Azizah namanya, dia rela dipenjara demi menyelamatkan suaminya. Ia juga rela mendapatkan semua hujatan dari warga hanya demi melindungi nama baik suaminya, namun siapa yang akan menyangka pengorbanan yang sudah ia lakukan dibalas oleh pengkhianatan suaminya.
view more"Gak mungkin! Mas Heru gak mungkin menikah lagi, Mbak pasti bohong, kan?" Azizah berteriak histeris, matanya terbelalak tak percaya mendengar kabar dari seorang kerabat yang membesuknya di rutan.
Sejak setahun lalu, ia terperangkap dalam jeruji besi karena kesalahan yang bukan berasal darinya, melainkan demi melindungi suaminya. "Mbak gak bohong, Azizah. Heru kemarin menikahi seorang janda kaya raya. Kalau kamu gak percaya, lihat ini." Wanita itu mengeluarkan sebuah foto dari dalam plastik makanan yang ia bawa dan menyodorkannya pada Azizah. Azizah menatap foto tersebut dengan ekspresi kosong; dalam foto, suaminya berjabat tangan dengan pria lain dan tersenyum sumringah bersama wanita cantik di sisinya. Jantung Azizah berdegup kencang, perasaan sesak yang melumpuhkan bercampur dengan rasa terluka dan dikhianati. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya, jatuh membasahi foto tersebut. Dunianya terasa runtuh, semua ini bagai mimpi buruk yang mengejarnya; ia berharap bisa segera terbangun dari mimpi mengerikan ini. "Kamu yang sabar, Azizah. Kamu harus kuat, kamu harus segera keluar dari sini, " ucap wanita itu, sambil mengusap pundak Azizah. Lalu seorang petugas rutan pun datang dan berkata dengan nada tegas, " Waktu kunjungan sudah habis! " "Mbak, ini gak mungkin, kan? Mas Heru gak mungkin khianatin aku," kata Azizah dengan suara serak dan pipi memerah, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang kian menguras energinya. Ia mengabaikan teriakan peringatan petugas rutan yang tegas. "Waktu kunjungan sudah habis!" ucap petugas lagi. "Mbak yakin kamu wanita yang kuat, Azizah," ucap kerabatnya dengan lembut sambil memegang tangannya, memberi semangat sebelum berlalu pergi. Azizah menarik napas dalam, kemudian berdiri. Ia meraih makanan yang dibawa kerabatnya lalu melangkah gontai kembali ke dalam sel dengan tatapan layu. Saat kembali ke dalam sel, rekan-rekannya menyadari air mata yang masih basah di pipi Azizah. Mereka mendekat, penuh perhatian. "Apa apa, Azizah? Kenapa kamu menangis?" tanya Sri, rekan satu sel yang sangat akrab dengannya. Azizah menggeleng, menunduk. "Aku hanya merindukan putriku," sahutnya dengan suara parau, lalu mengusap pelan wajahnya yang mulai sembab. "Ini, kalian makanlah." Ia menyodorkan makanan pada teman-temannya yang disambut dengan senyum hangat dan ucapan terima kasih dari mereka. *** Di tengah keheningan malam yang menyesakkan, Azizah tak mampu memejamkan matanya. Ia segera bangun, matanya terpaku pada rekan-rekan satu sel yang tengah terlelap dalam tidur. Tubuh Azizah menggigil, ia memeluk lututnya, mencoba mengendalikan guncangan isak tangis yang tak terbendung. Tetapi ia gagal, tangis itu pun pecah, menyapa keheningan, "Kenapa kamu jahat, Mas? Kenapa?" gumamnya pelan, penuh kekecewaan. Pikirannya pun melayang jauh, saat di mana ia terpaksa masuk penjara demi melindungi suaminya. Flashback On ... "Buruan, Azizah! Kita harus segera pergi dari sini," desak Heru, pada istrinya yang tengah menyusui putri kecil mereka yang masih berusia delapan bulan. Keringat dingin bercucuran di keningnya, dan denyut nadi terasa lebih kencang dari biasanya. "Ada apa, Mas? Mau kemana kita? Kenapa kamu terlihat gugup begitu?" Azizah menatap suaminya dengan kebingungan. "Aku nggak punya waktu buat jelasin sekarang, Azizah. Sebentar lagi warga bakalan datang ke sini. Mereka mungkin akan marah dan bisa-bisa aku disakiti. Aku takut, Azizah. Aku nggak mau dipenjara!" Heru menarik napas dalam-dalam, wajahnya bahkan semakin pucat. Azizah terdiam, menatap nanar suaminya. Pelan-pelan ia meletakkan putrinya di atas kasur, lalu mendekati Heru. "Dipenjara? Maksudmu apa, Mas?" tanyanya dengan suara gemetar. "Azizah, aku ... aku ..." belum selesai ucapan Heru, terdengar suara warga dari luar yang meminta Heru keluar dari rumah. "Keluar kamu, Heru!" "Kamu harus bertanggung jawab, Heru!" Azizah memperhatikan wajah suaminya yang semakin pucat, lalu bertanya dengan tegas, "Apa yang sudah kamu lakukan, Mas? Apa kamu sudah melakukan hal tercela?" mata Azizah memancarkan kekecewaan sekaligus kekhawatiran. "Azizah, aku ... aku sudah menipu warga. Selama ini aku menjual emas palsu pada warga, dan ternyata salah satu warga tahu kalau emas yang aku jual itu palsu. Dia mengancam akan melaporkan aksiku ini pada warga dan polisi," ungkap Heru dengan wajah pucat pasi. "Apa, Mas? Emas palsu?" Azizah membulatkan matanya, tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. "Sejak kapan kamu menjual emas, Mas? Kamu itu seorang guru, bukan penjual emas!" serunya, terkejut akan pekerjaan sampingan yang selama ini dijalankan suaminya tanpa sepengetahuannya. "Maafkan aku, Azizah. Aku hanya berusaha untuk memperbaiki hidup kita, tapi gak tahu kalau akan berakhir seperti ini," Heru menunduk, bibirnya bergetar menahan isak. "Kenapa kamu melakukan hal itu, Mas? Gajimu sudah lebih dari cukup untuk kehidupan kita sehari-hari, kamu gak perlu melakukan itu." "Aku menyesal, Azizah. Tolongin aku, aku gak mau dipenjara," pinta Heru dengan nada getir sambil menunjuk ke arah putri mereka yang sedang tidur pulas. "Coba kamu lihat putri kita, dia masih membutuhkan aku." Mata Heru berkaca-kaca, mengharapkan simpati dari istrinya. "Kalau Mas sampai dipenjara, lalu bagaimana dengan putri kita? Sedangkan kamu tahu sendiri, kalau selama ini hanya Mas yang bekerja untuk mencari nafkah. Putri kita masih sangat kecil! " Sementara itu, di luar rumah, warga mulai gusar dan memukul-mukul pintu dengan keras, menuntut Heru segera keluar. "Kalau dia masih belum keluar, kita bakar saja rumah ini!" seru salah seorang warga, menyulut emosi warga lainnya yang ikut berseru. Akhirnya, Heru terpaksa keluar bersama istrinya, Azizah, bersembunyi di belakang tubuh ramping Azizah. Istrinya ini dikenal cantik dan salehah oleh warga, berpakaian tertutup dan memiliki suara merdu saat mengaji. "Tenang, Bapak-bapak, Ibu-ibu," suara Azizah bergetar lemah, ia menggigit bibir bawahnya dan menarik napas panjang untuk menenangkan diri. "Azizah, kamu harus tahu apa yang sudah suami kamu itu lakukan!" seru seorang warga dengan sorot mata penuh kemarahan. "Dia sudah menipu kami. Emas yang kami beli darinya hanyalah emas palsu, dia harus segera mengembalikan uang kami. Jika tidak, kami akan laporkan ini pada polisi!" ancam warga lain dengan keras, mengacungkan tinju yang gemetar. "Tunggu!" teriak Heru, menunjukkan rasa cemasnya saat ia keluar dari balik tubuh Azizah. "Saya minta maaf, Bapak-bapak, Ibu-ibu, karena sejujurnya saya sendiri juga tidak tahu kalau emas yang saya jual itu emas palsu." Heru meneguk ludah, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia lalu menatap Azizah dengan tatapan tajam yang mencerminkan ketakutannya. "Dia, dia yang memintaku menjual emas itu!" ucap Heru sambil menuduh Azizah. "Ya, dialah orangnya. Dia sudah bosan hidup miskin, dia ingin bisa bergaya menjadi orang kaya raya. Jadi kalau ada yang perlu dipersalahkan, dialah orangnya!" Heru berbicara sambil mengacungkan jari telunjuknya pada wajah Azizah, istri yang tidak tahu apa-apa harus menanggung beban yang teramat berat karena perbuatan suaminya itu. Flashback off ... "Kamu jahat, Mas. Kamu jahat!" pekik Azizah sambil menangis histeris dan memukul-mukul lantai, meluapkan amarah dan kekecewaannya pada suaminya. ***Azizah menatap Rendra dengan lekat, setelah mendapatkan anggukan kepala dari pria itu, Azizah pun dengan ragu menjabat tangan Kevin. "Silahkan duduk," ujar Kevin dengan ramah. Rendra dan Azizah duduk bersebelahan, tak ingin membuang waktu lebih lama. Rendra mengarahkan pandangannya pada Azizah, "Ceritakan semuanya pada Kevin," ujarnya lembut. Azizah menarik napas dalam-dalam, mengatur detak jantung yang berdebar, kemudian dengan suara bergetar mulai menceritakan kisah pilu yang menimpanya selama ini pada Kevin. Air matanya jatuh, membasahi pipinya saat ia mengatakan, "Aku tidak menyalahkan takdir yang membuat aku harus dipenjara karena kesalahan yang tidak aku lakukan. Namun, yang tak sanggup ku lalui adalah dipisahkan dari putriku. Aku merindukannya, tolong pertemukan aku dengannya." Azizah melipat kedua tangannya memelas, menatap dalam-dalam ke mata Kevin. Kevin mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan, tatapan mata pengacara muda itu tak lepas dari wajah Azizah. Hal tersebut m
Heru terdiam sejenak, menatap ke luar jendela dengan mata nanar, mencoba meresapi perkataan Ratna, istrinya. "Apa kamu yakin, Rat? Aku bisa menang?" tanyanya ragu, seraya menggaruk kepalanya. "Aku kan gak punya pengalaman di dunia politik." Namun, Ratna menatap Heru tajam dan menganggukkan kepala dengan yakin. "Haduh, Mas. Jangan terlalu mikirin hal-hal seperti itu. Yang penting, kamu sekarang maju jadi calon anggota dewan. Kan lumayan gajinya jauh lebih besar daripada gaji guru," katanya sambil mengepalkan tangan, menunjukkan semangatnya. " Tenang aja, nanti ada tim sukses yang bakal bantu kamu menang. Sekarang kamu setuju dulu, terus nanti kamu urus pengunduran diri dari pekerjaan sekarang," lanjut Ratna sembari mengangkat jempolnya, memberi semangat pada Heru. "Tapi–" Heru sempat hendak berkata, namun Ratna segera menyela, "Udah deh, Mas. Gak usah banyak mikir. Ini kan kesempatan yang baik, masa kamu mau sia-siain gitu?" Heru masih mengerutkan kening sejenak, mencoba menimba
Bu Hana berdiri, menggigit bibirnya, lalu dengan suara gemetar ia memanggil, "Kemarilah, Azizah."Azizah melepaskan diri dari pelukan Indri, kemudian berdiri dengan linangan air mata. Tangisnya pun pecah saat Bu Hana menarik dirinya dan memeluknya erat."Allah mengujimu, karena Allah tau kamu wanita yang kuat. Kamu wanita terpilih, Nak. Kamu gak boleh nyerah, kamu masih muda, dan perjalanan kamu masih panjang. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu lagi," ucap Bu Hana, sambil mengusap punggung Azizah dengan lembut."Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya," tambahnya."Aku sudah gak punya siapa-siapa lagi, Bu. Bahkan satu-satunya keluarga yang aku miliki juga tidak mempercayaiku," ucap Azizah dengan suara parau.Bu Hana mengusap punggung Azizah dengan lembut, lirih berkata, "Percayalah Azizah, kamu manusia terpilih untuk melewati semua ujian berat ini. Ibu yakin kamu bisa melewati semuanya."Air mata Indri jatuh membasahi pipinya, ia menatap Rendra dengan mata berkaca-kaca.
"Astagfirullah," desah seorang pria, wajahnya nampak pucat, ketakutan.Matanya membelalak seiring dengan kakinya yang menekan rem kuat-kuat. Ia menghela napas lega saat mobilnya berhenti hanya sejengkal dari Azizah yang terdiam dengan mata terpejam di tengah jalan."Apa yang sedang dilakukan wanita ini?" gumamnya heran, menatap Azizah dengan alis berkerut.Pria itu mengintip lebih dekat, matanya terbelalak saat menyadari sosok yang hampir saja ia tabrak adalah Azizah."Azizah?" lirihnya terkejut. Dengan cepat, ia turun dari mobil sambil membawa payung, dan segera memayungi tubuh Azizah."Apa yang sedang kamu lakukan di tengah jalan seperti ini, Azizah?" teriaknya, tak mampu menutupi kekhawatirannya, karena hujan masih turun dengan deras.Azizah membuka matanya perlahan, tatapannya beralih dari payung di atasnya ke wajah pria yang mengenakan seragam dokter."Anda?" tanyanya lembut."Aku dokter Rendra, aku yang merawatmu selama kau berada di rumah sakit. Ayo cepat masuk ke mobil," ujar
Azizah mengepalkan tangannya ketat, matanya memerah akibat air mata yang tak bisa dibendung lagi."Semua yang Mas Rudi katakan itu fitnah, Mbak," ujarnya dengan suara serak. "Aku sama sekali gak ngerayu dia, dia sendiri yang tiba-tiba saja datang dan masuk ke dalam kamarku."Azizah menarik napas sejenak, menahan rasa terluka. "Dia ingin menodaiku, Mbak. Aku berteriak memanggilmu ...""Bohong!" pekik Rudi sambil mengacungkan jari telunjuknya pada wajah Azizah. "Kamu jangan memfitnahku seperti ini, Azizah.""Kamu sendiri yang datang menemuiku, karena kamu kesepian. Kamu memintaku untuk menemanimu, kamu memintaku untuk tidur denganmu, Azizah!" teriak Rudi dengan penuh emosi.Azizah melangkah mendekati Mbak Dina, kakak sepupunya itu, dan meraih tangannya dengan lembut."Demi Allah, Mbak. Aku mengatakan yang sebenarnya. Mas Rudi ingin melecehkan aku, Mbak. Mas Rudi ingin menodai aku!" teriaknya, mencoba mengungkapkan kebenaran. "Mbak harus percaya padaku, aku gak akan pernah ngekhianatin M
Azizah terlihat menemani Nando bermain di ruang tengah, sebelum akhirnya Mbak Dina datang dan meminta tolong padanya untuk membelikan penyedap."Bawa payung Azizah, sepertinya mau hujan, " ucap Mbak Dina, melihat langit di luar sudah gelap. Azizah mengangguk, meraih payung dan segera melangkahkan kakinya menuju sebuah warung. "Yah tutup, " gumam Azizah, mendapati warung yang tidak terlalu jauh dari rumah kakak sepupunya itu tutup. Menarik napas dalam-dalam, Azizah lalu menatap ke ujung jalan. Mau tidak mau, ia harus berbelanja di warung Sekar, warung terbesar yang ada di kampungnya itu. Di tengah perjalanan, mata Azizah terpaku pada seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan dua temannya di halaman rumah. Gadis itu mengenakan gaun cantik yang mengingatkannya pada gaun milik Nayla. Perasaan gusar dan kebingungan menerpa Azizah, membuat langkahnya menghampiri gadis kecil tersebut. "Apa ini gaun milik Nayla?" desis Azizah penuh emosi, menahan gadis kecil itu dengan pegangan ku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments