik berikutnya, Shera tersadar bahwa lelaki itu sekarang bukan lagi miliknya.Segera Shera menepis tangan Albian dari lehernya, dengan cepat dia berdiri menatap lelaki itu.“Apa yang kau lakukan?!” sentak Shera, nada suaranya bergetar.Albian mematung. Dari sorot matanya terlihat jelas kerinduan mendalam, seperti tak ingin menjauh dari Shera.“Aku mohon, tolong maafkan aku. Aku akan menebus semua kesalahanku padamu.”“Kau gila!” Shera meraih tasnya dari atas meja dan bersiap akan meninggalkan Albi. Tapi tangan Albian lebih sigap mencengkeram lengan Shera.“Jangan pergi, kumohon
Pertemuannya dengan Albian sangat mengganggu Shera sejak tadi malam. Keberanian lelaki itu sudah di luar batas, bahkan tidak segan memeluk Shera di kafe umum yang bisa didatangi siapa saja. Shera takut andaikan Vivia mengetahuinya, akan membawa masalah yang akan menyudutkan Shera ke depan nanti.Bagaimana pun, Vivi adalah istri Albian, sedangkan Shera masa lalu yang tak sepatutnya berada di sekitar mereka. Bukan tak mungkin Albian akan mengulang lagi kejadian tadi malam, yang akan membuat namanya buruk atas tuduhan tak berdasar. Shera tidak ingin sekali lagi mengulang kisah lama, yang akan menghancurkan dirinya lebih banyak lagi.“Apa maksudmu, Shera? Sudah aku katakan, Ibu Vivia adalah orang yang sangat berpengaruh di kota ini. Kau sudah menyanggupinya, jadi jangan pernah mundur!” peringat laki-laki bertubuh bongsor itu memperingatkan.Shera tahu hal itu. Selain istri polisi yang sudah berpangkat tinggi, Vivia adalah putri dari keluarga terhormat di kota tempat mereka tinggal. Ayahny
Shera membantu Vivia mengenakan gaun hasil desainnya. Sangat sempurna, sesuai dengan gambar sketsa yang Vivia lihat hari itu. Bahkan ukurannya sangat pas di tubuh Vivi, tidak terlihat sedikit pun cela. Padahal, Shera tidak melakukan fitting padanya, kenapa bisa sangat sempurna?Namun, bukan berarti Vivi akan melepaskan Shera. Akan selalu ada alasan untuknya menyindirnya.“Aku pikir, setelah semua yang terjadi tujuh tahun yang lalu, seharusnya kau malu kembali ke kota ini. Tapi tampaknya kau baik-baik saja, Shera.” Vivia berbicara sambil memperhatikan Shera memasangkan aksesoris di gaunnya.“Kenapa harus malu? Aku tidak mencuri milik orang lain,” sahut Shera, masih terus dengan pekerjaannya. Meski di dalam hati dia sesak ketika Vivi mengingatkan kenangan masa lalunya, dia cukup cerdas membalas Vivia tepat sasaran.Lihat saja wajah Vivia, terlihat memerah kala Shera menyebutkan ‘mencuri milik orang lain.’ Dia merasa dituduh sudah mencuri Albian.“Ya... kau tidak mencuri. Tapi, apa kau t
“Selamat ulang tahun pernikahan, Ibu Vivi, semoga pernikahanmu selalu bahagia.”Para undangan dan rekan menyalami Vivia, mengucapkan selamat berbahagia untuk wanita yang dikenal sebagai pejuang hak perempuan itu. Malam ini adalah hari ulang tahun ketujuh pernikahannya dan Albi, yang dirayakan sangat mewah di sebuah hotel ternama.Vivia dengan balutan gaun panjang berwarna hijau muda terlihat sangat cantik. Rambut panjangnya disanggul tinggi ke atas, hingga menonjolkan lekuk leher jenjang yang putih bersih. Selain karena namanya yang tercium wangi di hadapan para wanita, penampilan Vivia yang selalu anggun juga membuat semua orang sangat kagum padanya.“Terima kasih, doa yang sama buat kalian. Semoga rumah tangga kita semua selalu bahagia,” sahut Vivi memamerkan senyum manis yang tak pernah lekang dari bibirnya.“Ibu Vivi sangat cantik, Pak Albian pasti sangat bersyukur memiliki istri seperti ibu.”“Tentu saja. Pak Albian selalu ada di mana pun Ibu Vivi berada, sudah pasti mereka sali
Vivia menatap Shera tajam. Jantungnya terasa diremas mendengar ucapan selamat dari Shera, yang tentu saja itu adalah sebuah penghinaan. Tak akan dia biarkan perempuan mantan kekasih suaminya itu tertawa melihat pesta ini tidak berjalan dengan lancar, sebab tujuan Vivi adalah untuk membuat Shera sadar diri, bahwa pernikahannya bahagia dan baik-baik saja. Benar. Tujuan Vivi mempertemukan Albi dengan gadis masa lalu ini, untuk memperingatkan semua orang, bahwa Albian sekarang hanya miliknya.“Oh, terima kasih untuk ucapannya. Tentu saja, suamiku pasti segera datang. Dia mencintaiku sangat banyak dan akan terus seperti itu. Tak ada kesempatan untuk perempuan mana pun di matanya, apalagi di hatinya. Tidak terkecuali dengan masa lalu seperti dirimu!” sahut Vivia geram, gigi-giginya saling mengatup ketika menegaskan agar Shera tidak berharap.Sedangkan Shera, dia tertawa kecil menyaksikan kepergian perempuan itu. “Benarkah?” bisiknya sendiri. Kembali dia ketik sesuatu di layar ponselnya dan
“Kau mencintaiku seperti dulu?” kata Shera.Albi mengangguk, mengeratkan pelukannya di tubuh Shera. “Ya, selamanya akan seperti itu.”“Maka jadikan aku satu-satunya orang yang kau cintai. Aku tidak peduli dengan status pernikahanmu, yang aku mau, kita memulainya dari awal.”Tubuh Albian terlonjak ke atas. Albi terkejut, itu yang Shera tangkap dari sikapnya. Shera menampar dirinya ke bawah untuk tidak terbawa perasaan pada lelaki yang kini menatap manik matanya.“She....”“Aku tidak akan memaksa secepat itu. Aku tahu, pernikahan yang sudah berjalan tujuh tahun ini tidak akan mudah kau lepaskan begitu saja. Tapi, jika benar kau mencintaiku dan peduli pada anak kita, tolong yakinkan aku dengan kata-katamu,” potong Shera, sebelum Albi meneruskan kalimatnya.Meletakkan kepercayaan pada Albian adalah hal yang tidak akan pernah Shera lakukan. Sudah cukup satu kali dia terasa seperti akan mati, ketika mempercayai semua janji-janji lelaki ini. Semua ini dia lakukan untuk membuat Albi melupaka